3. ARWĀ BINTI ‘ABD-IL-MUTHTHALIB (BIBI RASŪLULLĀH S.A.W., SAUDARI SHAFIYYAH).
Arwā binti ‘Abd-il-Muththalib termasuk orang yang masuk Islam di Makkah dan ikut hijrah ke Madīnah. Sebelum masuk Islam, dia termasuk orang yang mendukung perjuangan Rasūlullāh s.a.w.
Suatu hari, orang-orang di sekitarnya memberitahu bahwa putranya, Kulaib bin ‘Umair, masuk Islam di rumah al-Arqam bin Abil-Arqam al-Makhzūmī. Sepulang dari sana, Kulaib langsung menemui ibunya dan berkata: “(Wahai ibu) saya telah mengikuti (agama) Muḥammad dan saya telah memeluk Islam karena Allah.” Ibunya menjawab: “Sesungguhnya orang yang paling berhak kamu dukung dan bela adalah putra pamanmu (Muḥammad). Demi Allah, seandainya saya mampu sebagaimana kaum laki-laki maka saya akan selalu membelanya.” Kulaib berkata: “Kalau memang demikian, apa yang menghalangi ibu untuk masuk Islam dan menjadi pengikutnya (Muḥammad s.a.w.). Padahal, saudara ibu, Ḥamzah, telah masuk Islam?” Ibunya menjawab: “Saya melihat saudari-saudariku dulu. (Kalau mereka masuk Islam), saya akan menjadi salah-satu dari mereka (masuk Islam juga).” Kulaib berkata: “Sesungguhnya saya memohon kepadamu demi Allah untuk mendatanginya (Muḥammad s.a.w.), memberi salam kepadanya, mempercayainya, dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muḥammad itu utusan Allah.”
Setelah masuk Islam, Arwā binti ‘Abd-ul-Muththalib termasuk salah satu wanita yang paling gigih membela Rasūlullāh s.a.w. dengan lisannya dan menyuruh putranya untuk selalu taat dan patuh terhadap Rasūlullāh s.a.w.
Suatu hari, Abū Jahal telah mempersiapkan sekelompok orang kafir Makkah untuk menganiaya Rasūlullāh s.a.w. Mendengar hal itu, Kulaib bin ‘Umair langsung pergi menemui Abū Jahal lalu memukulnya sampai kulit Abū Jahal terkelupas. Seketika itu juga gerombolan tersebut menyeret Kulaib dan mengikatnya. Tidak lama kemudian, datanglah Abū Lahab membebaskannya.
Orang-orang memberitahu perihal Kulaib – yang membela Rasūlullāh s.a.w. – kepada ibunya seraya berkata: “(Wahai Arwā), tahukah anda bahwa putra anda telah menjadi pembela Muḥammad?” Dengan tegas Arwā menjawab: “Hari yang terbaik bagi Kulaib adalah hari di mana dia membela putra pamannya (Muḥammad s.a.w.) karena memang apa yang dia bahwa adalah kebenaran yang datangnya dari Allah.” Mereka bertanya: “Kalau begitu, Anda juga pengikut Muḥammad?” Arwā menjawab: “Benar”.
Mendengar hal tersebut, sebagian orang-orang kafir melaporkan keislaman Arwā kepada Abū Lahab. Datanglah Abū Lahab menemui Arwā dan berkata: “Sungguh suatu berita yang mengejutkan atas kamu yang telah mengikuti Muḥammad dan meninggalkan agama ‘Abd-ul-Muththalib.” Arwā menjawab: “Memang sudah seharusnya demikian. Sekarang, berdirilah di samping putra saudaramu (Muḥammad s.a.w.) untuk menolong dan membelanya. Apabila sudah jelas perkaranya (kebenaran Muḥammad bagimu), maka kamu boleh memilih; kamu ikut dengannya (masuk Islam) atau kamu tetap dalam agamamu.” Sambil berpaling pergi, Abū Lahab menjawab: “Kita adalah kaum yang disegani di kalangan ‘Arab, bagaimana kita harus tunduk dengan orang yang datang dengan agama baru.” Arwā menjawab Abū Lahab dengan satu bait syair:
“Sesungguhnya Kulaib telah menolong putra pamannya. Ia (Kulaib) jaga Rasūlullāh dalam lindungannya dan ia infakkan hartanya (untuk perjuangannya).”
Perdebatan antara Abū Lahab dan Arwā menggambarkan pada kita sosok ibu yang tegar dan tegas dalam membela putranya yang memperjuangkan kebenaran.
Arwā berkata: “Berlinanglah air mataku dan memang sudah selayaknya untuk berlinang lantaran (bapakku) yang enggan menerima kebenaran karena rasa malu.”
Dalam syairnya yang lain, Arwā memuji Rasūlullāh s.a.w. seraya berkata:
“Wahai Rasūlullāh, engkaulah harapan kami karena engkau telah berbuat baik kepada kami dan engkau tidak pernah semena-mena terhadap kami.”
Demikianlah sosok ibu teladan Arwā binti ‘Abd-ul-Muththalib yang selalu mencurahkan perhatiannya kepada perjuangan Rasūlullāh s.a.w. dan – selalu – menyeru kepada putranya untuk mendukung dan membela perjuangan Rasūlullāh s.a.w. Arwā, sang ibu teladan meninggal pada sekitar tahun 15 H.