‘Abdul Muththalib dan ‘Abdullah
Selama abad ke-5 dan ke-6 M, Makkah diperintah oleh suku Quraisy. Mereka adalah keturunan langsung Nabi Ibrahim. Qushay, salah seorang pemimpin Quraisy, memerintah Makkah. Di rumahnyalah, suku Quraisy mengambil berbagai keputusan. Setelah dia meninggal, kepemimpinan Qushay dilanjutkan oleh anaknya, ‘Abd Manaf.
Yang berikutnya menjadi pemimpin adalah Hasyim, lahir pada 464 M. Dialah pelopor perjalanan kafilah suku Quraisy. Perjalanan pertama pada musim panas ke Suriah dan utara, sedangkan kedua pada musim dingin ke Yaman dan Selatan. Sebagai akibatnya, Makkah menjadi kaya dan merupakan tempat perdagangan yang penting. Selama musim haji, Hasyim menjamu jamaah dengan roti, daging, mentega, jelai, dan kurma.
Kelak, Hasyim menikahi Salma binti ‘Amr ibn Zaid. Dia berasal dari suku Al-Khazraj, keluarga yang terhormat di Yatstrib. Salma melahirkan anak lelaki bernama Syaibah. Sayangnya, Hasyim meninggal dalam suatu perjalanan ketika Syaibah masih kecil. Al-Muththalib, saudara Hasyim, mengambil alih kedudukan. Dibawanya Syaibah kembali ke Makkah.
Sewaktu mereka memasuki kota, warga Makkah mengira anak itu budak Al-Muththalib. Mereka menunjuknya dan berseru, “Abdul Muththalib!” yang berarti “Budak Muththalib”. Panggilan itu tidak berubah walaupun Al-Muththalib sudah menjelaskan bahwa Syaibah adalah keponakannya.
Selama memimpin, ‘Abdul Muththalib ditentang dan harus mempertahankan kedudukan. Menyediakan air untuk jamaah haji adalah tugasnya. Salah satu rintangan utamanya adalah tertimbunnya sumur Zamzam. Tetapi, melalui mimpi, dia mendapat ilham agar mencari di antara dua berhala di dekat Ka‘bah. ‘Abdul Muththalib menggali di tempat sesuai dengan petunjuk mimpinya dan menemukan kembali sumur Zamzam.
Seiring waktu, kondisi ‘Abdul Muththalib membaik dan dia makin makmur. Meskipun berkuasa dan berpengaruh, ada satu yang membuatnya sedih. ‘Abdul Muththalib hanya memiliki satu putra. Dia menginginkan banyak penerus untuk memuliakan keluarga. Maka ‘Abdul Muththalib bersumpah akan mempersembahkan satu orang anak sebagai tumbal jika dia punya sepuluh anak.
Tahun demi tahun berlalu. Beberapa anak lelaki dan perempuan lahir. Akhirnya anak lelaki ‘Abdul Muththalib berjumlah 11 orang. Cukup lama dia menunda persembahan, lalu tibalah waktunya menepati sumpah. Anak mana yang harus dikorbankan? Semua sangat dia cintai, terutama si bungsu ‘Abdullah.
‘Abdul Muththalib memutuskan untuk mengundi. Nama ‘Abdullah yang keluar, dan sang ayah siap melaksanakan sumpah. Namun, kaum Quraisy memprotes. Dalam dilema ini, beberapa penasihat menyarankan ‘Abdul Muththalib menemui peramal di Kota Thai’f. Wanita peramal itu menyuruh ‘Abdul Muththalib mengundi nama ‘Abdullah dengan sepuluh unta. Jika nama anaknya tetap keluar, dia harus terus menambah jumlah unta sebanyak sepuluh sampai dewa-dewa puas. ‘Abdul Muththalib mematuhinya, tetapi tak ada yang berubah. 10 kali berturut-turut nama ‘Abdullah, bahkan setelah jumlah unta sudah mencapai 100 ekor. Pada pengundian kesebelas, barulah unta yang keluar. Seratus ekor unta disembelih dan dibagi-bagikan kepada orang miskin.
Ketika ‘Abdullah berusia 24 tahun, dia dinikahkan dengan Aminah, putri Wahb ibn Manaf dari keluarga Zuhra. Suatu hari, ‘Abdullah bepergian untuk berdagang ke Suriah. Dalam perjalanan pulang, dia sakit dan meninggal di Yatsrib. Tepatnya di rumah paman dari pihak ibu. Usia ‘Abdullah belum 25 tahun, sedangkan Aminah tengah mengandung.
Tahun Gajah
Pada 571 M, tahun yang sungguh penting dalam sejarah Makkah. Saat itu Raja Yaman (Abrahah Al-Ashram) mendirikan sebuah gereja di ibu kotanya, Shan’a. Dia berniat menjadikan gereja itu pusat perdagangan dan agama untuk menggantikan Ka‘bah. Dia pun hendak menghancurkan Ka‘bah. Diutusnya pasukan berjumlah besar yang diperlengkapi dengan tiga belas ekor gajah. Mereka mendatangi Makkah dari selatan untuk meruntuhkan Ka‘bah. Abrahah Al-Ashram memimpin rombongan, menunggang gajah besar bernama Mahmud.
Sementara itu, ‘Abdul Muththalib tengah berkabung atas meninggalnya sang anak. Namun, malapetaka lebih besar akan terjadi bila misi Abrahah berhasil. Mendengar beberapa untanya sudah dirampas Abrahah, ‘Abdul Muththalib mendatangi dia dan meminta miliknya dikembalikan. Abrahah terkejut oleh reaksi lelaki itu. Dia berkata: “Aku kemari jauh-jauh untuk meruntuhkan Ka‘bah. Kau malah lebih mencemaskan untamu.” ‘Abdul Muththalib menjawab: “Ya, karena akulah pemilik unta-unta itu. Ka‘bah dijaga oleh Pemiliknya sendiri.”
Sia-sia saja suku Quraisy berusaha bernegosiasi dengan Abrahah. Dia berkeras menghancurkan Ka‘bah sekalipun ditawari sepertiga kekayaan wilayah Thima. Dia hendak menyerang Ka‘bah pagi harinya. Dipersiapkannya senjata dan pasukan. Tetapi, kawanan gajah enggan maju. Malah, mereka berlutut di hadapan Makkah. Pada saat bersamaan, sekelompok burung muncul dari seberang lautan. Masing-masing membawa batu yang lebih besar daripada biji sesawi. Akibat dihujani batu, serdadu Abrahah tewas. Raja itu sendiri meninggal dalam perjalanan ke Yaman. Setelah insiden ini, suku Quraisy dihormati dan dikenal sebagai “para penyembah Allah”.
١٠٥:١.أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيْلِ
١٠٥:٢.أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍ
١٠٥:٣.وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ
١٠٥:٤.تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍ
١٠٥:٥.فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ
Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia?
Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,
Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
(QS. al-Fīl [105]: 1-5)