Kekuatan Iman dan Keyakinannya
Karena kedekatannya kepada Nabi s.a.w. sejak kecil, ketika ia diambil dari ayahnya, Abu Thalib, dan diasuh di madrasah Nabi, hari demi hari keyakinannya tumbuh semakin kukuh tak tergoyahkan. Sepanjang hidupnya ia mengakui, menerima, dan membenarkan Rasulullah s.a.w. Ia selalu meyakini kebenaran dan keagungan ayat-ayat Allah serta ucapan Rasulullah tanpa ragu, bimbang, apalagi lemah hati. Perhatikanlah sikapnya ketika Rasulullah s.a.w. mengabarinya bahwa ia akan terbunuh. Zaid ibn Wahab mengisahkan bahwa beberapa orang Khawarij mendatangi ‘Ali r.a. dan berkata: “Bertakwalah kepada Allah karena kau adalah mayat.”
‘Ali berkata: “Demi Zat yang menumbuhkan biji-bijian dan menghidupkan makhluk, aku adalah mayat yang terbunuh dengan pukulan yang menebas di sini – seraya menunjuk lehernya. Aku menetapi sumpah dan memenuhi ketentuan. Sungguh telah merugi orang yang mendustainya.” Lihatlah, keyakinan macam apakah itu? Ia bersumpah bahwa ia akan terbunuh dengan cara seperti itu.
‘Ali r.a. beriman kepada Allah s.w.t., dengan iman tak tergoyahkan. Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan cinta tanpa batas. Layaklah jika Allah dan Rasul-Nya mencintai dan meridainya. Layak pula jika setiap permohonan dan doanya dikabulkan. Ini merupakan salah satu keistmewaan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib.
Suatu ketika seseorang menyampaikan sesuatu kepada ‘Ali r.a. dan ‘Ali menanggapinya dengan ucapan: “Ucapanmu bohong.”
“Aku tidak berbohong,” ujar laki-laki itu.
“Aku akan berdoa kepada Allah, dan membuktikan bahwa kau berbohong.”
“Berdoalah.”
‘Ali berdoa dan tidak lama kemudian mata laki-laki menjadi buta.
Abu Makkin mengisahkan bahwa ia dan pamannya, Abu Umayyah pernah melewati sebuah rumah milik Bani Hayy. Pamannya berkata: “Kau melihat rumah itu?”
“Ya,” jawab Abu Makkin.
“Dulu ‘Ali pernah lewat di sini dan mereka sedang membangun rumah itu. Tiba-tiba sebongkah material jatuh menimpanya sehingga ia terluka dan berdoa kepada Allah agar rumah itu tak pernah tuntas dibangun. Sejak saat itu tidak ada sepotong batu bata pun yang terpasang di rumah itu.”
Abu Makkin menuntaskan kisahnya: “Aku tak pernah melihat rumah itu tuntas dibangun.” (151).
Riwayat lain menuturkan pengabulan doa ‘Ali ibn Abi Thalib yang dipanjatkan pada Perang Jamal. Abu Basyir al-Syaibani yang ikut dalam perang Jamal bercerita: “Aku tidak pernah melihat potongan kaki dan tangan sebanyak hari itu. Kelak, aku tahu bahwa itu karena ‘Ali pernah berdoa pada hari Perang Jamal: “Ya Allah, ambillah tangan dan kaki mereka.”
Keimanannya yang kokoh membuatnya senantiasa bertawakkal kepada Allah s.w.t. Ia serahkan seluruh dirinya kepada Allah s.w.t. Yahya ibn Murrah menuturkan bahwa pada suatu malam ‘Ali r.a. keluar rumah berjalan menuju masjid untuk shalat sunat. Kami mendekati dan menjaganya. Usai shalat ia menemui kami dan berkata: “Mengapa kalian duduk di sini?”
“Kami sedang menjagamu.”
“Menjagaku dari penduduk langit atau penduduk bumi?”
“Kami menjagamu dari penduduk bumi.”
“Tidak ada sesuatu pun yang akan terjadi di bumi ini kecuali telah ditetapkan di langit, dan tidak seorang pun berjalan di dunia ini kecuali dua malaikat melindungi dan menjaganya hingga takdir menemuinya. Ketika takdir datang, kedua malaikat itu menepi di antara takdir dan dirinya. Ketahuilah, ada pelindung dari Allah yang menjaga dan melindungi ‘Ali. Jika datang ajalku, pelindung itu menepi. Ketahuilah, sesungguhnya nikmat iman tidak dirasakan hingga seseorang menyadari bahwa apa yang menimpannya tidak mungkin salah, dan apa yang tidak menimpanya tidak akan menimpanya.” (162).
Qatadah mengisahkan bahwa pada suatu malam ‘Ali ibn Abi Thalib membangunkan anggota keluarganya, mengumpulkan mereka, lalu berkata: “Tidaklah bagi setiap orang di dunia kecuali ada dua malaikat menjaganya dari sesuatu yang belum ditakdirkan – dalam riwayat lain “sesuatu yang belum datang ketentuannya” – ketika takdir datang, kedua malaikat penjaga itu menepi darinya.”
Setelah menyampaikan kata-kata itu ia pergi menuju masjid dan pada malam itulah ia terbunuh. (173)
Bagi ‘Ali ibn Abi Thalib, tawakkal bukanlah kepasrahan yang disertai kemalasan. Tawakkal adalah mengaitkan segala sesuatu kepada musabbab, Allah s.w.t., seraya menetapi sebab, karena bersandar hanya kepada sebab adalah syirik, sedangkan meninggalkan sebab berarti menyalahi syariat. Dalam segala urusan, para sahabat selalu menyandarkan diri mereka kepada Allah. Mereka menepi, menghadap kepada Allah, dan menghaturkan segala kebutuhan bagaikan anak kecil yang merengek dan meminta kepada ibunya. Jika diberi, mereka rida. Jika tidak, mereka tidak marah. Ketika orang zalim menakut-nakuti, atau kaum kafir mengancam, mereka memohon pertolongan kepada Raja Yang Maha Perkasa dan bertawakkal kepada Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pengampun.
Catatan: