1-2 Perjalanan Menuntut Ilmu – Biografi Imam Syafi’i

Biografi IMĀM SYĀFI‘Ī
(Judul Asli: Silsilat al-Aimmah al-Mushawwarah (2): al-Imām al-Syāfi‘ī)
Oleh: Dr. Tariq Suwaidan

Penerjemah: Iman Firdaus Lc. Q. 16
Penerbit: Zaman

Bab 2

PERJALANAN MENUNTUT ILMU

 

1. AWAL MENUNTUT ILMU

Syāfi‘ī mulai membuka mata dan hatinya di negeri kelahiran moyangnya. Negeri yang merupakan tumpuan hati dan harapan seluruh kaum muslim di dunia dan tempat turunnya wahyu Islam, Makkah. Syāfi‘ī mulai beradaptasi dengan lingkungan ini untuk mengukuhkan posisinya di tengah para ulama dan orang-orang terhormat. Adakah jalan untuk ini selain dengan menuntut ilmu?

Ibunda yang cerdik ingin membawa Syāfi‘ī kecil ke tempat seorang guru untuk memintanya mengajari Syāfi‘ī membaca al-Qur’ān dan menulis layaknya anak-anak saat mulai belajar. Sayangnya, sang ibu tidak memiliki apa-apa untuk diberikan sebagai upah kepada guru. Tentang hal ini, Syāfi‘ī menuturkan: “Aku seorang yatim yang diasuh ibuku. Ia tidak memiliki apa-apa untuk biaya pendidikanku.”

Kendati hidup miskin, sang ibu ingin Syāfi‘ī mengenyam pendidikan dan menuntut ilmu. Seperti itulah hendaknya seluruh ibu.

Di usia belia, Syāfi‘ī sudah mulai menimba ilmu dari ulama.

2. ANAK YANG MATANG DAN CERDAS

Suatu hari guru Syāfi‘ī terlambat datang ke majelisnya. Dengan nekad Syāfi‘ī berdiri menggantikan gurunya mengajar anak-anak yang lain. Sejak itu, sang guru tahu bahwa Syāfi‘ī bukan anak biasa. Ia pun mulai memerhatikan Syāfi‘ī dan memutuskan untuk membebaskannya dari biaya pendidikan asal Syāfi‘ī mau mengajari anak-anak lain jika ia terlambat atau berhalangan hadir.

Dengarkan penuturan Syāfi‘ī: “Saat membaca buku, aku mendengar guruku tengah mengajari seorang anak tentang ayat-ayat al-Qur’ān. Aku pun mulai menghafalnya. Ketika guru selesai mendiktekan semua ayat untuk murid-muridnya, biasanya aku sudah menghafalnya terlebih dahulu. Suatu hari guruku pernah berkata: “Tak layak bagiku untuk memungut bayaran sepeser pun darimu.”

Hal ini terus berlangsung sampai Syāfi‘ī menghafal seluruh al-Qur’ān, padahal ketika itu ia baru menginjak usia tujuh tahun.

Di Makkah al-Mukarramah, tempat wahyu diturunkan, Syāfi‘ī mulai menuntut ilmu, padahal kala itu ia masih kecil. Pada usia tujuh tahun ia telah berhasil menghafal al-Qur’ān.

3. MASA MUDA TANPA GEJOLAK PUBERTAS

Syāfi‘ī mulai masuk ke masjid dan berbaur dengan para ulama. Ia banyak mendengarkan pelajaran dari mereka dengan mengerahkan segenap kemampuan otak dan semangatnya. Setelah rampung menghafal al-Qur’ān, Syāfi‘ī mulai tertarik menghafal hadits. Antusiasnya terhadap hadits sangat tinggi. Saking banyaknya ia mendengarkan para muḥaddits menyampaikan hadits, ia berhasil menghafal banyak hadits dengan hanya mendengar. Kadang ia menuliskannya di atas tembikar atau di atas kulit.

Ia biasa pergi ke perpustakaan tempat catatan-catatan dan manuskrip-manuskrip disimpan. Di sana ia meminta beberapa lembar manuskrip dan menulis catatan di bagian yang belum ada catatannya. Pada fase ini ia berhasil menghafal al-Muwaththa’ karya besar Imām Mālik, bahkan sebelum ia bertemu dengan sang Imam.

Al-Muzanī meriwayatkan dari Syāfi‘ī, katanya: “Aku telah menghafal al-Qur’ān saat aku berumur tujuh tahun, dan berhasil menghafal al-Muwathta’ saat aku berumur sepuluh tahun.”

Di masa mudanya Syāfi‘ī belum pernah menikmati indahnya masa muda atau mengalami gejolak pubertas seperti kebanyakan anak seusianya. Syāfi‘ī lebih menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan menjadikannya sebagai tujuan.

Setelah menghafal al-Qur’ān, Syāfi‘ī mulai menggeluti hadits. Ia rajin mendengar dan menghafal hadits. Jika memungkinkan, ia mencatatnya di atas kulit, tembikar, atau tempat lainnya. Di usianya yang kesepuluh tahun. Syāfi‘ī telah berhasil menghafal al-Muwaththa’.

Tentang kebiasaannya menulis ini, Syāfi‘ī mencatat pesannya dalam satu bait syair:

Ilmu bak buruan dan catatan adalah pengikatnya

Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat

Sungguh bodoh jika kau berhasil memburu rusa

Namun kau biarkan ia tak terikat di tengah makhluk lain.

 

Imām Syāfi‘ī menjelaskan bahwa nilai manusia terletak pada ilmunya, bukan pada pakaian atau penampilannya. Ia berkata:

Aku mengenakan pakaian yang jika semuanya ku jual

Niscaya menghasilkan uang yang banyak

Dalam pakaian itu ada satu napas jika dibandingkan dengan

Napas-napas orang yang berpenyakit paru-paru maka ia lebih besar

Merusak sarung pedang takkan merusak ketajaman pedangnya

Meski pedang itu patah sepanjang sarungnya.

 

Tentang keutamaan ilmu, Syāfi‘ī berkata:

Belajarlah! Seseorang tidak dilahirkan sebagai seorang alim

Pemilik ilmu tidak seperti seorang bodoh

Pemimpin satu kaum yang tak memiliki ilmu

Terlihat kecil jika dikelilingi oleh pasukannya

Orang yang kecil di tengah satu kaum

Jika berilmu, ia terlihat besar di tengah masyarakatnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *