Hukum ‘Aqlī
(Bagian 2 dari 3)
وَ أَمَّا الْحُكْمُ الْعَادِيُّ فَحَقِيْقَتُهُ إِثْبَاتُ الرَّبْطِ بَيْنَ أَمْرٍ وَ أَمْرٍ وُجُوْدًا أَوْ عَدَمًا بِوَاسِطَةِ تَكَرُّرِ الْقِرَانِ بَيْنَهُمَا عَلَى الْحِسِّ.
Sementara hakikat hukum adat adalah menetapkan hubungan antara satu hal dengan hal lain dari sisi wujud dan ketiadaannya dengan perantara terulang-ulangnya kebersamaan di antara keduanya secara nyata.
مِثَالُ ذلِكَ الْحُكْمُ عَلَى النَّارِ بِأَنَّهَا مُحْرِقَةٌ فِهذَا حُكْمٌ عَادِيٌّ، إِذْ مَعْنَاهُ أَنَّ الْإحْرَاقَ يَقْتَرِنُ بِمَسِّ النَّارِ فِيْ كَثِيْرٍ مِنَ الْأَجْسَامِ لِمُشَاهَدَةِ تَكَرُّرِ ذلِكَ عَلَى الْحِسِّ.
Misalnya, menghukumi bahwa api dapat membakar. Ini adalah hukum adat, sebab maknanya adalah pembakaran terjadi berbarengan dengan tersentuhnya api apa mayoritas benda, karena secara nyata hal itu terbukti terjadi berulang kali.
وَ لَيْسَ مَعْنَى هذَا الْحُكْمِ أَنَّ النَّارَ هِيَ الَّتِيْ أَثْرَتْ فِيْ إِحْرَاقِ مَا مَسَّتْهُ مَثَلًا أَوْ فِيْ تَسْخِيْنِهِ إِذْ هذَا الْمَعْنَى لَا دِلَالَةَ لِلْعَادَةِ عَلَيْهِ أَصْلًا، وَ إِنَّمَا غَايَةُ مَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الْعَادَةُ الْاِقْتِرَانُ فَقَطْ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ.
Hukum ini tidak berarti, bahwa api yang berpengaruh (menciptakan) pada terbakarnya benda yang tersentuh olehnya upamanya, atau berpengaruh memanaskannya. Sebab makna demikian oleh adat. Maksimal yang ditunjukkan adat hanyalah kebersamaan antara dua hal tersebut.
أَمَّا تَعْيِيْنُ فَاعِلٍ ذلِكَ فَلَيْسَ لِلْعَادَةِ فِيْهِ مُدْخَلٌ، وَ لَا مِنْهَا يُتَلَقَّى عِلْمُ ذلِكَ.
Adapun penentu faktor yang membakar benda, maka adat sama sekali tidak terkait dengannya dan tidak bisa diketahui darinya.
وَ قِسْ عَلَى هذَا سَائِرَ الْأَحْكَامِ الْعَادِيَةِ، كَكَوْنِ الطَّعَامِ مَشْبَعًا وَ الْمَاءِ مَرْوِيًّا وَ الشَّمْسِ مُضِيْئَةً وَ السِّكِّيْنِ قَاطِعَةٌ وَ نَحْوِ ذلِكَ مِمَّا لَا يَنْحَصِرُ.
Samakanlah seluruh hukum adat pada kasus ini, seperti keberadaan makanan dapat mengenyangkan, air dapat menyegarkan, matahari dapat menyinari, pisau dapat memotong, dan contoh kasus lain yang tidak terbatas.
وَ إِنَّمَا يُتَلَقَّى الْعِلْمُ بِفَاعِلِ هذِهِ الْآثَارِ الْمُقَارَنَةِ لِهذِهِ الْأَشْيَاءِ مِنْ دَلِيْلَيِ الْعَقْلِ وَ النَّقْلِ، وَ قَدْ أَطْبَقَ الْعَقْلُ وَ الشَّرْعُ عَلَى انْفِرَادِ الْمَوْلَى جَلَّ وَ عَزَّ بِاخْتِرَاعِ جَمِيْعِ الْكَائِنَاتِ عُمُوْمًا، لِأَنَّهُ لَا أَثَرَ لِكُلِّ مَا سِوَاهُ تَعَالَى فِيْ أَثَرِ مَا جُمْلَةً وَ تَفْصِيْلًا.
Pengetahuan tentang faktor yang memengaruhi dan yang berbarengan dengan berbagai hal tersebut hanya dapat diketahui dari dalil ‘aqlī dan naqlī. Sementara akal dan syariat telah sepakat atas mandirinya Allah Maha Penguasa – jalla wa ‘azza – dalam menciptakan seluruh perkara yang wujud secara umum, sebab tidak ada atsar (kemampuan menciptakan) bagi apapun selain Allah ta‘ālā dalam menciptakan perkara apapun, baik secara global maupun terperinci.
وَ قَدْ غَلَطَ قَوْمٌ فِيْ تِلْكَ الْأَحْكَامِ الْعَادِيَّةِ، فَجَعَلُوْهَا عَقْلِيَّةً وَ أَسْنَدُوْا وُجُوْدَ كُلِّ أَثَرٍ مِنْهَا لِمَا جَرَّتِ الْعَادَةُ أَنَّهُ يُوْجَدُ مَعَهُ، إِمَّا بِطَبْعِهِ أَوْ بِقُوَّةٍ أَوْدَعَتْ فِيْهِ، فَأَصْبَحُوْا وَ قَدْ بَاءُوْا بِهَوْسٍ ذَمِيْمٍ، وَ بِدْعَةٍ شَنِيْعَةٍ فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَ شِرْكٍ عَظِيْمٍ، وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
Sungguh segolongan kaum telah salah memahami hukum-hukum adat, menganggapnya sebagai hukum ‘aqlī, dan menyandarkan wujud setiap atsar dalam permasalahan tersebut pada sebab yang biasanya wujud bersamaan dengannya, adakalanya menyandarkan pada tabiatnya atau kekuatan yang diletakkan padanya, sehingga mereka – dalam keterbalikannya – meyakini akidah yang rusak dan tercela, bid‘ah yang keji dalam ushūl-ud-dīn, dan syirik besar, lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.
نَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ النَّجَاةَ إِلَى الْمَمَاتِ مِنْ مُضِلَّاتِ الْفِتَنِ وَ الْمُرُوْرَ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا عَلَى أَهْدَى سُنَنٍ بِجَاهِ سَيِّدِنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ (ص).
Aku memohon keselamatan dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan memedomani petunjuk sunnah secara lahir dan batin, kepada Allah dengan wasīlah derajat Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad s.a.w.
وَ أَمَّا الْحُكْمُ الْعَقْلِيُّ فَهُوَ عِبَارَةٌ عَمَّا يُدْرِكُ الْعَقْلُ ثُبُوْتَهُ أَوْ نَفْيَهُ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى تَكَرُّرٍ وَ لَا وَضْعِ وَاضِعٍ، وَ هذَا الْحُكْمُ الثَّالِثُ هُوَ الَّذِيْ تَعَرَّضْنَا لَهُ فِيْ أَصْلِ الْعَقِيْدَةِ.
Sementara itu, hukum akal adalah istilah dari hukum yang penetapan dan penafiannya ditemukan oleh akal tanpa tergantung pada pengulangan-pengulangan dan pada putusan syariat. Hukum ketiga inilah yang aku jelaskan dalam pembahasan Kitab Asal, Kitāb al-‘Aqīdah.
فَقَوْلُنَا “الْحُكْمُ الْعَقْلِيُّ” احْتِرَازٌ مِنَ الشَّرْعِيِّ وَ الْعَادِيِّ، وَ قَدْ عَرَفْتَ مَعْنَاهُمَا.
Maka ucapanku: “Hukum ‘aqlī” dalam al-‘Aqīdah merupakan pengecualian dari hukum syariat dan hukum adat, yang telah anda ketahui maknanya.
وَ قَوْلُهُ “يَنْحَصِرُ – فِيْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ” يَعْنِيْ أَنَّ كُلَّ مَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ، أَيْ يُدْرِكُهُ مِنْ ذَوَاتٍ وَ صِفَاتٍ، وَجُوْدِيَّةٍ أَوْ سَلْبِيَّةٍ، أَوْ أَحْوَالٍ قَدِيْمَةٍ أَوْ حَادِثَةٍ، لَا يَخْلُوْ عَنْ هذِهِ الثَّلَاثَةِ الْأَقْسَامِ، أَيْ لَا بُدَّ لَهُ أَنْ يَتَّصِفَ بِوَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا بِالْوُجُوْدِ أَوِ الْجَوَازِ أَوِ الْاِسْتِحَالَةِ.
Ungkapan Kitab Asal: “Hukum ‘aqlī terbatas dalam tiga bagian”, maksudnya sungguh setiap hal yang tertashawwurkan dalam akal, maksudnya berbagai zat dan sifat, yang bersifat wujud atau yang bersifat salbiyyah, atau ḥāliyyah yang bersifat qadim atau hadits (baru), yang dipahami akal, tidak terlepas dari ketiga bagian hukum ‘aqlī ini. Maksudnya pasti bersifat dengan salah satunya, adakalanya bersifat wājib, jawāz, atau mustaḥīl.
وَ قَوْلُهُ “فَالْوَاجِبُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ” يَعْنِيْ أَنَّ الْوَاجِبَ الْعَقْلِيَّ هُوَ الْأَمْرُ الَّذِيْ لَا يُدْرَكُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُه.
Ungkapan Kitab Asal: “Wājib adalah hukum yang ketiadaannya tidak tertashawwurkan di dalam akal”, maksudnya sungguh wājib ‘aqlī adalah hal yang ketiadaannya tidak ditemukan menurut akal.
يَعْنِيْ إِمَّا ابْتِدَاءً بِلَا احْتِيَاجٍ إِلَى سَبْقِ نَظَرِ، وَ يُسَمَّى الضَّرُوْرِيَّ، كَالتَّحَيُّزِ مَثَلًا لِلْجِرْمِ، فَإِنَّ الْعَقْلَ ابْتِدَاءً لَا يُدْرِكُ انْفِكَاكَ الْجِرْمِ عَنِ التَّحَيُّزِ، أَيْ أَخْذِهِ قَدْرَ ذَاتِهِ مِنَ الْفَرَاغِ.
Maksudnya adakalanya langsung dipahami dari awal tanpa butuh pemikiran dahulu, yang disebut sebagai dharūrī, seperti bertempat bagi benda fisik umpamanya, sebab akal dari awal tidak memahami terlepasnya benda fisik dari mengambil tempat seukuran zatnya dari ruang yang kosong.
وَ إِمَّا بَعْدَ سَبْقِ النَّظَرِ وَ يُسَمَّى نَظَرِيًّا كَالْقِدَمِ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ، فَإِنَّ الْعَقْلَ إِنَّمَا يُدْرِكُ وُجُوْبَهُ لَهُ تَعَالَى إِذَا فَكَرَ الْعَقْلُ وَ عَرَفَ مَا يَتَرَتَّبُ علَى ثُبُوْتِ الْحُدُوْثِ لَهُ عَزَّ وَ جَلَّ مِنَّ الدَّوْرِ أَوِ التَّسَلْسُلِ الْوَاضِحِيِّ الْاِسْتِحَالَةِ.
Dan adakalanya yang dipahami setelah adanya pemikiran, yang disebut nazharī, seperti sifat qidam bagi Allah – jalla wa ‘azza – , sebab akal menemukan wājib-nya sifat qidam bagi Allah ta‘ālā ketika akal melakukan proses berfikir dan mengetahui daur (perputaran) dan tasalsul (ketersambungan) yang jelas-jelas mustaḥīl, yang muncul dari tetapnya sifat ḥudūts bagi-Nya.
فَقَدْ عَرَفْتَ بِهذَا انْقِسَامِ الْوَاجِبِ إِلَى ضَرُوْرِيٍّ وَ نَظَرِيٍّ.
Dengan penjelasan ini anda mengetahui terbaginya hukum wājib pada wājib yang bersifat dharūrī dan nazharī.
وَ قَوْلُهُ “وَ الْمُسْتَحِيْلُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وَجُوْدُهُ” يَعْنِيْ أَيْضًا إِمَّا ابْتِدَاءً أَوْ بَعْدَ سَبْقِ النَّظَرِ.
Ungkapan Kitab Asal: “Mustaḥīl adalah hukum yang wujudnya tidak tertashawwurkan di dalam akal”, maksudnya adakalanya mulai dari awal atau setelah adanya pemikiran, sebagaimana dalam hukum wājib.
فَمِثَالُ الْأَوَّلِ عُرْوُ الْجِرْمِ عَنِ الْحَرَكَةِ وَ السُّكُوْنِ، أَيْ تَجَرُّدُهُ عَنْهُمَا مَعًا بِحَيْثُ لَا يُوْجَدُ فِيْهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، فَإِنَّ الْعَقْلَ ابْتِدَاءً لَا يَتَصَوَّرُ ثُبُوْتَ هذَا الْمَعْنَى لِلْجِرْمِ.
Contoh bagian pertama adalah sepinya benda fisik dari gerakan dan diam, maksudnya terlepasnya dari keduanya secara bersamaan sekira salah satunya tidak ditemukan padanya, sebab sungguh akal dari awal tidak mentashawwurkan tetapnya hal ini bagi benda fisik.
وَ مِثَالُ الثَّانِيْ كَوْنُ الذَّاتِ الْعَلِيَّةِ جِرْمًا، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، فَإِنَّ اسْتِحَالَةَ هذَا الْمَعْنَى عَلَيْهِ جَلَّ وَ عَزَّ إِنَّمَا يُدْرِكُهُ الْعَقْلُ بَعْدَ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ النَّظَرُ فِيْ مَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الْمُسْتَحِيْلِ، وَ هُوَ الْجَمْعُ بَيْنَ النَّقِيْضَيْنِ.
Contoh bagian kedua adalah keberadaan Zat Allah Yang Maha Tinggi sebagai benda fisik – Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya – , sebab sungguh ke-mustaḥīl-an hal ini bagi Allah – jalla wa ‘azza – hanya dapat ditemukan oleh akal setelah ia melakukan pemikiran tentang ke-mustaḥīl-an yang muncul dari hal tersebut, yaitu berkumpulnya naqīdhain (25) (pada Allah).
وَ ذلِكَ أَنَّهُ قَدْ وَجَبَ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ الْقِدَمُ وَ الْبَقَاءُ لِئَلَّا يَلْزَمُ الدَّوْرُ أَوِ التَّسَلْسُلِ، لَوْ كَانَ تَعَالَى جِرْمًا لَوَجَبَ لَهُ الْحُدُوْثُ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، لِمَا تَقَرَّرَ مِنْ وُجُوْبِ الْحُدُوْثِ لِكُلِّ جِرْمٍ، فَيَلْزَمُ إِذَنْ أَنْ لَوْ كَانَ تَعَالَى جِرْمًا أَنْ يَكُوْنَ وَاجَبَ الْقِدَمِ لِأُلُوْهِيَّتِهِ، وَ وَاجِبُ الْحُدُوْثِ لِجِرْمِيَّتِهِ، تَعَالَى عَن ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، وَ ذلِكَ جَمْعٌ بَيْنَ النَّقِيْضَيْنِ لَا مَحَالَةَ.
Penjelasannya adalah, sungguh telah wājib bagi Allah – jalla wa ‘azza – sifat qidam dan baqa’ agar tidak terjadi daur atau tasalsul, andaikan Allah ta‘ālā adalah benda fisik maka wājib baginya sifat ḥudūts – Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya – , karena wājib-nya sifat ḥudūts bagi setiap benda fisik. Bila demikian maka bisa dipastikan, andaikan Allah ta‘ālā adalah benda fisik maka ia (tetap) wājib bersifat qidam karena sifat ketuhanannya, dan wājib bersifat ḥudūts karena sifat benda fisiknya – Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya – . Hal ini secara pasti merupakan berkumpulnya dua hal yang bertentangan pada satu objek.
فَقَدْ عَرَفْتَ أَيْضًا بِهذَا انْقِسَامَ الْمُسْتَحِيْلُ إِلَى ضَرُوْرِيٍّ وَ نَظَرِيٍّ.
Dengan penjelasan ini anda juga mengetahui terbaginya hukum mustaḥīl pada mustaḥīl yang bersifat dharūrī dan nazharī.