Kalau kita membuka buku-buku biografi (tarājum) sahabat, kita akan mendapatkan dua nama yang sama, yaitu Lubābah binti Ḥārits. Ternyata, keduanya adalah dua bersaudari (kakak-beradik). Lubābah yang besar (kubrā) adalah ibu dari “Si Tinta Umat (Ḥabr-ul-Ummah) ‘Abdullāh bin ‘Abbās. Sedangkan, Lubābah yang kecil (sughrā) adalah ibu dari “Si Pedang Allah” (Saif-ul-llāh) Khālid bin Walīd.
Lubābah kecil biasa dijuluki al-‘Ishmā‘. Beberapa ulama bersilang pendapat apakah dia (Lubābah kecil) termasuk dalam kategori sahabat atau tabi‘in sebagaimana yang disinyalir oleh Abū ‘Umar dalam al-Isti‘āb. Namun, Ibnu Katsīr memasukkan namanya dalam jajaran sahabat. Sedangkan, Lubābah besar, biasa dijuluki “Umm-ul-Fadhl”. Dia adalah istri ‘Abbās bin ‘Abd-ul-Muththalib, ibu dari Fadhl, ‘Abdullāh, dan putranya yang lain.
Di antara keutamaan wanita pada masa Lubābah besar adalah dia termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam. Lubābah besar masuk Islam setelah Khadījah binti Khuwailid. Dalam hal ini, ‘Abdullāh bin ‘Abbās pernah berkata: “Saya dan ibu saya termasuk orang-orang muslim pertama yang tertindas dari kalangan wanita dan anak-anak.” (Riwayat Bukhārī),
Lubābah besar termasuk salah seorang wanita muslimah yang cukup disegani di kalangan kaumnya. Di antara keutamaan “Umm-ul-Fadhl” (Lubābah besar) adalah wanita yang dikaruniai saudara ipar dari kalangan orang mulia. Bagaimana tidak, saudarinya yang bernama Maimūnah adalah istri Rasūlullāh s.a.w. Kemudian datang ‘Abbās menikahinya adiknya yang bernama Lubābah. Adiknya yang lain, yang bernama Salmā, diperistri oleh Ḥamzah. Sedangkan adiknya – yang lain juga – yang bernama Asmā’, diperistri oleh Ja‘far bin Abī Thālib. Setelah Ja‘far meninggal, datang Abū Bakar menikahi janda Ja‘far (Asmā’). Sepeninggal Abū Bakar, ‘Alī datang menggantikan posisi Abū Bakar (menikahi Asmā’).
Dalam al-Istī‘āb, Abū ‘Umar menuturkan bahwa Lubābah besar termasuk wanita yang subur (dari pernikahannya dengan ‘Abbās, dia dikaruniai enam putra yang cerdas). Karena kewibawaannya di kalangan wanita ‘Arab, Rasūlullāh s.a.w. kerap sekali mengunjunginya.
Dalam periwayatan hadits, Lubābah besar juga meriwayatkan beberapa hadits dari Rasūlullāh s.a.w. Jumlah hadits yang diriwayatkananya sebanyak 30 hadits. Tiga di antaranya diriwayatkan dalam kitab Shaḥīḥain (Bukhārī-Muslim). Satu hadits termasuk muttafaqun ‘alaih (disepakati keabsahannya oleh Bukhārī-Muslim), satu yang lainnya hanya diriwayatkan oleh Bukhārī, sedangkan satu yang lainnya diriwayatkan Muslim. Putranya ‘Abdullāh bin ‘Abbās juga meriwayatkan dari ibunya.
Disebutkan dalam Shaḥīḥ (Bukhārī) bahwasanya para sahabat mengadu (bertanya-tanya) apakah Rasūlullāh s.a.w. puasa pada hari ‘Arafah? Lalu diutuslah “Umm-ul-Fadhl” mendatangi beliau dengan membawa secawan susu. Rasūlullāh pun meminumnya di tempat wukuf. Maka para sahabat tahu bahwa beliau tidak berpuasa.
Demikian sekilas tentang Lubābah besar, ibu ‘Abdullāh, yang sejak pertama berharap agar putranya kelak menjadi orang yang mencatat sejarah. Suatu hari, sambil menimang putranya (‘Abdullāh) Lubābah berkata:
“Saya telah korbankan tenaga dan keperawananku (demi putraku). Maka putraku ini harus menjadi pemimpin, baik bagi orang yang keras maupun orang yang lembut.”
Ternyata harapan Lubābah pun tercapai, salah satu putranya yang bernama ‘Abdullāh menjadi pemimpin kaumnya dengan ilmunya, sehingga dia (‘Abdullāh) mendapat gelar Ḥabr-ul-Ummah “Tinta Umat”. Demikianlah kelembutan seorang ibu kepada putranya.
Lubābah meninggal sebelum suaminya ‘Abbās bin Abī Thālib, pada masa pemerintahan ‘Utsmān bin ‘Affān.