1-2 Abu Bakar Ash-Shiddiq RA – Hilyat-ul-Auliya’ wa Thabaqat-ul-Ashfiya’

حلية الأولياء وطبقات الأصفياء
Ḥilyat-ul-Auliyā’i wa Thabaqāt-ul-Ashfiyā’
(Perhiasan para Wali dan Tingkatan-tingkatan Orang-orang yang Suci.)

Oleh: Al-Imam Abu Nu’aim al-Ashfahani r.h.

Rangkaian Pos: Abu Bakar Ash-Shiddiq RA - Hilyat-ul-Auliya' wa Thabaqat-ul-Ashfiya'

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِيْ عَاصِمٍ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، وَ الْفَضْلُ بْنُ دَاوُدَ، قَالَا: ثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ، ثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زَيْدٍ، ثنا أَسْلَمُ، عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، أَنَّ أَبَا بَكْرٍ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ اسْتَسْقَى فَأُتِيَ بِإِنَاءٍ فِيْهِ مَاءٌ وَ عَسَلٌ، فَلَمَّا أَدْنَاهُ مِنْ فِيْهِ بَكَى وَ أَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَسَكَتَ وَ مَا سَكَتُوْا، ثُمَّ عَادَ فَبَكَى حَتَّى ظَنُّوْا أَنْ لَا يَقْدِرُوْا عَلَى مُسَاءَلَتِهِ، ثُمَّ مَسَحَ وَجْهَهُ وَ أَفَاقَ، فَقَالُوْا: مَا هَاجَكَ عَلَى هذَا الْبُكَاءِ؟ قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ جَعَلَ يَدْفَعُ عَنْهُ شَيْئًا وَ يَقُوْلُ: «إِلَيْكَ عَنِّيْ إِلَيْكَ عَنِّيْ» وَ لَمْ أَرَ مَعَهُ أَحَدًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَاكَ تَدْفَعُ عَنْكَ شَيْئًا [ص: 31] وَ لَا أَرَى مَعَكَ أَحَدًا؟ قَالَ: “هذِهِ الدُّنْيَا تَمَثَّلَتْ لِيْ بِمَا فِيْهَا، فَقُلْتُ لَهَا: إِلَيْكِ عَنِّيْ فُتَنَحَّتْ وَ قَالَتْ: أَمَا وَ اللهِ لَئِنِ انْفَلَتَّ مِنِّيْ لَا يَنْفَلِتُ مِنِّيْ مَنْ بَعْدَكَ، «فَخَشِيْتُ أَنْ تَكُوْنَ قَدْ لَحِقَتْنِيْ، فَذَاكَ الَّذِيْ أَبْكَانِيْ»

قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ: وَ كَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَا يُفَارِقُ الْجِدَّ، وَ لَا يُجَاوِزُ الْحَدَّ، وَ قَدْ قِيْلَ: “إِنَّ التَّصَوُّفَ الْجِدُّ فِي السُّلُوْكِ إِلَى مَالِكِ الْمُلُوْكِ.

66. Aḥmad bin Isḥāq menceritakan kepada kami, Abū Bakar bin Abī ‘Āshim menceritakan kepada kami, al-Ḥasan bin ‘Alī dan Fadhl bin Dāūd menceritakan kepada kami, keduanya berkata: ‘Abd-ush-Shamad bin ‘Abd-ul-Wārits menceritakan kepada kami, ‘Abd-ul-Wāḥid bin Zaid menceritakan kepada kami, Aslam menceritakan kepada kami, dari Murrah ath-Thayyib, dari Zaid bin Arqam, bahwa Abū Bakar r.a. meminta diambilkan air minum, lalu dia diberi gelas yang berisi air dan madu. Saat mendekatkan gelas itu ke mulutnya, Abū Bakar menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Kemudian Abū Bakar diam, tetapi mereka tidak kunjung diam. Kemudian Abū Bakar kembali menangis hingga mereka mengira bahwa mereka tidak sanggup untuk bertanya kepadanya. Kemudian Abū Bakar mengusap wajahnya dan kembali normal. Mereka bertanya: “Apa yang membuatmu menangis seperti ini?” Abū Bakar menjawab: “Aku bersama Nabi s.a.w., lalu beliau mendorong sesuatu dan berkata: “Menjauhlah dariku! Menjauhlah dariku! Padahal tidak ada seorang pun bersama beliau. Lalu aku bertanya: “Ya Rasūlullāh, aku melihatmu mendorong sesuatu tetapi aku tidak melihat seorang pun bersamamu?” Beliau menjawab: “Dunia dengan segala isinya menampakkan diri kepadaku”. Lalu aku berkata: “Menjauhlah dariku!” Lalu dia (dunia itu) pun menjauh dan berkata: “Demi Allah, kendati engkau terlepas dariku, maka umat sesudahmu tidak terlepas dariku”. Karena itu aku takut sekiranya dunia itu telah menyusulku. Itulah yang membuatku menangis.

Syaikh (Abū Nu‘aim) berkata: Abū Bakar tidak pernah meninggalkan keseriusan dan tidak melewati batas. Sebuah petuah mengatakan bahwa: Tashawwuf adalah kesungguhan dalam melakukan sulūk (perjalanan spiritual) menuju Mālik-ul-Mulūk (Pemilik Segala Kekuasaan).

حَدَّثَنَا أَبُوْ عَمْرِو بْنُ حَمْدَانَ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، حَدَّثَنِيْ يَعْقُوْبُ بْنُ سُفْيَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ عَمْرُو بْنُ مَنْصُوْرٍ الْبَصْرِيُّ، ثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَسْلَمَ الْكُوْفِيِّ، عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قَالَ: “كَانَ لِأَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ مَمْلُوْكٌ يَغُلُّ عَلَيْهِ، فَأَتَاهُ لَيْلَةً بِطَعَامٍ فَتَنَاوَلَ مِنْهُ لُقْمَةً، فَقَالَ لَهُ الْمَمْلُوْكُ: مَا لَكَ كُنْتَ تَسْأَلُنِيْ كُلَّ لَيْلَةٍ وَ لَمْ تَسْأَلْنِي اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: حَمَلَنِيْ عَلَى ذلِكَ الْجُوْعُ، مِنْ أَيْنَ جِئْتَ بِهذَا؟ قَالَ: مَرَرْتُ بِقَوْمٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَرَقِيْتُ لَهُمْ فَوَعَدُوْنِيْ، فَلَمَّا أَنْ كَانَ الْيَوْمُ مَرَرْتُ بِهِمْ فَإِذَا عُرْسٌ لَهُمْ فَأَعْطَوْنِيْ، قَالَ: إِنْ كِدْتَ أَنْ تُهْلِكَنِيْ، فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيْ حَلْقِهِ فَجَعَلَ يَتَقَيَّأُ، وَ جَعَلَتْ لَا تَخْرُجُ، فَقِيْلَ لَهُ: إِنَّ هذِهِ لَا تَخْرُجُ إِلَّا بِالْمَاءِ، فَدَعَا بِطَسْتٍ مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ يَشْرَبُ وَ يَتَقَيَّأُ حَتَّى رَمَى بِهَا، فَقِيْلَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ كُلُّ هذَا مِنْ أَجْلِ هذِهِ اللُّقْمَةِ، قَالَ: لَوْ لَمْ تَخْرُجْ إِلَّا مَعَ نَفْسِيْ لَأَخْرَجْتُهَا، سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: «كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ، »فَخَشِيْتُ أَنْ يَنْبُتُ شَيْءٌ مِنْ جَسَدِيْ مِنْ هذِهِ اللُّقْمَةِ.»

وَ رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ، وَ الْمُنْكَدِرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ جَابِرٍ نَحْوَهُ.

قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ: وَ كَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقْدَمُ عَلَى الْمَضَارِّ لِمَا يُؤْمَلُ فِيْهِ مِنَ الْمَسَارِّ. وَ قَدْ قِيْلَ: «إِنَّ التَّصَوُّفَ السُّكُوْنُ إِلَى اللَّهِيْبِ فِي الْحَنِيْنِ إِلَى الْحَبِيْبِ»

67. Abū ‘Amr bin Ḥamdān menceritakan kepada kami, al-Ḥasan bin Sufyān menceritakan kepada kami, Ya‘qūb bin Sufyān menceritakan kepada kami, dia berkata: ‘Amr bin Manshūr al-Bashrī menceritakan kepada ku, ‘Abd-ul-Wāḥid bin Asad menceritakan kepada kami, dari Aslam al-Kūfī, dari Murrah ath-Thayyib, dari Zaid bin Arqam, dia berkata: Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. memiliki seorang budak yang bekerja untuk mencari nafkah baginya. Pada suatu malam, budaknya itu menyuguhinya makanan, lalu Abū Bakar memakannya sesuap. Budaknya itu pun bertanya: “Mengapa engkau bertanya kepadaku di setiap malam (tentang makanan), tetapi kamu tidak bertanya kepadaku pada malam ini?” Abū Bakar menjawab: “Karena aku sangat lapar. Dari mana kamu memperoleh makanan ini?” Budak itu menjawab: “Dahulu aku pernah berpapasan dengan suatu kaum di masa jahiliyah, lalu aku melakukan jampi-jampi kepada mereka, dan mereka berjanji untuk memberiku sesuatu. Nah, hari ini aku bertemu dengan mereka lagi, dan ternyata mereka sedang mengadakan pesta sehingga mereka pun memberiku makanan ini.” Abū Bakar berkata: “Kamu nyaris menghancurkanku.” Kemudian Abū Bakar memasukkan tangannya ke tenggorokannya agar muntah, namun tidak kunjung keluar. Lalu seseorang berkata kepadanya: “Makanan tidak bisa keluar kecuali dengan air.” Lalu dia meminta diambilkan sebaskom air dan meninumnya hingga muntah.” Lalu seseorang berkata: “Semoga Allah merahmatimu. Semua ini hanya demi sesuap makanan?” Dia menjawab: “Seandainya dia tidak bisa keluar kecuali bersama nyawaku, niscaya aku keluarkan ia. Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Setiap jasad yang tumbuh dari makanan yang haram, maka neraka lebih pantas untuknya.” Karena itu, aku takut sekiranya ada sebagian dari tubuhku yang tumbuh dari sesuap makanan ini.”

‘Abd-ur-Raḥmān bin Qāsim meriwayatkannya dari ayahnya dari ‘Ā’isyah dengan redaksi yang serupa. Dan Munkadir bin Muḥammad bin Munkadir meriwayatkan dari ayahnya dari Jābir dengan redaksi yang serupa.

Syaikh (Abū Nu‘aim) berkata: Abū Bakar r.a. berani mengambil risiko untuk hal-hal yang diharapkan membawa kebahagiaan. Sebuah petuah mengatakan bahwa: Tashawwuf adalah bersikap tenang terhadap kobaran api dalam keadaan rindu kepada Kekasih.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ، ثَنَا بِشْرُ بْنُ مُوْسَى، قَالَ: ثَنَا الْحُمَيْدِيُّ، ثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، ثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ كَثِيْرٍ، عَنِ ابْنِ تَدْرُسَ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَتْ: “أَتَى الصَّرِيْخُ آلَ أَبِيْ بَكْرٍ، فَقِيْلَ لَهُ: أَدْرِكْ صَاحِبَكَ، فَخَرَجَ ]ص: 32 [مِنْ عِنْدِنَا – وَ إِنَّ لَهُ غَدَائِرَ – فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ وَ هُوَ يَقُوْلُ: “{وَيْلَكُمْ أَتَقْتُلُوْنَ رَجُلًا أَنْ يَقُوْلَ رَبِّيَ اللهُ وَ قَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ} [غافر: 28]” فَلَهُوْا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ أَقْبَلُوْا عَلَى أَبِيْ بَكْرٍ، فَرَجَعَ إِلَيْنَا أَبُوْ بَكْرٍ فَجَعَلَ لَا يَمَسُّ شَيْئًا مِنْ غَدَائِرِهِ إِلَّا جَاءَ مَعَهُ وَ هُوَ يَقُوْلُ: «تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ»

قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: كَانَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ يَقْدَمُ الْحَقِيْرَ مُفْتَادًا لِلْخَطِيْرِ، وَ قَدْ قِيْلَ: «إِنَّ التَّصَوُّفَ وَقْفُ الْهِمَمِ عَلَى مَوْلَى النِّعَمِ»

68. Muḥammad bin Aḥmad bin al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Bisyr bin Mūsā menceritakan kepada kami, dia berkata: al-Ḥumaidī menceritakan kepada kami, Sufyān bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami, Walīd bin Katsīr menceritakan kepada kami, dari Ibnu Tadrus, dari Asmā’ binti Abī Bakar r.a., dia berkata: Seorang penyeru mendatangi keluarga Abū Bakar, lalu dia diberitahu: “Susullah temanmu!” Kemudian Abū Bakar keluar dari rumah kami – dan sesungguhnya dia memiliki beberapa kuncir – lalu masuk masjid sambil berkata: “Apakah kalian hendak membunuh seseorang lantaran dia mengucapkan Tuhanku adalah Allah sedangkan dia membawa bukti-bukti yang terang dari Tuhan kalian?” (Ghāfir [40]: 28). Mereka pun mengabaikan Rasūlullāh s.a.w., lalu menghadapi Abū Bakar. Setelah itu Abū Bakar kembali ke rumah kami. Dan dia tidak menyentuh salah satu kuncirnya, melainkan dia mengucapkan: “Maha Suci Engkau, wahati Tuhan Pemilik keagungan dan kemuliaan.”

Syaikh (Abū Nu‘aim) berkata: Abū Bakar r.a. mengorbankan sesuatu yang tidak bernilai untuk menebus sesuatu yang bernilai. Sebuah petuah mengatakan bahwa: Tashawwuf adalah memfokuskan tekad pada Pemberi nikmat.

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيٍّ الْمِصِّيْصِيُّ، ثَنَا أَبُوْ عَطَاءٍ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الصَّلْتِ الطَّائِيُّ، ثَنَا دَاوُدُ بْنُ مُعَاذٍ، ثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنِ سَعِيْدِ عَنْ يُوْنُسَ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقَ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِصَدَقَتِهِ فَأَخْفَاهَا، قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هذِهِ صَدَقَتِيْ، وَ للهِ عَزَّ وَ جَلَّ عِنْدِيْ مَعَادٌ، وَ جَاءَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ بِصَدَقَتِهِ فَأَظْهَرَهَ ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هذِهِ صَدَقَتِيْ، وَ لِيْ عِنْدَ اللهِ مَعَادٌ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: «يَا عُمَرُ وَتَرْتَ قَوْسَكَ بِغَيْرِ وَتَرٍ، مَا بَيْنَ صَدَقَتَيْكُمَا كَمَا بَيْنَ كَلِمَتَيْكُمَا»

وَ رَوَاهُ زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ عُمَرَ، نَحْوَهُ

69. ‘Alī bin Aḥmad bin al-Mishshīshī menceritakan kepada kami, Abū ‘Athā’ Muḥammad bin Ibrāhīm bin ash-Shalt ath-Thā’ī menceritakan kepada kami, Dāūd bin Mu‘ādz menceritakan kepada kami, ‘Abd-ul-Wārits bin Sa‘īd bin Yūnus bin ‘Ubaid menceritakan kepada kami, dari al-Ḥasan al-Bashrī, bahwa Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. menemui Rasūlullāh s.a.w. dengan membawa sedekahnya, dan dia menyembunyikannya. Dia berkata: “Ya Rasūlullāh, ini adalah sedekahku. Adalah hak Allah untuk meminta apa yang ada di sisiku.” Lalu datanglah ‘Umar r.a. dengan membawa sedekahnya, dan dia menampakkamnya. Dia berkata: “Ya Rasūlullāh, ini adalah sedekahku, semoga aku memperoleh apa yang dijanjikan di sisi Allah.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Wahai ‘Umar! Busurmu tidak bisa membidik tanpa senar. Jarak antara sedekah kalian berdua itu seperti jarak antara kalimat kalian berdua.

Zaid bin Aslam meriwayatkannya dari ayahnya dari ‘Umar dengan redaksi yang serupa.

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ، وَ ثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الطَّلْحِيُّ، ثَنَا عُبَيْدُ بْنُ غَنَّامٍ، ثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ، قَالَا: ثَنَا أَبُوْ نُعَيْمٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيْهِ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ يَقُوْلُ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نَتَصَدَّقَ، وَ وَافَقَ ذلِكَ مَالٌ عِنْدِيْ، فَقُلْتُ: الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا، قَالَ: فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِيْ، قَالَ: فَقَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: «مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟» قَالَ: فَقُلْتُ: مِثْلَهُ، وَ أَتَى أَبُوْ بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: «مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟» قَالَ: أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ، قُلْتُ: لَا أُسَابِقُكَ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا وَ رَوَاهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ الْعُمَرِيُّ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، نَحْوَهُ.

قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: كَانَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ فِي الْمَصَافَّاتِ صَافِيًا،[ ص: 33] وَ فِي الْمُؤَاخَاةِ وَافِيًا، وَ قَدْ قِيْلَ: «إِنَّ التَّصَوُّفَ اسْتِنْفَادُ الطَّوْقِ فِيْ مُعَانَاةِ الشَّوْقِ، وَ تَزْجِيَةُ الْأُمُوْرِ عَلَى تَصْفِيَةِ الصُّدُوْرِ»

70. Sulaimān bin Aḥmad menceritakan kepada kami, ‘Alī bin ‘Abd-ul-‘Azīz menceritakan kepada kami, Abū Bakar ath-Thalḥī menceritakan kepada kami, ‘Ubaid bin Ghannām menceritakan kepada kami, Abū Bakar bin Abī Syaibah menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Abū Nu‘aim menceritakan kepada kami, dari Hisyām bin Sa‘d, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar ‘Umar bin Khaththāb r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kami untuk bersedekah, dan kebetulan saat itu aku sedang memiliki harta. Lalu aku berkata: “Hari ini aku akan mengalahkan Abū Bakar, seandainya aku memang bisa mengalahkannya di suatu hari.” ‘Umar berkata: Kemudian aku datang dengan membawa separo hartaku. Rasūlullāh s.a.w. bertanya kepadaku: “Berapa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” ‘Umar menjawab: “Seperti ini.” Lalu datanglah Abū Bakar dengan membawa semua miliknya. Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abū Bakar menjawab: “Aku menyisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Aku berkata: “Aku tidak bisa mengalahkanmu dalam satu hal selama-lamanya.” (321)

‘Abdullāh bin ‘Umar al-‘Umarī meriwayatkannya dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar dengan redaksi yang serupa.

Syaikh (Abū Nu‘aim) berkata: Abū Bakar r.a. adalah orang yang tulus dalam berjabat tangan dan setia dalam persaudaraan. Sebuah petuah mengatakan bahwa: Tashawwuf adalah mencurahkan segenap tenaga untuk mengekang hasrat dan menggiring segala urusan untuk membeningkan hati.

Catatan:


  1. 32). Hadits ini ḥasan. H.R. at-Tirmidzī (Sunan-ut-Tirmidzī, pembahasan: Manāqib, 3675) dan Abū Dāūd (Sunanu Abī Dāūd, pembahasan: Zakat, 1678). Hadits ini dinilai shaḥīḥ oleh al-Albanī. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *