1-3 Tujuan / Fungsi Wudhu’ – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 001 Thaharah | Fiqih Lima Madzhab

BAB 3

TUJUAN/FUNGSI WUDHŪ’

 

Para ulama fiqih berpendapat bahwa hadats itu dibagi menjadi dua bagian, pertama: Hadats kecil, yaitu yang hanya mewajibkan wudhū’ saja. Kedua: Hadats besar, yang kedua ini dibagi dua: Ada yang hanya diwajibkan mandi saja, dan ada yang diwajibkan mandi dan wudhū’ secara bersamaan, keterangan lebih rinci tentang hal tersebut akan dijelaskan nanti.

Orang yang berhadats kecil dilarang melakukan beberapa hal di bawah ini:

  1. Shalāt, baik sunnah maupun wajib, menurut kesepakatan semua ulama. Hanya Imāmiyyah berpendapat lain tentang shalat jenazah. Bagi Imāmiyyah: Dalam shalat jenazah tidak diwajibkan berwudhū’, hanya disunnahkan saja, karena ia hanya mendoakan saja pada dasarnya, bukan shalat yang sebenarnya. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti.
  2. Thawāf, ia seperti shalat, maksudnya tidak sah melakukan thawāf tanpa berwudhū’ terlebih dahulu, begitulah menurut Mālikī, Syāfi‘ī, Imāmiyyah dan Ḥanbalī berdasarkan hadits: “Ber-thawāf di Baitullāh adalah shalat”. Ḥanafī: Barang siapa yang ber-thawāf di Baitullāh dalam keadaan hadats, ia tetap sah, sekalipun berdosa.
  3. Sujud Tilawah dan sujud syukur juga wajib suci (berwudhū’), menurut empat madzhab, tetapi menurut Imāmiyyah hanya disunnahkan.
  4. Menyentuh Mushhaf. Semua Madzhab sepakat bahwa tidak boleh menyentuh tulisan al-Qur’ān kecuali suci. Hanya mereka berbeda pendapat tentang orang yang berhadats kecil, apakah ia boleh menulis al-Qur’ān dan membacanya, baik ada al-Qur’ānnya maupun tidak ada, dan menyentuhnya dengan aling-aling serta membawanya demi menjaganya.

Mālikī: Tidak boleh menulisnya, menyentuh kulitnya walaupun dengan aling-aling, tetapi boleh melafalkan dengan membaca maupun tidak, atau sentuhannya dengan aling-aling dan membawanya demi menjaganya.

Ḥanbalī: Boleh menulisnya, dan membawanya demi menjaganya kalau dengan aling-aling.

Syāfi‘ī: Tidak boleh menyentuh kulitnya, walau ia terpisah dengan isinya, juga tidak boleh menyentuh talinya selama ia masih melekat dengan al-Qur’ān, tetapi boleh menulisnya dan membawanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh sesuatu yang menjadi sulaman dari ayat-ayat al-Qur’ān.

Ḥanafī: Tidak boleh menulisnya dan menyentuhnya walau ditulis dengan bahasa asing, tetapi boleh membacanya tanpa memakai al-Qur’ān.

Imāmiyyah: Diharamkan menyentuh al-Qur’ān bertuliskan huruf ‘Arab tanpa aling-aling (alas), baik tulisan tersebut di dalam al-Qur’ān maupun tidak, tetapi tidak diharamkan membaca dan menulis, membawa demi menjaganya dan menyentuh tulisan selain tulisan ‘Arab, kecuali kata “Allah”, maka diharamkan bagi orang yang berhadats menyentuhnya dalam bentuk tulisan apapun juga, dengan bahasa apapun dan di mana saja, baik yang ada di al-Qur’ān maupun bukan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *