Ujian bagi Seorang Mu’min
(Bagian 1 dari 2)
Khalifah ingin menghibur ‘Urwah terkait apa yang menimpa dirinya dan juga putranya, karena musibah itu teramat berat. Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana cara berbela-sungkawa kepdaanya. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba datang kepadanya sekelompok utusan dari Bani ‘Abbās dan di antara mereka ada seorang laki-laki buta. Maka al-Walīd pun bertanya kepadanya tentang sebab kebutaannya.
Laki-laki itu menjawab: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, dulu tidak ada seorang pun dari Bani ‘Abbās yang lebih kaya dariku dalam hal harta, tidak ada juga uang memiliki keluarga dan anak-anak lebih banyak selain daripada aku. Aku bersama harta dan keluargaku tinggal di suatu lembah di antara tempat kediaman kaumku. Lalu banjir seperti itu. Banjir itu menghanyutkan semua harta, keluarga, dan anak-anakku. Tidak ada lagi milikku yang tersisa kecuali seekor unta dan seorang bayi yang baru lahir.
Kemudian unta itu kabur sehingga aku meninggalkan anakku di atas tanah untuk mengejar unta itu. Namun belum jauh aku meninggalkan tempatku, tiba-tiba aku mendengar suatu jeritan anak kecil. Aku pun memalingkan mukaku dan aku melihat kepala anakku berada di mulut serigala yang sedang memakannya. Maka aku langsung berlari ke arahnya, namun aku tidak berhasil menyelamatkannya karena serigala itu telah menghabiskannya.
Lalu aku pergi mengejar unta yang kabur, ketika aku telah berada dekat dengannya, salah satu kakinya menyepak wajahku sehingga menyebabkan keiningku hancur dan mataku buta.” (151).
Demikianlah ujian bagi laki-laki ini, lebih menyakitkan dibandingkan dengan ujian bagi ‘Urwah, dia telah kehilangan keluarganya, anaknya hartanya, dan juga penglihatannya.
Maka pada saat itu, al-Walīd bin ‘Abd-il-Mālik bermaksud meringankan beban ulama dan ahli fikih Madinah itu dengan mengirimkan laki-laki ini bersama dengan salah seorang pengawalnya kepada ‘Urwah, supaya dia tahu bahwa di antara manusia ada orang yang mendapatkan ujian dan musibah yang lebih berat darinya.
Laki-laki itu pun pergi bersama pengawal, lalu dia menceritakan kepada ‘Urwah bin az-Zubair tentang kisah hidupnya. Maka ‘Urwah mengucapkan kalimat istirja‘ dan menyerahkan semua urusannya kepada Allah ‘azza wa jalla Dialah teladan bagi seorang mu’min yang terkena musibah, yang sabar dalam menghadapi ujian, serta selalu bertaqwa dalam keadaan suka maupun duka.
Tidak berapa lama kemudian, ‘Urwah bin az-Zubair dibawa kembali ke Madinah, karena keluarga, murid-muridnya, dan para pengikutnya yang merasa kehilangannya selama waktu-waktu tersebut. Ketika rombongan mereka tiba di daerah Wād-il-Qurā di dekat Madinah, ‘Urwah berseru sambil berdoa menengadahkan wajahnya ke langit:
“Ya Allah, dulu aku memiliki empat anggota badan (dua tangan dan dua kaki), lalu Engkau mengambil salah satu darinya dan Engkau menyisakan tiga darinya, maka segala puji bagi-Mu. Dulu aku memiliki empat orang putra, lalu Engkau mengambil salah satu darinya dan Engkau menyisakan tiga darinya, maka segala puji bagi-Mu. Demi Allah, seandainya Engkau mengambil pasti Engkau menyisakan, dan seandainya Engkau memberikan ujian pasti Engkau memberikan kesembuhan.” (162).
Benar, jika Allah telah mengambil darinya sedikit, maka Allah pun telah memberinya banyak. Jika Allah telah memberikan ujian kepadanya satu kali, maka Allah pun telah memberinya kesembuhan berkali-kali. Inilah kenikmatan bersyukur kepada Allah dan bersabar atas musibah yang menimpa. Dengannya, Allah telah mengistimewakan salah seorang hamba-Nya yang mengikuti jejak kebaikan, semoga keridhaan Allah dilimpahkan kepadanya.
‘Urwah pun tiba di Madinah dan rumahnya di al-‘Aqīq telah dipenuhi oleh orang-orang yang berkunjung dan berbela-sungkawa kepadanya. Kemudian ‘Īsā bin Thalḥah datang kepadanya, ‘Urwah menyambutnya dengan baik dan berkata kepada putranya: “Wahai anakku, perlihatkanlah kakiku kepada pamanmu ini.” Maka putranya pun melakukan perintah ayanya. Lalu ‘Īsā bin Thalḥah berkata: “Demi Allah wahai Abū ‘Abdillāh, kami tidak mempersiapkanmu untuk suatu pertarungan maupun perlombaan. Sungguh, Allah telah menetapkan darimu bagi kami apa yang kami perlukan; pendapatmu dan ilmumu.”
Kalimat-kalimat tersebut sangat berkesan di dalam diri ‘Urwah, dan dia menganggapnya sebagai balas budi dari seorang murid terhadap gurunya. Lalu ‘Urwah memandang kepadanya dengan perasaan senang seraya berkata: “Wahai ‘Īsā, tidak ada seorang pun yang berbela-sungkawa terhadapku sepertimu.” (173)
Belum lagi ‘Īsā pergi meninggalkan gurunya dan keluar dari rumahnya; datanglah laki-laki lain, yaitu Ibrāhīm bin Muḥammad bin Thalḥah, lalu dia memberikan salam hormat kepadanya dan berkata: “Demi Allah, engkau tidak perlu untuk berjalan dan tidak perlu lagi berusaha. Sungguh, salah satu bagian dari anggota tubuhmu dan salah seorang putramu telah mendahuluimu ke surga, dan seluruh anggota tubuh dan keluargamu akan mengikuti sebagian yang lainnya, in sya’ Allah. Sungguh, Allah telah menetapkan darimu bagi kami apa yang kami perlukan; ilmumu dan pendapatmu. Demi Allah, hal itu akan menjadi pahala bagimu dan meringankan hisabmu.”
“‘Urwah bin az-Zubair pun berterima kasih kepada tamunya dan bersabar serta menyerahkan segala musibah yang menimpanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Kemudian dia memandang kepada putra-putranya dengan pandangan seorang ahli ilmu seraya berkata: “Wahai anakku, bertanyalah kepadaku. Sungguh, aku telah ditinggalkan sampai aku hampir lupa. Dan aku pasti akan ditanya tentang hadits, lalu dibukakanlah bagiku hadits dalam dua hari.” (184).
Orang-orang terus berdatangan ke rumahnya yang berada di al-‘Aqiq, dan setiap kali dia ditanya tentang musibah yang menimpanya, dia menjawab:
لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هذَا نَصَبًا.
“Sungguh, kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (al-Kahfi: 62).
Laki-laki ini pun terus memberikan ilmunya kepada murid-murid dan para pengikutnya di Madīnah, dia pun senantiasa berkata: “Apabila salah seorang dari kalian melihat sesuatu dari perhiasan dunia dan keindahannya, maka hendaklah dia kembali kepada keluarganya dan memerintahkan mereka untuk melaksanakan shalat serta bersabar terhadapnya.” Kemudian dia mengulang-ulang firman Allah s.w.t.:
وَ لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ.
“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu.” (Thāhā: 131).
Di antara hadits Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan dari ‘Urwah adalah: ‘Urwah bin az-Zubair berkata: “Diriwayatkan dari ayahnya, az-Zubair bin al-‘Awwām, dia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
غَيِّرُوْا الشَّيْبَ وَ لَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ.
“Rubahlah uban kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi.” (HR. Aḥmad).
Setelah ‘Urwah bin az-Zubair menjalani kehidupan panjang yang berasaskan ketaqwaan selama tujuh puluh satu tahun yang penuh dengan ilmu dan fikih, dimakmurkan dengan ketaqwaan dan shalat, maka datanglah ajalnya yang telah ditentukan. Pada saat itu dia sedang berpuasa, dan setiap kali putranya mengingatkannya untuk berbuka, dia tetap melanjutkan shaumnya; sebagai pendekatan diri kepada Tuhannya dan keteguhan terhadap agamanya.
Menurut anda, di manakah ‘Urwah berbuka puasa? Cukup baginya berbuka puasa di surga, karena itulah tempat kembalinya. Menurut anda, apa menu berbukanya? Kesenangan dengan sungai al-Kautsar. Sesungguhnya dia adalah salah seorang tabi‘in yang telah mengikuti jejak kebaikan, maka inilah minumannya. Sedangkan makanannya di surga adalah daging burung sebagaimana yang mereka idam-idamkan. Dia akan diberi minum oleh para pelayan-pelayan muda dengan cangkir-cangkir dan teko-teko yang terbuat dari perak. Itulah yang dia harapkan. Apakah ada yang lebih mulia daripada surga?! Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada ahli fikih Madīnah, ‘Urwah bin az-Zubair.
Catatan: