1-2 Penjelasan Kedua – Ar-Risalah Imam asy-Syafi’i

الرِّسَالَةُ
AR-RISALAH
(Panduan Lengkap Fikih dan Ushul Fikih)
Oleh: Imam asy-Syafi‘i

Penerjemah: Masturi Irham & Asmui Taman
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR

Penjelasan Kedua

84. Allah berfirman: “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah.” (al-Mā’idah: 6).

85. Allah berfirman: “(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (an-Nisā’: 43)

86. Kitab Suci Allah ini menjelaskan tentang cara berwudhu’ dan bukan beristinja’ dengan menggunakan batu dan tentang tata cara mandi junub.

87. Kemudian menjelaskan standar minimal seseorang harus membasuh muka dan anggota tubuh lainnya sebanyak satu kali satu kali. Perintah ini mengandung kemungkinan lebih dari itu, sehingga Rasulullah menjelaskan bahwa boleh membasuh anggota tubuh dalam berwudhu’ sebanyak satu kali dan boleh juga tiga kali. Hal ini memberikan pengertian bahwa membasuh anggota tubuh dengan jumlah terkecilnya, sudah sah, yaitu satu kali. Jika membasuh satu kali sudah mencukupi atau sah, maka perintah untuk membasuh sebanyak tiga kali ini adalah pilihan.

88. Sunnah menunjukkan bahwa boleh beristinja’ dengan menggunakan tiga buah batu. Rasūlullāh s.a.w. juga menjelaskan anggota tubuh yang harus terkena air wudhu’ dan yang harus dibasuh. Beliau menunjukkan bahwasanya kedua tumit dan kedua siku merupakan anggota tubuh yang harus dibasuh. Sebab pengertian ayat al-Qur’ān yang menjelaskan tentangnya mengandung kemungkinan bahwa keduanya hanyalah batasan dalam membasuh dan mungkin juga masuk dalam basuhan. Ketika Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka,” maka menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah membasuh dan bukan mengusap.

89. Allah berfirman: “Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam.” (an-Nisā’: 11).

90. Allah berfirman: “Dan bagimu (suami-istri) seperdua hari harta yang ditinggalkan oleh istri-isrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (an-Nisā’: 12).

91. Penjelasan dalam ayat ini tidak membutuhkan keterangan lain. Kemudian Allah menjelaskan bahwa perintah dalam ayat tersebut bisa dilaksanakan setelah melaksanakan wasiat dan membayarkan hutang si mayat. Kemudian datang satu hadits yang menunjukkan bahwa wasiat tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga dari jumlah harta.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *