1-2 Mengenal Allah – ‘Aqa’iduna – Syaikh Makarim Syirazi

Inikah Keyakinan Kita?
Oleh: Nasir Makarim Syirazi
(Judul Asli: ‘Aqū’idunā)

Penerjemah: Toha al-Musawa
Penerbit: Penerbit al-Mu‘ammal

Diketik oleh: Zaidah Melani

Rangkaian Pos: 001 Mengenal Allah | 'Aqa'iduna - Syaikh Makarim Syirazi

Tauhid merupakan Inti Ajaran Islam

Kita meyakini, pembahasan terpenting ma‘rifatullāh (pengenalan terhadap Allah SWT) adalah masalah tauhid dan keesaan Dzāt Yang Suci. Sebenarnya, tauhid bukan merupakan satu-satunya sebagian dari asas-asas agama (ushūl-ud-dīn), tetapi ia adalah intisari seluruh ajaran Islam. Secara ringkas dapat dikatakan, dasar-dasar (ushūl) maupun cabang-cabang agama (Furū‘uddīn) teringkas dalam ajaran tauhid. Semua pembahasan kembali kepada persoalan tauhid; dari keesaan Dzāt Yang Mahasuci, tauhid sifat, dan tauhid perilaku Allah (af‘āl). Begitupula dalam persoalan kesatuan dakwah para nabi, kesatuan semua agama samawi, kiblat, kitab samawi, hukum dan perundang-undangan Allah SWT terkait dengan kehidupan manusia, kesatuan barisan orang-orang Islam, dan kesatuan hari akhir, semua menjadi bukti tentang keesaan Dzāt Tuhan.

Dengan alasan ini, al-Qur’ān menganggap segala bentuk penyelewengan tauhid dan kecenderungan kepada syirik sebagai dosa tak terampuni, sebagaimana difirmankan Allah SWT:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa lain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisā’:48)

Dalam ayat lain yang berkenaan dengan ini, Allah SWT berfirman:

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah semua amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar:65)

 

Cabang-cabang Tauhid

Kita meyakini, tauhid memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang terpenting di konsep tauhid dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok. Keempat hal itu adalah:

Tauhid dalam Dzāt

Yang dimaksud dengan Tauhid Dzāt Tuhan (Dzāti) adalah bahwa Dzāt Tuhan yang Suci bersifat Esa; tiada sesuatu pun yang dapat menyerupai dan menyamai-Nya.

Tauhid dalam Sifat

Yang dimaksud dengan tauhid sifat adalah bahwa semua sifat Allah SWT seperti ilmu, kemampuan (qudrah), keterdahuluan (azali), kekekalan (abadi), dan sifat-sifat lain terkumpul dalam Dzāt-Nya. Dengan kata lain sifat-sifat Allah SWT merupakan Dzāt Allah SWT itu sendiri. Ini tidak seperti sifat para makhluk-Nya, dimana antara satu sifat dengan sifat yang lain terdapat pemisah, begitu pula antara semua sifat dengan Dzāt-Nya. Tentu saja, pokok bahasan tentang sifat Allah SWT yang menunjukan Dzāt Allah SWT itu sendiri memerlukan kecermatan dan pembahasan secara terperinci.

Tauhid dalam Perilaku Tuhan (Tauḥīd Af‘āl)

Yang dimaksud dengan Tauḥīd af‘āl adalah bahwa segala perilaku, gerak-gerik, dan kesan apapun yang terdapat di alam semesta ini, semuanya bersumber dari kehendak Allah SWT.

Dalam al-Qur’ān, Allah SWT berfirman:

Allah telah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (az-Zumar: 62)

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

Kepunyaan-Nya-lah Allah perbendaharaan langit dan bumi.(as-Syu‘arā’:12)

Benar, dalam sebuah kaidah dikatakan: “Tiada kesan dan pengaruh di alam ini kecuali kesan dan pengaruh Allah SWT.” Akan tetapi, ungkapan semacam ini memberikan konsekuensi bahwa kita menjadi terpaksa dalam melakukan segala perbuatan. Padahal, pada kenyataannya justru sebaliknya; kita bebas dalam berencana dan berkehendak. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’ān:

Sesungguhnya kami telah menunjukkan jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (al-Insān:3)

Juga dalam ayat lain, yang berkenaan dengan persoalan ini, Allah SWT berfirman:

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.(an-Najm:39)

Kedua ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam berperilaku dan bertindak. Akan tetapi, dikarenakan kehendak Allah-lah yang telah menganugerahkan kepada kita kebebasan dalam berkehendak dan kekuatan untuk melakukan sesuatu, maka semua perilaku yang telah kita lakukan pun akan bersandar kepada-Nya, meski tanpa mengurangi tanggung jawab kita atas perbuatan yang telah dilakukan. Renungkanlah!

Dia yang menghendaki kita tercipta atas dasar memiliki kebebasan dalam melakukan suatu perbuatan, dan atas dasar itu pula kita diuji sehingga dapat meraih kesempurnaan. Karena hanya melalui kebebasan berkehendak dalam berperilaku dalam mentaati-Nya, kesempurnaan manusia dapat terwujud. Sebab, apabila manusia, dalam beramal dan berbuat atas setiap pekerjaan yang dilakukannya, didasari keterpaksaan dan keluar ikhtiarnya, maka hal tersebut menyebabkan seseorang tidak dapat disifati dengan sifat baik atau buruk.

Sebenarnya, jika perbuatan manusia itu bersifat terpaksa, maka pengutusan para nabi dan diturunkannya semua Kitab Samawi tak akan memiliki arti apapun. Begitu pula perintah agama, pengajaran, pendidikan, balasan dan siksaan akhirat, akan menjadi tidak berarti dan sia-sia.

Inilah perkara yang diajarkan Ahl-ul-Bait a.s. kepada kita, mereka berkata:

“Tiada keterpaksaan secara mutlak, sebagaimana pula tiada kebebasan secara mutlak; namun yang benar adalah di antara keduanya.”

Tauhid dalam ‘ibādah

Artinya, tiada yang patut disembah melainkan Allah SWT. Ibadah hanya dikhususkan untuk Dzāt-Nya yang suci. Ini merupakan salah satu cabang tauhid yang dianggap paling penting, sehingga termasuk bagian yang terpenting dari ajaran para nabi. Maka dari itu, mereka banyak menyibukkan diri dan berkonsentrasi pada persoalan ini.

Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan agama yang lurus) dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat yang demikian itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah:5)

Apabila seorang manusia telah berhasil melalui tahapan-tahapan kesempurnaan akhlak dan irfan, maka dia akan mendapatkan konsep tauhid yang lebih dalam diri pemahaman tersebut diatas. Bahkan mencapai taraf di mana hati manusia hanya bertaut kepada Allah SWT; dalam segala kondisi hanya memohon kepada-Nya, tidak memikirkan sesuatu pun selain diri-Nya, dan tak sesuatupun yang mampu mengalihkan perhatiannya kepada-Nya. “Segala yang menyibukkanmu dan menyebabkanmu jauh dari-Nya, maka itu adalah berhalamu.”

Kita meyakini, cabang-cabang tauhid tidak hanya terbatas pada empat hal di atas, bahkan terdapat cabang-cabang lain seperti Tauḥīd Mulkiyyah (segala sesuatu adalah milik Tuhan dan berasal dari-Nya), sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān:

Hanyalah milik Allah SWT segala apa yang ada dilangit dan dibumi.(al-Baqarah:284)

Tauḥīd Ḥākimiyyah (aturan yang benar hanyalah aturan Tuhan). Dalam al-Qur’ān dijelaskan:

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan Allah SWT, maka mereka itulah orang-orang yang kafir. (al-Mā’idah:44)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *