KESIMPULAN.
Demikianlah nash-nash para ulama Syī‘ah dulu dan sekarang yang sengaja kita paparkan di sini, agar para pembaca tahu bahwa al-Badā’ adalah akidah yang diyakini seluruh kaum Muslim. Hanya saja ada sekelompok orang yang masih merasa asing terhadap al-Badā’ akibat ketidaktahuan mereka terhadap hakikat dan artinya yang benar, serta melukiskan makna al-Badā’ sebagai nampaknya sesuatu bagi Allah setelah ketidaktahuan-Nya.
Dan anda telah tahu bahwa para ulama telah sepakat mengikuti al-Qur’ān dan as-Sunnah, sekaligus menolak penisbatan pengertian tersebut kepada Allah s.w.t. Maksud yang benar adalah “berubahnya apa yang telah Dia takdirkan karena amal dan perbuatan yang salih.”
Mengenai penjelasan pemakaian kata al-Badā’ dengan pengertian terakhir ini akan anda jumpai pada bahasan berikutnya. Tetapi, sebelum itu, ada baiknya kami ingatkan anda akan satu hal penting, yaitu penekanan arti al-Badā’ dengan makna tersebut di atas. Dan sebenarnya al-Badā’ hanya boleh diterapkan pada takdir yang kondisional (bersyarat), bukan pada takdir yang definitif (mutlak). Ikutilah penjelasan berikut ini:
Sesungguhnya Allah s.w.t. memiliki dua qadhā’: Definitif (mutlak) dan Kondisional (bersyarat).
Pertama, qadhā’ definitif, tidak ada kaitannya dengan al-Badā’. Dan tidak akan berubah selamanya.
Kedua, qadhā’ kondisional, yang berubah karena amal-amal salih dan perbuatan-perbuatan buruk.
Para Imām kita menegaskan – dalam ucapan-ucapan mereka – masalah ini dan adanya pembagian tersebut.
Abū Ja‘far al-Bāqir a.s. ketika ditanya mengenai lailat-ul-qadar, mengatakan: “Ketika itu para malaikat dan penulis takdir turun ke langit bumi. Mereka menuliskan apa yang ada dan segala yang didapatkan oleh para hamba Allah di bumi ini.”
Lalu beliau melanjutkan: “Hal-hal kondisional yang keputusannya berada di tangan Allah, pada malam itu akan disegerakan atau ditangguhkan sesuai kehendak-Nya, sesuai firman Allah: Allah menghapus dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya Umm-ul-Kitāb.” (611).
Dari Abū ‘Abdillāh ash-Shādiq a.s. tentang firman-Nya: “….kemudian ditentukan-Nya ajal, dan ada lagi ajal yang ditentukan (ajalun musamman) di sisi-Nya…” (6: 2) ia berkata: “Ajal yang tidak ditentukan itu kondisional dan masih akan ditentukan kemudian. Dia akan menyegerakan atau menangguhkan sesuai kehendak-Nya. Adapun ajal yang ditentukan (musamman) adalah seperti apa yang diturunkan-Nya di antara Malam Qadar (Laylat-ul-Qadar), sesuai firman-Nya: Maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat menyegerakannya.” (622).
Dari Abū ‘Abdillāh a.s. tentang firman-Nya: “…. kemudian ditentukan-Nya ajal, dan ada ajal, dan ada lagi ajal yang ditentukan (ajalun musamman) di sisi-Nya…” ia berkata: “Yang dimaksudkan adalah adanya dua macam ajal: ajal kondisional, yang ditentukan Allah sesuai kehendak-Nya, dan ajal definitif.” (633).
Dalam riwayat Ḥamrān dijelaskan, bahwa yang dimaksud ajal ghayru musamman di sisi Allah adalah ajal kondisional, yang dapat diajukan atau diundurkan sesuai kehendak-Nya. Adapun ajal musamman adalah yang ditentukan Allah pada Malam Qadar (Laylat-ul-Qadar).” (644).
Dari Fudhayl, ia berkata: Saya mendengar Abū Ja‘far a.s. “Di antara urusan-urusan itu ada yang definitif (yang pasti terjadi) dan ada pula yang kondisional (yang bergantung kepada Allah). Dia menyegerakan atau menangguhkan sesuai kehendak-Nya. Dia menghapus dan menetapkan keputusan sesuai yang Dia kehendaki, yang tidak diberitahukan sebelumnya kepada seorang pun. Tapi, ada juga hal-hal yang telah diberitahukan kepada Rasūlullāh lebih dahulu sebelum peristiwanya terjadi. Tidak mungkin Dia membohongi diri-Nya, membohongi Nabi dan para malaikat-Nya.” (655).
Dalam riwayat Ar-Ridhā a.s., diberitakan Imam berkata kepada Sulaimān al-Marwazī: “Hai Sulaimān, ketahuilah, di antara urusan-urusan itu ada yang kondisional (bergantung kepada Allah s.w.t.) . Dia menyegerakan dan menangguhkan apa yang Dia kehendaki.” (666).
Itulah keterangan yang menjelaskan adanya pembagian dua takdir: kondisional (bergantung pada adanya syarat), dan definitif (yang tidak bergantung pada syarat apa pun).
Singkat kata, sesungguhnya yang dimaksud takdir definitif adalah yang tidak berganti dan berubah walaupun didoakan seribu kali, yang tidak berubah dengan sedekah, amal saleh dan perbuatan buruk. Misalnya, Allah s.w.t. telah menetapkan peredaran khusus bagi matahari dan bulan sampai suatu masa tertentu, seperti halnya Dia menetapkan tatanan materiil yang hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu, dan juga Dia menakdirkan bahwa semua manusia mati, dan menetapkan sunnah-sunnah lain yang masih berlangsung, yang mengatur isi alam dan manusia.
Yang dimaksud dengan yang kedua, adanya hal-hal kondisional, adalah bahwa Dia menakdirkan seorang yang sakit itu akan meninggal pada hari tertentu, kecuali bila dia berobat, dioperasi bedah, atau didoakan; yakni dengan dipenuhinya syarat-syarat kesehatan dan dijauhinya pantangan-pantangan. Allah Maha Tahu akan dua macam takdir itu.
Ada beberapa hal yang hampir sama dengan masalah di atas dalam masalah tasyrī‘ kullī (ketetapan universal). Allah s.w.t. menetapkan bahwa orang yang berlebih-lebihan dan melanggar batas aturan Allah akan dimasukkan ke neraka:
(وَ أَنَّ مَرَدَّنَا إِلى اللهِ وَ أَنَّ الْمُسْرِفِينَ هُمْ أَصْحَابُ النَّارِ)
“…..Dan sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni nereka.” (40: 43).
Tetapi takdir tersebut bukan definitif, yang tidak dapat diganggu-gugat. Sebab, Allah juga berfirman:
(قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلى أَنْفَسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا……)
“Katakanlah: Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa….” (39: 53).
Semua itu ditujukan untuk menguatkan adanya kebebasan manusia serta untuk memahamkan bahwa ia memiliki kebebasan berikhtiar guna memilih satu di antara dua takdir itu.
Dengan demikian, jelaslah bagi anda arti dan hakikat al-Badā’. Dan anda pun memahami apa yang kami utarakan pada awal risalah kecil ini, serta tahu bahwa al-Badā’ adalah akidah yang diyakini oleh seluruh kaum Muslim yang mendasari akidah mereka dengan al-Qur’ān dan as-Sunnah. Meskipun demikian, ada sedikit perselihan, yang lebih tepatnya kita sebut saja sebagai perbedaan semantik tentang al-Badā’.
Catatan:
- 61). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hal. 102, bab al-Badā’, hadits nomor 14 dikutip dari Āmālī karangan ath-Thūsī. ↩
- 62). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hal. 116, bab al-Badā’, hadits nomor 44 dan 45, dikutip dari Āmālī karangan ath-Thūsī. ↩
- 63). Ibid. ↩
- 64). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hal. 116-117, bab al-Badā’, hadits nomor 46, dikutip dari Āmālī karangan ath-Thūsī. ↩
- 65). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hal. 119, bab al-Badā’, hadits nomor 58, dikutip dari Āmālī karangan ath-Thūsī. ↩
- 66). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hal. 96, bab al-Badā’, hadits nomor 2, dikutip dari Āmālī karangan ath-Thūsī. ↩