1-3-2 Rasa Malunya Kepada Allah & Kezuhudannya – Kisah Hidup ‘Ali Ibn Abi Thalib

KISAH HIDUP ‘ALĪ IBN ABI THĀLIB
(Judul Asli: ‘Alī ibn Abī Thālib)
Oleh: Dr. Musthafa Murad

Penerjemah dan Penyelaras: Dedi Slamet Riyadi. MA.
Penerbit: ZAMAN

Rangkaian Pos: 1-3 Rasa Malunya kepada Allah & Kezuhudannya

Rasa Malunya kepada Allah dan Kezuhudannya.

(Bagian 2)

 

Semua keutamaan terkumpul pada diri ‘Ali ibn Abi Thalib, semua kebaikan melekat kepadanya. Ia telah mencapai puncak keutamaan, ilmu, amal, ikhlas, wara‘, jihad, da‘wah, kebaikan, keindahan pekerti, ibadah, dan kesempurnaan perilaku. Dengan turunan memikat, penulis Nahj al-Balāghah menggambarkan keutamaan ‘Ali ibn Abi Thalib, seorang hamba yang dikasihi Tuhan. Kitab itu menjelaskan secara detail bahwa ‘Ali ibn Abi Thalib adalah orang yang lembut dan penuh kasih-sayang kepada sesama, namun kuat dari sisi agama, iman, dan keyakinan. Ia selalu haus ilmu. Sikapnya adil dan bijaksana. Kehidupannya teramat sederhana, bahkan kekurangan. Ia khusyu‘ dalam beribadah, tetap bahagia dalam kesulitan, bersabar saat ditimpa masalah, dan selalu mencari yang halal. Ia rajin mencari hidayah, menjauhi ketamakan, dan bersegera melakukan amal saleh. Setiap saat ia bersyukur dan bibirnya senantiasa dibasahi kalimat zikir. Ia jalani kehidupan secara hati-hati, waspada, dan tidak pernah lalai. Saat mendapat kebaikan dan rahmat, ia bahagia dan bersyukur.

Tak sekejap pun ia biarkan nafsunya menikmati apa yang disukainya. Sikap zuhud dari dunia selalu ia pelihara, dan kehidupannya dihiasi ilmu yang diamalkan. Sepanjang hayatnya, tak pernah ia berpanjang angan, enggan melakukan sesuatu yang sia-sia dan tidak suka memerintah orang. Hatinya tertunduk khusyu‘ dan jiwanya merasa puas. Syahwatnya dimatikan dan amarahnya dikendalikan. Dunia tidak pernah menjadi hasrat dan cita-citanya. Hanya kebaikan yang selalu ia angankan sehingga ia terjaga dari segala keburukan. Ketika merasa kelalaian menghampiri, ia segera sadar dan ingat. Ia maafkan orang yang menzaliminya, memberi kepada orang yang menghindarinya, dan menyambungkan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya.

Saat berkata-kata, ucapannya meluncur dengan lembut namun jelas. Kata-katanya jauh dari keburukan dan kosong dari kemungkaran. Kebaikan hatinya dikenal luas. Ia selalu menerima kebaikan dan menghindari keburukan. Meski nyaris sepanjang hidupnya diliputi kesulitan, ia selalu berdiri kokoh dalam kesabaran, iman, dan keyakinan. Ia tidak memurkai orang yang menzaliminya dan tidak mengkhianati orang yang mencintainya.

Ia pegang teguh setiap amanat yang diberikan kepadanya, dan menjalankannya dengan penuh ketulusan. Tak pernah ia melupakan kebaikan orang lain, dan tak sekali pun ia lupakan sesuatu yang mesti diingat. Kelembutan dan kasih-sayang senantiasa terpancar darinya sehingga ia tak suka mengolok-olok, apalagi menyakiti dan merugikan orang lain. Musibah yang datang menimpa tak dapat melemahkannya dan segala perubahan yang terjadi tak kuasa menyimpangkannya dari kebenaran. Ia terpuji di saat diam, berbicara, maupun tertawa. Ia tak pernah meninggikan suara tawanya. Ketika dizalimi, ia bersabar dan menyerahkan kepada Allah untuk membalas orang yang menzaliminya. Jiwanya selalu terlindungi dan orang-orang merasa senang berada di sisinya. Jiwanya selalu tertuju ke negeri akhirat, dan manusia merasa aman darinya. (241) Itulah sifat-sifat ‘Ali ibn Abi Thalib r.a.

Bagi seorang mu’min sejati, seluruh ucapan, tindakan, dan tingkah perilaku hanya ditujukan untuk Allah dan dilakukan karena Allah. Bahkan jika harus marah, marahnya hanya karena Allah. Seperti itu pulalah sosok ‘Ali ibn Abi Thalib. Semua tingkah lakunya dilakukan karena Allah. Ia sedih karena Allah dan murka pun karena Allah. Kesucian fitrahnya dan kemurnian jiwanya senantiasa membangkitkan semangat dan gairah ibadah kepada Allah. Ia menegur keras sekelompok orang yang membiarkan kaum wanita pergi ke pasar dan berperilaku layaknya kaum kafir. ‘Ali ibn Abi Thalib berkata kepada mereka: “Tidakkah kalian merasa malu? Tidakkah kalian mau berusaha menghindarkan diri dari keburukan? Aku mendengar kabar bahwa kaum wanita kalian keluar ke pasar-pasar dan berperilaku bagaikan orang kafir.” (252).

 

Catatan:


  1. 24). Nahj al-Balāghah, hal. 362-363. 
  2. 25). H.R. Ahmad, jilid 2, hal. 254, 255. Syaikh Syakir mengatakan bahwa sanadnya shaḥīḥ. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *