1-2 Tajrid Dan Asbab – Al-Hikam – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)

Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

2. إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ

“Hasratmu untuk menetapi tajrīd sedangkan Allah menempatkanmu pada kedudukan asbāb adalah syahwat yang samar. Sebaliknya, hasratmu terhadap asbāb padahal Allah telah menempatkanmu pada posisi tajrīd adalah wujud penurunan semangat dari tekad yang tinggi.”

Masing-masing dari keduanya mengutamakan pilihannya. Kedudukan mereka bergangtung pada/kepada siapa dan kepada apakah ia bersandar dalam meraih tujuan. Sebab, ketika seseorang bersandar kepada sesuatu maka ia akan mengabaikan yang lainnya. Berkaitan dengan hal ini manusia terbagi tiga golongan:

Pertama, orang yang ditempatkan pada wilayah asbāb (menetapi sebab-sebab yang mengantarkannya pada tujuan). Mereka yang ditempatkan di sini harus rida, sabar, dan pasrah. Tanda kelompok ini adalah istiqāmah menetapi asbāb serta istiqāmah menegakkan berbagai kewajiban syariat.

Kedua, mereka yang ditempatkan pada wilayah tajrīd (mengabaikan asbāb). Orang yang ditempatkan di wilayah ini harus bersyukur, banyak beramal, serta tidak lalai. Tanda mereka adalah menunaikan kewajiban dan berpaling dari makhluk.

Ketiga, mereka yang tidak termasuk dalam salah satu dari keduanya. Orang yang berada di wilayah ini harus berusaha memastikan dengan berpindah dari satu sebab ke sebab yang lain. Ketika tidak istiqāmah pada satu sisi, ia bisa berpindah pada kebalikannya. Sebab, tanda bahwa Allah memberikan posisi tertentu kepada seseorang adalah ketika ia bisa istiqāmah dalam posisi itu. Jika ia masih berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lainnya berarti ia belum ditempatkan pada posisi yang kokoh.

Dalam kitab at-Tanwīr Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan: “Allah menuntut darimu untuk berada di tempat yang Dia tetapkan hingga Dia sendirilah yang mengeluarkanmu sebagaimana Dia memasukkanmu. Hal yang penting bukanlah bagaimana kau meninggalkan asbāb, melainkan bagaimana kau ditinggalkan oleh asbāb.”

Seorang sufi mengatakan: “Beberapa kali aku meninggalkan asbāb (sebab-sebab menuju suatu tujuan), tetapi aku selalu kembali kepadanya. Namun, ketika ditinggalkan oleh asbāb, aku tidak pernah kembali kepadanya.”

Ketika ditinggalkan asbāb, seseorang tidak lagi menetapi asbāb sehingga ia pada akhirnya ditempatkan pada posisi tajrīd. Pengertian tajrīd adalah keadaan seseorang yang meninggalkan asbāb. Sebaliknya, pengertian asbāb adalah keadaan seseorang yang melakukan berbagai upaya lahiriah untuk mencapai tujuan.

Syahwat adalah gejolak nafsu untuk meraih apa yang diinginkan. Dikatakan di atas bahwa itu merupakan syahwat yang samar karena gambaran sesuatu yang diinginkan, yaitu tajrīd, secara lahiriah memang tampak menyakitkan karena harus meninggalkan kebiasaan dan melawan keinginan, tetapi di dalamnya terdapat keinginan untuk mendapatkan ketenangan, kelapangan, dan kebabasan dari taklif.

Makna inḥithāth adalah turun dari keadaan atau tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah.

Himmah adalah tekad atau cita-cita dan semangat diri untuk mencapai tujuan tertentu. Tinggi rendahnya tekad tergantung kepada tinggi rendahnya tujuan yang ingin dicapai.

Penyebab ahli tajrīd mengalami penurunan himmah adalah karena ia mengganti keadaan lapang dengan penat, ketenangan dengan kekacauan, serta menjatuhkan diri pada sesuatu yang bisa merusak dengan bergaul bersama makhluk dan menjauhkan diri dari Cahaya. Karena itu, dikatakan bahwa orang yang masih tetap bersama musuh di wilayah asbāb, berarti ia memiliki tekad yang rendah.

Selanjutnya, penting diingat bahwa kehendak hamba tidak memiliki nilai apa-apa karena ia sangat bergantung pada kehendak Tuhan. Maka, jika seorang hamba sibuk menghendaki kedudukan yang tidak diberikan Tuhan, berarti ia telah berlaku buruk (sū’-ul-adāb) kepada-Nya. Sikap dan perilaku seperti itu tentu saja tidak memberinya manfaat sedikit pun. Penjelasan tentang hal ini disampaikan oleh Ibnu ‘Athā’illāh dalam hikmah berikutnya: (lihat Ḥikam # 3)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *