1-2 Hukum Orang yang Berbuka pada Siang Hari Ramadhan – Rahasia Puasa & Zakat

Rahasia Puasa & Zakat
Mencapai Kesempurnaan Ibadah
(Percikan Iḥyā’ ‘Ulūm-id-Dīn)
Diterjemahkan dari: Asrār-ush-Shaum dan Asrār-uz-Zakāt
 
Karya: Al-Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī
Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh: Muḥammad al-Bāqir
Penerbit: Penerbit Mizan

Rangkaian Pos: Kewajiban dan Sunnah Puasa yang Bersifat Lahiriah serta Hal-hal yang Merusakkan

Hukum Orang yang Berbuka pada Siang Hari Ramadhān

Hukum-hukum yang berkaitan dengan berbuka di siang dari Ramadhān ada empat: Qadhā’, kaffārat, fidyah, dan imsāk pada sisa hari puasa. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Qadhā’. Yakni mengganti puasa Ramadhān yang ditinggalkan dengan puasa di hari-hari lain. Hal ini berlaku atas setiap Muslim mukallaf (dewasa dan berakal), yang meninggalkan puasa Ramadhān dengan atau tanpa ‘udzur (alasan yang dibenarkan dalam agama).

Berdasarkan itu, seorang wanita yang sedang haidh harus mengqadhā’ hari-hari puasa yang ditinggalkannya ketika hari-hari haidhnya. Demikian pula orang murtad, harus mengqadhā’ puasanya (apabila dia telah kembali memeluk agama Islam).

Adapun orang kafir, anak-anak, dan orang gila, tidak diwajibkan qadhā’ atas mereka. Dalam melaksanakan qadhā’, tidak diwajibkan melakukannya secara berturut-turut. Boleh saja dia melakukannya secara terpisah atau berturut-turut.

  1. Kaffārat. Tidak wajib kaffārat, kecuali atas orang yang membatalkan puasanya dengan (sanggama). Adapun membatalkannya dengan istimnā‘, makan, minum, dan sebagainya, selain jima‘, maka tidak ada kaffārat atas semua ini. (Yang wajib, hanya qadhā’).

Yang dimaksud dengan kaffārat ialah, memerdekakan seorang budak, atau jika hal itu tidak mungkin dilakukan – mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut (selain Ramadhān). Dan apabila yang demikian itu tidak mampu dilakukan, dia harus memberi makan enampuluh orang miskin, masing-masing satu mud (kira-kira 800 gram beras – Penerjemah).

  1. Imsāk. Yakni, meninggalkan makan, minum, dan sebagainya pada sisa hari yang dibatalkan puasanya. Hal ini, hanya wajib atas orang yang membatalkan puasanya dengan sebab yang haram, atau karena kelalaian yang disengaja. Maka, tidak wajib imsāk atas seorang wanita atas musāfir yang pulang dari kepergiannya (sebelum waktu maghrib).

Wajib pula imsāk pada “hari syakk” (yaitu, yang tadinya dikira tanggal 30 Sya‘bān), apabila ternyata ada orang adil yang telah menyaksikan terbitnya hilal Ramadhān pada malam sebelumnya (Hal ini dapat terjadi apabila berita tentang hal itu datangnya terlambat, sesudah fajar menyingsing).

Tetap berpuasa pada waktu bepergian jauh, lebih afdhal daripada tidak berpuasa, kecuali bagi musāfir yang merasa sangat berat melakukannya. Dan apabila pagi harinya dia telah berpuasa, lalu dia memulai kepergiannya setelah itu, hendaknya dia tidak menghentikan puasanya. Demikian pula, apabila dia pulang dari kepergiannya dalam keadaan puasa.

  1. Fidyah (tebusan). Wajib atas wanita hamil atau yang sedang menyusui apabila meninggalkan puasa, karena takut akan terganggunya kesehatan bayinya. Adapun jumlah fidyah ialah satu mud, diberikan kepada seorang miskin, untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Selain fidyah, dia harus mengqadhā’ puasanya itu. Demikian pula seorang yang telah lanjut usia, sehingga puasa terasa sangat memberatkan baginya, dia dibolehkan tidak berpuasa, dan sebagai gantinya, hendaknya dia membayar fidyah sebanyak satu mud seharinya.

Sunnah-sunnah Berkaitan dengan Puasa

Ada enam hal yang disunnahkan bagi yang berpuasa: Mengundurkan makan sahur, menyegerakan berbuka dengan makan kurma atau minum air sebelum shalat maghrib, tidak bersiwak (bersikat-gigi) setelah waktu tengah hari, banyak bersedekah, mendaras al-Qur’ān, dan ber-i‘tikāf di masjid, terutama pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhān. Begitulah kebiasaan Rasūlullāh s.a.w. sebagaimana telah diriwayatkan:

كَانَ (ص) إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ الْأَوَاخِرُ كُوَى الْفِرَاشَ وَ شَدَّ الْمِئْزَرَ وَ دَأَبَ وَ أَدْأَبَ أَهْلَهُ.

Telah menjadi kebiasaan Rasūlullāh s.a.w. apabila bulan Ramadhān tiba, beliau melipat alas tidurnya (yakni, mengurangi tidurnya), mengetatkan sarungnya (yakni, bersungguh-sungguh dalam beribadah), serta mengajak keluarganya berbuat seperti itu pula.” (141).

Hal itu mengingat adanya malam lailat-ul-qadar, yang besar kemungkinannya berlangsung pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhān. Di antara malam-malam ganjil ini, lebih besar kemungkinannya pada malam keduapuluh satu, duapuluh tiga, duapuluh lima, dan duapuluh tujuh.

Ber-i‘tikāf pada malam-malam ini (yakni, sepuluh malam terakhir) secara berturut-turut sangat dipujikan. Dan sekiranya dia bernazar ber-i‘tikāf secara berturut-turut (atau meniatkannya), lalu dia keluar dari tempat i‘tikāf-nya itu untuk hal-hal yang tidak termasuk darurat, maka terputuslan i‘tikāf-nya itu, karena tidak memenuhi persyaratan “berturut-turut”. Yaitu, sebagai contoh, jika dia keluar untuk mengunjungi orang sakit, atau menjadi saksi dalam suatu perkara, atau menghadiri jenazah, atau mendatangi kawan, atau membarui wudhu’, dan sebagainya. Tetapi, jika dia keluar untuk qadhā’ ḥājat (buang air besar atau kecil) maka i‘tikāf-nya itu tidak dianggap terputus. Pada waktu itu, dia boleh pula wudhu’ di rumahnya sendiri. Akan tetapi, seyogianya tidak menyibukkan diri dengan suatu pekerjaan lainnya. Telah diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. (pada hari-hari i‘tikāf-nya) tidak keluar kecuali untuk qadhā’ ḥājat-nya, dan tidak menanyakan tentang keadaan orang yang sedang sakit kecuali sambil lalu.” (152).

Kesinambungan i‘tikāf terputus dengan melakukan sanggama, tetapi tidak dengan mencium istri.

Dibolehkan bagi orang yang sedang i‘tikāf di masjid untuk memakai wangi-wangian, mengakadkan nikah (melakukan ījāb-qabūl), makan, tidur, mencuci tangan, dan sebagainya. Semua itu adakalanya diperlukan, dan tidak memutuskan kesinambungan i‘tikāf. Demikian pula tidak terputus apabila dia mengeluarkan sebagian tubuhnya dari ruangan masjid. Telah diriwayatkan bahwa: “Rasūlullāh s.a.w. memasukkan kepalanya ke kamar beliau (yang bersebelahan dengan ruangan masjid – Penerjemah), agar dapat disisiri oleh ‘Ā’isyah r.a. yang berada di kamar itu.” (163)

Enam sunnah dalam puasa: (1). Mengundurkan makan sahur, (2). menyegerakan berbuka dengan makan kurma atau minum air sebelum shalat maghrib, (3). tidak bersiwak (bersikat-gigi) setelah waktu tengah hari, (4). banyak bersedekah, (5). mendaras al-Qur’ān, dan (6). ber-i‘tikāf di masjid, terutama pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhān.

Dan, apabila seorang yang ber-i‘tikāf keluar untuk qadhā’ ḥājat-nya, seyogianya dia membarui niat i‘tikāf-nya pada saat kembali, kecuali jika dia sebelum itu sudah meniatkan i‘tikāf selama sepuluh hari, misalnya. Kendatipun demikian, yang lebih afdhal baginya ialah membarui niatnya.

Catatan:

  1. 14). HR. al-Bukhārī dan Muslim, dari ‘Ā’isyah dengan lafal: “Beliau menghidupkan malam (bulan Ramadhān), membangunkan keluarganya, dan mengetatkan sarungnya.
  2. 15). HR. al-Bukhārī dan Muslim (pada bagian awalnya), dan Abū Dāūd (pada bagian akhirnya).
  3. 16). HR. al-Bukhārī dan Muslim, dari ‘Ā’isyah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *