1-2 Mush’ab Bin ‘Umair – Biografi 60 Sahabat Nabi

BIOGRAFI 60 SAHABAT NABI
(Judul Asli: Rijalun haular-Rasul)
Penulis: Khalid Muhammad Khalid

Alih Bahasa: Agus Irawan
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: Mush'ab Bin 'Umair - Biografi 60 Sahabat Nabi

ORANG-ORANG MULIA DI SISI RASULULLAH s.a.w.

 

MUSH‘AB BIN ‘UMAIR

(Bagian 2)

Data Islam Pertama

 

Suatu hari ia muncul di hadapan beberapa kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah s.a.w. Saat memandang Mush‘ab, mereka semua menundukkan kepala dan merasa prihatin. Beberapa orang di antara mereka berlinang air mata karena terharu. Hal itu karena mereka melihat Mush‘ab memakai jubah usang yang penuh dengan tambalan. Mereka teringat penampilannya sebelum masuk Islam, ketika pakaiannya bagaikan bunga-bunga di taman hijau yang terawat dan menyebarkan bau yang wangi.

Rasulullah s.a.w. sendiri menatapnya dengan pandangan yang bijaksana. Pandangan yang penuh rasa syukur dan kasih-sayang. Kedua bibir beliau menyunggingkan senyuman mulia, seraya bersabda:

Aku telah mengetahui Mush‘ab ini sebelumnya. Tidak ada pemuda Makkah yang lebih dimanja oleh orang tuanya seperti dirinya. Kemudian ia meninggalkan itu semua karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sejak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush‘ab kepada agama yang lama, segala fasilitas yang dahulu dinikmatinya dihentikan. Bahkan, ibunya tidak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala. Sang ibu tega membiarkannya menanggung derita kemurkaannnya, walau itu adalah anak kandungnya sendiri.

Akhir pertemuan Mush‘ab dengan ibunya adalah ketika perempuan itu hendak mengurungnya kembali setelah ia pulang dari Habasyah. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang yang membantu melaksanakan rencananya. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad putranya yang tidak bisa ditawar lagi, tidak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush‘ab pun tidak kuasa menahan tangis.

Perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan yang luar biasa dari pihak ibu dalam kekafiran, sebaliknya kebulatan tekad sangat kuat dari pihak anak dalam mempertahankan keimanan. Sang ibu mengusirnya dari rumah.

Dia berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi.”

Mush‘ab menghampiri ibunya seraya berkata: “Wahai Bunda! Saya ingin menyampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda merasa kasihan kepadamu. Saksikanlah bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Ibunya menjawab dengan penuh emosi dan kesal: “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan akalku akan melemah.”

Mush‘ab kini meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dinikmatinya selama ini, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda berpenampilan mewah dan wangi itu kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang. Satu hari ia adakalanya makan dan beberapa hari menderita lapar. Tetapi, jiwanya yang telah mengubah dirinya menjadi seorang manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.

Suatu saat Rasulullah s.a.w. memilih Mush‘ab untuk melakukan tugas yang paling agung saat itu. Ia menjadi utusan Rasulullah s.a.w. ke Madinah untuk mengajarkan agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah s.a.w. di bukit ‘Aqabah, mengajak orang-orang yang lain agar menganut agama Allah, dan mempersiapkan Madinah untuk hijrah yang agung.

Ketika itu, sebenarnya masih banyak tokoh yang lebih tua di kalangan sahabat, lebih berpengaruh, dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah s.a.w. daripada Mush‘ab. Tetapi, Rasulullah s.a.w. menjatuhkan pilihannya kepada “Mush‘ab Yang Baik”. Beliau menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas yang besar di pundak pemuda itu, dan menyerahkan nasib agama Islam kepadanya di Madinah, yang tidak lama lagi akan menjadi Darul-Hijrah, pusat para dai dan dakwah, dan markas para pengemban misi Islam dan prajurit perang.

Mush‘ab memikul amanat itu dengan bekal kearifan pikir dan kemuliaan akhlak yang dikaruniakan Allah kepadanya. Kezuhudan, kejujuran, dan kesungguhan hatinya telah berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.

Pada saat awal tiba di Madinah, yang menganut agama Islam di sana hanya dua belas orang, yang telah berbaiat di bukit ‘Aqabah. Tetapi, beberapa bulan kemudian, banyak orang bersedia memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.

Pada musim haji berikutnya setelah tahun Perjanjian ‘Aqabah, kaum muslimin Madinah mengirim utusan yang mewakili mereka menemui Nabi s.a.w. Jumlah mereka adalah tujuh puluh mu’min laki-laki dan perempuan. Mereka berangkat dipimpin oleh guru mereka, yang tidak lain adalah orang yang diutus oleh Nabi s.a.w. kepada mereka, yaitu “Mush‘ab Yang Baik.”

Dengan kesopanan dan kebaikan yang ditunjukkan, Mush‘ab bin ‘Umair telah menjadi bukti bahwa Rasulullah s.a.w. tahu bagaimana memilih orang yang tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, dan mampu menempatkan diri pada batas-batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada agama Allah, menyampaikan berita gembira tentang agama-Nya yang mengajak manusia menuju hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Tugasnya hanyalah menyampaikan agama Allah seperti tugas Rasulullah s.a.w. yang diimaninya.

Di Madinah, Mush‘ab tinggal sebagai tamu di rumah As‘ad bin Zurarah. Ia bersama As‘ad mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Rabbnya, yang telah ia ketahui. Mereka berdua menyampaikan kalimat Allah “bahwa Allah adalah Ilah Yang Maha Esa” secara hati-hati.

Mush‘ab pernah menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri dan sahabatnya, yang nyaris celaka jika tanpa kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba-tiba disergap oleh Usaid bin al-Hudhair, pemimpin kabilah ‘Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush‘ab dengan belati yang terhunus.

Dia sangat murka dan sakit hati menyaksikan Mush‘ab yang datang untuk menyelewengkan kaumnya dari agama mereka, membujuk mereka agar meninggalkan tuhan-tuhan mereka, dan menceritakan Allah Yang Maha Esa yang belum pernah mereka ketahui sebelum itu. Tuhan-tuhan yang selama ini mereka kenal bisa dilihat dengan jelas terpajang di tempatnya dan bila seseorang berkepentingan, ia tahu di mana tempat tuhannya. Dia bisa langsung menghadap tuhannya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan. Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam pikiran suku ‘Abdul Asyhal. Berbeda dengan Rabb Muhammad s.a.w. yang sedang didakwahkan oleh utusan yang datang kepada mereka itu; tiada seorang pun yang mengetahui tempat-Nya atau melihat-Nya.

Saat kaum muslimin yang sedang duduk bersama Mush‘ab melihat kedatangan Usaid bin al-Hudhair dengan membawa kemurkaan bagaikan api yang berkobar, mereka pun merasa khawatir. Tetapi: “Mush‘ab Yang Baik” tetap tenang, percaya diri, dan menunjukkan kegembiraan.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush‘ab dan As‘ad bin Zurarah, seraya berkata: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami? Apakah kalian hendak membodohi orang-orang yang lemah di antara kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika kalian tidak ingin mati!”

Bagaikan samudra yang tenang dan dalam; laksana cahaya fajar yang ceria dan damai. Ketulusan hati “Mush‘ab Yang Baik” mampu menggerakkan lidahnya untuk mengeluarkan ucapan yang lembut: “Mengapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai, anda dapat menerimanya. Sebaliknya, jika tidak, kami akan menghentikan apa yang anda benci.”

Usaid adalah sosok yang berakal cerdas. Dalam hal ini, ia melihat bahwa Mush‘ab mengajaknya berdialog dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Ia hanya dimohon bersedia mendengar, bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush‘ab, dan jika tidak, Mush‘ab berjanji akan meninggalkan kampung dan penduduknya untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan orang lain ataupun dirugikan. Ketika itulah,, Usaid menjawab: “Sekarang aku insaf.”

Dia pun melemparkan belatinya ke tanah dan duduk mendengarkan. Ketika Mush‘ab membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan menguraikan seruan yang dibawa oleh Muhammad bin ‘Abdullah s.a.w., dada Usaid mulai terbuka dan bercahaya, berdetak mengikuti naik turunnya suara, serta meresapi keindahannya. Belum selesai Mush‘ab menyampaikan uraiannya, Usaid sudah berseru kepadanya dan orang-orang yang bersamanya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan ini. Apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk agama ini?”

Mereka pun menjawabnya dengan suara tahlil yang menggemuruh bagai hendak mengguncangkan bumi. Kemudian Mush‘ab berkata kepada Usaid: “Hendaklah ia menyucikan badan dan pakaiannya, serta bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah.”

Setelah itu Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali dengan rambut yang masih meneteskan air sisa bersuci. Ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.

Berita keislaman Usaid pun cepat tersebar bagai cahaya. Keislamannya disusul oleh kehadiran Sa‘ad bin Mu‘adz. Setelah mendengar uraian Mush‘ab, Sa‘ad pun merasa puas dan masuk Islam. Langkah ini disusul oleh Sa‘ad bin ‘Ubadah. Dengan keislaman mereka bertiga, maka selesailah sudah persoalan dengan berbagai suku di Madinah.

Warga Madinah saling berdatangan dan bertanya-tanya antara sesama mereka: “Jika Usaid bin al-Hudhair, Sa‘ad bin Ubadah, dan Sa‘ad Mu‘adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu? Ayolah kita pergi kepada Mush‘ab dan beriman bersamanya. Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya.”

Demikianlah, duta Rasulullah s.a.w. yang pertama telah mencapai hasil gemilang. Keberhasilan yang memang wajar dan pantas diraih oleh Mush‘ab.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *