Seorang hamba yang ahli ibadah
Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān adalah seorang ahli ibadah yang khusyu‘ di dalam shalatnya dan memperbanyak shalat sunnah, sebagai pengamalan dari firman Allah ‘azza wa jalla:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَ قُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا. وَ مِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا. وَ قُلْ رَّبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَ أَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَ اجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطَانًا نَّصِيْرًا
“Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksankanlah pula shalat) Shubuh. Sungguh, shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat) Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajjud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. Dan katakanlah (Muḥammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong(ku).” (al-Isrā’: 78-80).
Dia adalah orang yang banyak melaksanakan shaum dan shalat, dia melaksanakan shaum sepanjang hidupnya. Dia tidak pernah meninggalkan yang wajib, bahkan menyertainya dengan yang sunnah. Tidak pernah meninggalkan yang sunnah, bahkan melaksanakannya dengan sangat sempurna. Berikut ini perkataan salah seorang saudaranya tentang dirinya: “Saudaraku, Abū Bakar, selalu melaksankan shaum dan tidak pernah berbuka. Lalu pada suatu hari putranya datang kepadanya dan dia sedang berbuka, maka putranya berkata: “Mengapa hari ini engkau berbuka?” Abū Bakar menjawab: “Aku sedang junub dan belum mandi sampai waktu Shubuh, lalu Abū Hurairah memberikan fatwa kepadaku agar aku berbuka.” Maka mereka mengirimkan utusan kepada ‘Ā’isyah untuk bertanya mengenai masalah tersebut, lalu ‘Ā’isyah menjawab: “Suatu ketika Nabi s.a.w. dalam keadaan junub, lalu beliau mandi setelahnya pada waktu Shubuh, kemudian beliau keluar dan kepalanya masih bercucuran air, lalu beliau melaksanakan shalat, kemudian menjalankan shaum pada hari itu.” (41)
Tidak ada alasan ataupun penyakit yang dapat menahan dan mencegahnya dari melaksanakan kewajiban shalat. Dia menyerahkan seluruh penyakit yang menimpanya dan rintangan yang menghalanginya dari melaksanakan kewajibannya kepada Allah ‘azza wa jalla. Dia pernah terkena penyakit di tangannya, dan pada saat sujud dia akan merasakan sakit yang teramat sangat, maka dia menyuruh keluarganya untuk membawa sebaskom air, kemudian dia meletakkan tangannya di dalam baskom air itu ketika sujud. Sampai sebatas ini dia telah mampu mengalahkan dan melampaui berbagai kesulitan yang menghalanginya dari Tuhannya, dia melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba yang senantiasa beribadah dan bersujud.
Seorang Muḥaddits.
Abū Bakar adalah seorang muḥaddits yang fasih, dan dia meriwayatkan hadits dalam jumlah yang banyak. Dia termasuk salah seorang tabi‘in senior dan pembesar kaumnya yang dikenal dengan kecerdasan dan kemuliaan, sebagaimana pula ayahnya. Di antara riwayatnya yang paling terkenal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihāb az-Zuhrī darinya, dari Ibnu Mas‘ūd r.a.:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَ مَهْرِ الْبَغِيِّ، وَ حُلْوَانِ الْكَاهِنِ.
“Rasūlullāh s.a.w. melarang jual beli anjing, mahar bagi wanita zina, dan upah seorang dukun/tukang ramal.” (52).
Bayaran seorang dukun adalah yang diambil oleh orang yang meramal sesuatu yang ghaib sebagai upah dari praktik perdukunannya itu. Dengan kata lain, perdukunan, ramalan, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh tukang ramal dan tukang sulap terkait perkara ghaib itu hukumnya haram dan batil. Siapapun tidak boleh mendatangi orang-orang semacam itu untuk bertanya kepada mereka atau mempercayai perkataannya. Hadits di atas diriwayatkan juga oleh Ibnu Syihāb dari Abū Bakar dengan tambahan lafal di awalnya, yaitu sebagai berikut:
ثَلَاثٌ هُنَّ سُحُتٌ: ثَمَنُ الْكَلْبِ، وَ مَهْرُ الْبَغِيِّ، وَ حُلْوَانُ الْكَاهِنِ.
“Tiga penghasilan yang haram: jual beli anjing, mahar bagi wanita pezina, dan upah seorang dukun.” (63).
Di antara riwayatnya yang lain adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihāb juga dari Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān, dari Abū Hurairah, dia berkata: “Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً.
“Sungguh, aku meminta ampunan kepada Allah dan bertobat kepadanya dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali.” (74).
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada ahli fikih Madīnah ini, karena dia adalah seorang rawi dan muḥaddits yang terkenal.
Di dalam sebagian kitab Musnad dan kitab-kitab hadits yang terkenal disebutkan berbagai riwayat dari Abū Bakar bin ‘Abd-ur-Raḥmān r.a., dan mayoritas periwayatan itu diterima dari ‘Ā’isyah dan Abū Hurairah r.a. ajma‘īn.
Amīr-ul-Mu’minīn ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān sangat menyukai ahli fikih dan syaikh kita ini di dalam hidupnya. Dia menghormatinya karena ilmu dan ketaqwaannya. Tidak ada lagi faktor penyebab yang lainnya, melainkan karena Abū Bakar adalah orang yang mulia, pemimpin kaumnya, dan “rahib” kaum Quraisy sebagaimana yang dikatakan oleh orang kebanyakan dan para ahli fikih dari kalangan murid-muridnya juga para sahabatnya dari kalangan tabi‘in yang terpercaya.
Akan tetapi di Madīnah sana ada juga orang yang benar-benar tidak menyukai Bani Umayyah, yaitu penduduk Madīnah dari kalangan kaum muslimin yang menyaksikan fitnah dan perbedaan pendapat yang terjadi pada akhir masa pemerintahan khalifah Rasūlullāh s.a.w., ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. dan masa pemerintahan ‘Alī bin Abī Thālib.
Oleh karenanya, syair di antara mereka dan ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān pun saling berbalasan. ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān seringkali berniat ingin menghukum orang-orang yang menentangnya, akan tetapi perlindungan Rasūlullāh s.a.w. dan rasa malunya terhadap para syaikh Madīnah, para ahli fikihnya, serta para ulamanya senantiasa menahan dirinya dari hal tersebut. Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān memiliki kedudukan yang tinggi bagi ‘Abd-ul-Mālik, sehingga dia berwasiat kepada anak-anaknya agar menghormati syaikh tersebut, dan dia sendiri pun sangat berlebihan dalam menghormatinya. Salah satu hal yang menunjukkan kedudukan Abū Bakar di sisi Amīr-ul-Mu’minīn adalah perkataan ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān pada suatu hari: “Demi Allah, sesungguhnya aku seringkali berniat untuk melakukan sesuatu terhadap penduduk Madīnah karena keburukan kesan mereka bagi kami, lalu aku teringat akan Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān, maka aku pun merasa malu terhadapnya sehingga aku meninggalkan perkara tersebut.” (85).
Demikianlah Amīr-ul-Mu’minīn merasa malu terhadap syaikh dan ahli fikih Madīnah ini, sehingga dia meninggalkan perkara dan keinginan yang telah dia tetapkan di dalam dirinya, sebagai tanda penghormatan terhadap ahli ilmu, ahli hadits, dan ahli fikih Abū Bakar r.a. yang memang berhak mendapatkan penghormatan tersebut. Bagaimana mungkin kota Rasūlullāh itu akan dibinasakan, sedangkan di sama terdapat jasadnya yang suci. Bagaimana mungkin penduduknya akan ditimpa keburukan, sedangkan di sana ada Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān, salah seorang ahli fikih yang tujuh ridhwānullāhi ‘alaihim.
Perpisahan dengan Pendeta Quraisy
Pada suatu hari, di tahun 94 H yang dikenal dengan sebutan tahunnya para ahli fikih karena banyaknya yang meninggal dunia di antara mereka, seorang mu’adzdzin mengumandangkan adzan shalat ‘Ashar pada hari itu. Maka Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān pun berwudhu’, beristighfar, bertakbir, dan melaksanakan shalat ‘Ashar berjamaah dengan orang-orang di masjid Rasūlullāh s.a.w. yang terletak di Madīnah. Lalu shalat pun selesai, dan dia berkata kepada para sahabatnya dan murid-muridnya: “Sungguh, aku tidak berhadats sama sekali pada permulaan siang ini.” (96).
Dia terus mengulang-ulangi perkataannya ini. Kemudian dia pulang ke rumahnya dan masuk ke kamar mandi, lalu dia terjatuh dan pingsan. Maka berkumpullah seluruh putra-putranya, keluarganya, juga saudara-saudaranya yang mengikuti jejaknya dalam bidang hadits dan fikih, lalu mereka membawanya ke atas tempat tidurnya. Dan sebelum mu’adzdzin mengumandangkan adzan Maghrib di masjid Rasūlullāh s.a.w., seseorang berseru di Madīnah seraya mengucapkan kalimat istirjā‘ dan berkata: “Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin al-Ḥārits r.a. telah meninggal dunia, dan ruhnya telah naik mengepakkan sayapnya di tempat para shiddīqīn, di dalam persahabatan para penghuni surga Na‘īm, dan di dalam persahabatan para kaum Muhājirīn dan Anshār yang telah mereka ikuti jejaknya dengan sebaik-baiknya pada hari kiamat.” Maka murid-muridnya melaksanakan shalat Maghrib tanpa kehadiran syaikh mereka, dan sungguh mereka dilanda kesedihan yang mendalam atas kematian syaikh mereka ini. Akan tetapi mereka terus mengucapkan kalimat istirjā‘ sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang bertaqwa. Lalu di Madīnah terdengar seseorang yang berteriak dengan membaca ayat:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ، ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَّةً مَرْضِيَّةً، فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ، وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ.
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati (nafsu – jiwa) yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (al-Fajr: 27-30).
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada “rahib” Quraisy dan ahli fikih Madīnah ini yang banyak melaksanakan shaum dan mendirikan shalat, Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin al-Ḥārits.
Catatan: