Orang yang Mulia dan Murah Hati
‘Urwah bin az-Zubair r.h. adalah orang yang dermawan, mulia, dan murah hati. Dia tidak pernah pelit untuk mengeluarkan hartanya bagi penduduk Makkah al-Munawwarah; dia pernah menggali sumur di Madīnah, dan di sana tidak ada air yang lebih segar daripada air sumur tersebut.
Dia menggali sumur itu di atas sebidang tanah yang dibeli oleh saudaranya, ‘Abdullāh bin az-Zubair, dari Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān di Madīnah seharga seratus ribu dinar. Lalu, tanah itu dibagi-bagikan kepada Bani Asad dan Taim, dan ‘Urwah pun mendapatkan bagiannya pada tempat di mana dia telah menggali sumur dengan tangannya sendiri. Kemudian penduduk Madinah pun mengambil air darinya.
Di antara kisah kedermawanannya disebutkan bahwa dia memiliki sebuah kebun yang sangat luas di Madīnah, airnya tawar dan segar, pepohonannya rindang, buah-buahannya berwarna merah, dan pohon kurmanya tinggi-tinggi. Dia memagari kebunnya sepanjang tahun untuk menjaganya dari gangguan hewan ternak dan kejahilan anak-anak. Sampai ketika pohon-pohon kurma itu telah berbuah dan matang sebelum menjadi kurma kering, orang-orang pun tertarik untuk memetik dan menikmatinya, maka pada saat itu ‘Urwah membuka pagar kebunnya dari arah utara dan selatan serta seluruh penjuru yang biasa dilalui banyak orang, sehingga mereka semua dapat memasukinya dan memakan buahnya dengan nikmat dan nyaman serta mengambilnya sesuka hati mereka. Bukankah perbuatan ini merupakan pelaksanaan dari firman Allah s.w.t.:
كُلُوْا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَ آتُوْا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ.
“Makanlah buahnya apabila ia berbuah, dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya.” (al-An‘ām: 141).
Setiap kali ‘Urwah bin az-Zubair memasuki kebunnya yang penuh barakah itu, dia selalu mengulang-ulang firman Allah s.w.t.:
وَ لَو لَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.
“Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan: ‘Mā syā’ Allāh, lā quwwata illā billāh (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah.” (al-Kahfi: 39).
Inilah kedermawanan dan kemuliaan menurut definisi ‘Urwah; Harta ini milik Allah, jika ada ketamakan untuk mendapatkannya maka itu sekadar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer saja. Karena dunia dan segala sesuatu yang berada di atasnya tidak akan diwariskan oleh seorang pun di antara orang-orang yang Allah kehendaki untuk hidup di atasnya, namun Allah-lah yang akan mewariskan bumi dan segala sesuatu yang berada di atasnya berupa harta maupun harta simpanan. Jadi, harta ini milik Allah, rezeki itu berasal dari-Nya dan akan diberikan kepada orang yang dikehendaki oleh-Nya.
Jadi, buah-buahan yang terletak di pucuk pohon kurma, di dalam bunga-bunga dan dahan-dahan pohon sekalipun, semuanya berasal dari Allah ‘azza wa jalla. Siapakah orang di atas muka bumi ini yang menanam pohon lalu dia mampu menentukan jumlah panennya? Sesungguhnya, seluruh umat manusia hanya mampu mengerahkan usahanya saja, sedangkan buahnya berasal dari Allah. Segala kemampuan hanya bisa mengerahkan dan mempercepat usaha saja, sedangkan buah dari usaha tersebut ditentukan dari Allah ‘azza wa jalla.
Oleh karenanya, menurut ‘Urwah harga dari harta, buah-buahan, serta kebun itu terletak pada apa yang bermanfaat bagi manusia dan sesuatu yang halal darinya. Maka dia pun memberikannya kepada manusia tanpa ketamakan untuk memilikinya, sehingga buahnya terus bertambah, dan ‘Urwah pun tidak pernah tidur dalam keadaan lapar karena Allah senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepadanya. Dia memberikan kesaksian dengan bibinya, Umm-ul-Mu’minīn ‘Ā’isyah r.a., ketika dia menyeru orang-orang untuk tidak berlebihan dan melarang mereka dari kecondongan terhadap kemegahan dan pemborosan, padahal saat itu hati mereka sedang tunduk kepada kenikmatan dunia.
Di antara kesaksian tersebut adalah apa yang diriwayatkan darinya oleh seseorang yang hidup sezaman dengannya ketika dia berkata: “‘Urwah bin az-Zubair datang menemuiku, lalu dia memegang tanganku seraya berkata: “Wahai Abū ‘Abdillāh.” Aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu.” Lalu dia berkata lagi: “Aku pernah berkunjung ke rumah ibuku, ‘Ā’isyah r.a., lalu dia berkata: “Wahai anakku.” Aku pun menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu, wahai ibu.” Kemudian dia berkata: “Demi Allah, kami telah melalui empat puluh malam di rumah Rasūlullāh s.a.w. dan kami tidak pernah menyalakan api sebagai penerangan maupun yang lainnya.” Maka aku bertanya: “Wahai ibu, lalu apa yang kalian makan untuk bertahan hidup?” Dia menjawab: “Dengan al-aswadain (kurma dan air).”
‘Urwah bin az-Zubair tidak pernah bosan menyeru umat manusia untuk terus memperdalam ilmu agamanya. Dan ketika dia telah selesai membangun istananya di al-‘Aqīq, sebuah tempat di penjuru Madinah, maka datanglah seseorang kepadanya sambil mencela: “Engkau telah berpaling dari masjid Rasūlullāh sa.w.!” Maka ‘Urwah berkata: “Aku melihat masjid-masjid mereka telah dipenuhi dengan kesia-siaan, pasar-pasar mereka penuh dengan perkataan yang tak berguna, dan kebatilan pun telah memuncak di seluruh jalan mereka, sedangkan orang yang ada di tempat ini selamat dari kemaksiatan yang ada di tempat mereka.” (121)
Demikianlah ‘Urwah bin az-Zubair, dia sangat kuat memegang agamanya dan terhadap keluarganya dalam hal pelaksanaan syariat Allah. Dia tidak pernah mau membenarkan hiburan di dalam masjid, maupun omong kosong yang dibicarakan di pasar-pasar. Dia juga sangat bertekad untuk menumpas kebatilan sampai ke akar-akarnya. Semua sifat-sifat ini harus dimiliki oleh seluruh umat Islam, bukan hanya di Madīnah saja, atau pada zamannya saja, akan tetapi pada setiap zaman dan di seluruh tempat yang penduduknya senantiasa mengatakan: “Lā ilāha illallāh Muḥammad-ur-rasūlullāh.”
Catatan: