1-3-1 Rasa Malunya Kepada Allah & Kezuhudannya – Kisah Hidup ‘Ali Ibn Abi Thalib

KISAH HIDUP ‘ALĪ IBN ABI THĀLIB
(Judul Asli: ‘Alī ibn Abī Thālib)
Oleh: Dr. Musthafa Murad

Penerjemah dan Penyelaras: Dedi Slamet Riyadi. MA.
Penerbit: ZAMAN

Rangkaian Pos: 1-3 Rasa Malunya kepada Allah & Kezuhudannya

Rasa Malunya kepada Allah dan Kezuhudannya.

(Bagian 1)

 

Rasanya, setiap penulis akan kehabisan kata-kata jika hendak menggambarkan semua keutamaan sifat-sifat ‘Ali ibn Abi Thalib. Sebab, keseluruhan dirinya adalah keutamaan. Kita telah telusuri sebagian jejak-jejak keutamaannya, dan kini kita jejaki lagi sebagian jejak-jejak keutamaannya, dan kini kita jejaki lagi sebagian kecil gambaran sosok yang mulia ini. Meskipun Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa sahabatnya yang paling pemalu adalah ‘Utsman, sejarah mencatat bahwa ‘Ali ibn Abi Thalib juga senantiasa memelihara rasa malunya sehingga tak pernah seorang pun melihat kejelekan pada dirinya dan tidak pernah seorang pun mencium darinya kecuali wewangian. Ia benar-benar merasa malu di hadapan Tuhannya, “Sungguh aku merasa malu kepada Allah jika dosa-dosaku lebih besar daripada ampunan-Nya kepadaku, jika kebodohanku lebih besar daripada kesadaranku, atau jika aibku tersingkapkan, atau jika kepelitanku tidak tertutupi kedermawananku.” (181).

Bahkan, saking merasa malu ia meminta seorang sahabat, al-Miqdad, untuk bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang hukum air madzi. Rasulullah s.a.w. menjawab bahwa keluarnya air madzi mengharuskan wudhu’ (192).

Ia juga selalu menjaga rasa takut dan harapnya kepada Allah. Rasa takutnya mengental dan menebal ketika suara-suara malam mulai menghampiri. Keberanian dan kewiraannya menepi ketika matahari mulai bersembunyi di ujung hari. Saat itulah ia hadapkan dan ia pasrahkan seluruh dirinya kepada Yang Maha Suci. Ia hidup bersama Allah dalam sujud dan berdiri, dengan hati dan wajah yang menunduk, serta dengan tangisan yang sarat duka. Suatu ketika al-Asytar al-Nakha‘i melihatnya sedang shalat malam. Usai shalat, al-Asytar bertanya: “Wahai Amirul Mu’minin, engkau puasa di siang hari dan shalat di malam hari, tidakkah engkau lelah?”

‘Ali menjawab: “Perjalanan akhirat itu sangatlah panjang sehingga mesti diperpendek dengan perjalanan di malam hari.” (203).

Angan-angan dan hasratnya senantiasa terikat kepada akhirat sehingga ia menyikapi kehidupan dunia dengan penuh kewaspadaan. Ia selalu menjaga diri dari dunia yang siap menjebak dan membinasakan siapa saja. Tidak mengherankan jika ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz mengatakan bahwa manusia yang paling zuhud adalah ‘Ali ibn Abi Thalib.

Suatu ketika Amirul Mu’minin menunggangi seekor keledai dan menjulurkan kedua kakinya di salah satu sisi hewan itu, kemudian berkata: “Aku menghinakan dunia.”

Sebagai pemimpin Islam, yang wilayahnya meliputi seluruh semenanjung ‘Arab, semestinya ‘Ali ibn Abi Thalib tidak perlu memikirkan nafkah untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Namun, bahkan untuk membeli sehelai sarung pun ia harus menjual pedangnya. Pada suatu hari, ia pergi ke pasar membawa pedangnya. Setibanya di pasar ia berkata: “Siapakah yang akan membeli pedangku ini? Seandainya aku punya empat dirham yang dengannya aku dapat membeli sarung, aku tidak akan menjualnya.” (214)

Bahkan untuk menahan dinginnya udara malam pun, ‘Ali tak memiliki sehelai selimut yang tebal. Seorang laki-laki pernah melihatnya berselimut beludru butut. Tubuhnya menggigil seperti dilanda demam karena dinginnya udara malam. Laki-laki itu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagimu dan keluargamu bagian dari Baitul Mal, tetapi aku melihatmu menggigil karena berselimut beludru butut?”

‘Ali menjawab: “Demi Allah, aku tak mau sedikit pun mengambil dari harta kalian (kaum muslim), dan kain beludru ini aku bawa dari rumahku.”

Seorang budak Abu Ghissin berkata: “Aku melihat ‘Ali keluar rumah, menemui seorang pedagang pakaian dan berkata kepadanya: “Adakah pakaian yang murah?”

Pedagang itu memberikan sehelai pakaian yang lalu dikenakan oleh ‘Ali. Ternyata pakaian itu hanya sampai pada tengah betisnya. ‘Ali melihat ke kiri dan kanan, lalu berkata: “Berapakah harga yang pas untuk pakaian ini?”

“Harganya empat dirham, wahai Amirul Mu’minin.”

‘Ali merogoh saku bajunya, membayarkannya kepada si pedagang itu, lalu pergi.”

Sungguh engkau manusia yang mulia, wahai Abu al-Hasan.

Kau hindari dunia dan cemerlang perhiasannya. Kau selalu menunduk khusyu‘ di malam hari memohon ampunan Tuhanmu.

Tidak ada yang memungkiri, ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sosok yang sangat zuhud. Hanya sedikit ia mengambil dari dunia. Bahkan, telah dituturkan, untuk mendapatkan sehelai sarung pun ia harus menjual pedangnya. Namun, ia juga memperingatkan orang-orang agar tidak mencela dunia. Ia berkata dalam salah satu khutbahnya: “Sesungguhnya dunia adalah rumah kebenaran bagi orang yang mengakuinya, rumah keselamatan bagi orang yang memahaminya, rumah kekayaan dan perbekalan bagi orang yang mengumpulkan darinya. Dunia adalah tempat pengejawantahan wahyu Allah, tempat shalat para malaikat, masjid para nabi-Nabi, dan tempat berdagang para wali-Nya. Mereka berdagang dan mendapat keuntungan berupa kasih-sayang (rahmat) serta surga. Karenanya, jangan mencela dunia karena ujung dunia ini semakin dekat dan saat perpisahan dengannya tidaklah lama. Yang harus dicela adalah keburukan dunia dan cinta dunia. Tidak perlu mencela dunia, menghindari, dan menjauhinya. Wahai orang yang mencela dunia, wahai orang yang memenuhi jiwanya dengan angan-angan, pernahkah dunia menipumu, dan pernahkah dunia mengeluh kepadamu? Apakah kau mencelanya karena kesulitan dan ujian yang dialami bapak-bapakmu? Ataukah karena ibu-ibumu yang telah terbaring di bawah tanah yang lembap? Betapa sering ia dirusak tangan-tanganmu dan dihancurkan telapak kakimu hingga ia membutuhkan obat dan mencari tabib. Obatmu tidak dapat menghilangkan penyakit dan deritanya. Tangisanmu pun tidak memberinya manfaat.

Dalam kesempatan lain ia berkhutbah: “Segala puji bagi Allah yang menampakkan dari jejak-jejak kekuasaan dan kebesaran-Nya segala yang tak dapat dicerna akal berupa keajaiban kekuasaan-Nya. Setiap jiwa tertunduk lemah di hadapan kemahakuasaan-Nya, setiap pikiran tak dapat menggambarkan keagungan sifat-sifatNya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang diutus oleh-Nya dan diberi petunjuk serta pelajaran. Ia dibekali agama yang lurus dan jelas. Ia menyeru manusia kepada kebenaran, menasihati seluruh makhluk, dan menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus. Ia memerintahkan kesederhanaan kepada mereka. Semoga shalawat dan salam tercurah kepadanya, juga kepada keluarganya.

Ketahuilah, wahai para hamba Allah, Dia tidak menciptakan kalian dengan sia-sia, dan tidak membangkitkan kalian di dunia ini secara sembarangan. Dia mengetahui ukuran nikmat-Nya dan kadar kebaikan-Nya kepadamu. Karena itu, mintalah agar Dia membukakan pintu nikmat dan kebaikan-Nya. Mohonlah kepada-Nya kelancaran, keselamatan, dan anugerah yang banyak, karena tidak ada penghalang antara kalian dan Dia. Tidak ada pintu yang merintangi kalian kepada-Nya. Ia selalu ada di mana pun, dalam keadaan apa pun. Dia selalu mengawasi setiap manusia. Kekayaan-Nya tidak akan pernah berkurang karena memberi kalian, dan Dia tidak akan minta ganti kepada siapa saja yang menerima anugerah-Nya. Dia tidak akan menyimpangkan anugerah-Nya dari seseorang kepada orang lain. Ketetapan-Nya tidak terpengaruhi apa pun dan siapa pun. Tidak satu suara pun yang dapat menggerakkan dan mengubah kehendak-Nya. Murka-Nya akan menimpa siapa saja yang dikehendaki-Nya, begitu pula kasih-sayangNya akan meliputi siapa saja yang dikehendaki-Nya....” (225).

Dalam khutbah yang lain, yang dituturkan oleh Yahya ibn Ya‘mar, ‘Ali r.a. berkata: “Sesungguhnya perintah (urusan) diturunkan dari langit seperti tetes-tetes hujan yang menimpa setiap jiwa sesuai dengan yang dituliskan oleh Allah bagi jiwa itu berupa tambahan maupun pengurangan atas jiwa, keluarga, maupun harta. Maka barang siapa melihat kekurangan atas dirinya, keluarganya, atau hartanya, kemudian ia melihat orang lain mendapat tambahan, jangan sampai itu menjadi fitnah baginya. Sesungguhnya setiap muslim yang tidak dikendalikan oleh dunianya akan muncul sebagai orang yang khusyu‘ saat dunia disebutkan dan ia akan mewaspadainya. Seorang muslim yang baik dan terbebaskan dari perangkap dunia, akan mendapat dua kebaikan saat menyeru kepada Allah, yaitu kebaikan di sisi Allah dan kebaikan akhirat, karena akhirat jauh lebih baik dan lebih abadi daripada dunia. Ketahuilah, ada dua macam ladang, yaitu ladang dunia berupa harta dan ketakwaan serta ladang akhirat yang baik dan abadi. Kadang-kadang Allah menghimpunkan keduanya – dunia dan akhirat – pada sebagian hamba-Nya.” (236).

 

Catatan:


  1. 18). Tārīkh Dimasyqi, 42/517. 
  2. 19). H.R. Muslim dalam bab Thahārah, jilid 1, hal. 247. 
  3. 20). Ibn Rajab al-Hanbali, Lathā’if al-Ma‘ārif
  4. 21). Kisah ini dituturkan oleh Majma‘ ibn Sulaiman al-Taymi. 
  5. 22). Nahj al-Balāghah, hal. 336-337. 
  6. 23). Al-Bidāyah wa al-Nihāyah

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *