1-2-2 Nash-nash Ulama Imamiyyah Tentang al-Bada’ (2/2) – Memilih Takdir Allah

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 1-2-2 Nash-nash Ulama Imamiyyah Tentang al-Bada'

F. Sayyid ‘Abdullāh Syibr mengatakan: “Al-Badā’ memiliki beberapa arti, di antaranya ada yang dapat diterima dan ada pula yang tidak. Al-Badā’ – dibaca dengan fatḥah dan mad – sering dipakai dalam isitilah bahasa dengan arti “munculnya sesuatu setelah tidak tampak sebelumnya; adanya pengetahuan setelah ketidaktahuan” Semua orang sepakat bahwa hal itu tidak layak dinisbatkan kepada Allah s.w.t., kecuali mereka yang tidak tergolong umat ini. Barang siapa yang menisbatkan pengertian itu kepada Imāmiyyah, maka ia telah menuduhkan kebohongan, dan Imāmiyyah sendiri terlepas dari semua itu. Kadangkala al-Badā’ juga dipakai untuk naskh, qadhā’u mujaddad (qadhā’ yang diperbarui), dan juga “muncul dengan pasti”, serta arti-arti yang lain.

Selain itu ia juga menunjukkan bukti tentang riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa sedekah dan doa dapat mengubah qadhā’, ada juga riwayat-riwayat yang lain. (581).

G. Imām Syarafuddīn dalam hal ini menjelaskan: “Al-hasil, semua orang Syī‘ah berpendirian bahwa dapat saja mengurangi atau menambah rasa sakit, menentukan apakah ajal seseorang ditunda atau dipercepat, orang itu akan sakit atau sehat, bahagia atau sengsara, akan mati diuji dengan bencana atau tidak, ia iman atau kufur, dan lain sebagainya. Sesuai firman-Nya: “Allah menghapuskan dan menetapkan apa pun yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya Umm-ul-Kitāb.” Demikian pula madzhab ‘Umar bin Khaththāb, Ibnu Mas‘ūd, Abū Wā’il dan Qatādah.

Jābir meriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa para salaf-ush-shāliḥ senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah agar mereka menjadi orang-orang yang bahagia, bukan sengsara. Ia meriwayatkan pula dengan sanad yang mutawātir tentang doa-doa para Imām, dan yang terdapat dalam banyak kitab sunan bahwa sedekah yang benar, berbakti kepada kedua orangtua, beramal salih, dapat mengubah kesengsaraan menjadi kebahagiaan dan menambah umur. Benar pulalah kalau begitu apa yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbās, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan takdir. Sebab Allah akan menghapus qadar sesuai kehendak-Nya dengan adanya doa.

Inilah al-Badā’ menurut Syī‘ah, yang nampaknya dengan terpaksa melakukan “kelancangan” ketika menisbatkan al-Badā’ kepada Allah s.w.t. dan sekaligus menyamakan-Nya dengan selain-Nya. Karena Allah s.w.t. melakukan semua yang telah kita sebutkan tadi di luar perhitungan dan pemahaman yang dimiliki manusia, sehingga banyak sekali hal-hal yang muncul di luar dugaan manusia. Yang pasti adalah, bahwa Allah s.w.t. mengetahui arah semua itu dan arah segala sesuatu.

Namun, sehubungan dengan banyaknya takdir Allah yang terjadi tidak sesuai dengan takdir yang pertama, dan takdir itu mirip al-Badā’, maka terpaksalah ulama kami menggunakan istilah al-Badā’ itu sebagai kiasan. Seakan-akan langkah bijak harus segera diambil, meski pada saat yang sama agak “melampaui batas”, agar para Imām a.s. dapat dengan segera menolak anggapan orang Yahudi yang mengatakan: “Sesungguhnya sejak dulu Dia telah menentukan takdir segala yang ada di dunia ini. Lalu selesailah tugas-Nya, Dia menganggur. Dan semua yang ada berjalan sesuai ketentuan-Nya itu.” Maka para Imām berkata: “Sesungguhnya setiap hari Allah sibuk dengan qadhā’ yang senantiasa diperbarui sesuai kemaslahatan hamba-Nya tanpa sepengetahuan mereka. Apa yang tampak bagi Allah sudah diketahui dengan pasti oleh-Nya sejak dulu.”

“Sebenarnya pertentangan yang terjadi antara kami dengan Ahl-us-Sunnah dalam masalah ini hanyalah pada perbedaan semantik saja. Apa yang tidak disetujui oleh mereka dengan al-Badā’ yang dinisbatkan kepada Allah s.w.t. itu tidak melibatkan sedikit pun orang Syī‘ah. Dan kalau begitu, orang Syī‘ah tentu tidak berbuat syirik dan tidak pula termasuk golongan kaum musyrik. Adapun yang dikatakan oleh ulama-ulama Syī‘ah tentang al-Badā’ adalah sama dengan apa yang dikatakan oleh kaum Muslim pada umumnya, madzhab ‘Umar bin Khaththāb dan lain sebagainya, seperti yang anda ketahui. Dan telah dibenarkan oleh ayat “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya Umm-ul-Kitāb.” Atau, dengan kata lain, setiap waktu dan setiap saat Dia selalu menciptakan hal-hal baru, memperbarui yang telah ada, membinasakan dan menyelamatkan, mencegah dan memberi, dan lain sebagainya seperti yang diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., ketika berkata: “Di antara kesibukan Allah s.w.t. adalah memberi ampunan terhadap dosa, menyelamatkan dari bencana, mengangkat derajat suatu kaum, dan menurunkan derajat kaum lainnya.

Itulah pendapat orang Syī‘ah, yang mereka namakan al-Badā’, yang sebenarnya juga dikatakan oleh orang non-Syī‘ah. Perbedaannya hanya pada masalah pemberian nama. Seandainya orang non-Syī‘ah mengetahui bahwa orang Syī‘ah menggunakan kata itu sebagai kata kiasan, bukan yang sebenarnya, maka – saat itu pula – akan jelas bagi mereka permasalahannya dan tidak akan terjadi perselisihan pendapat antara kami dengan mereka, sampai perbedaan semantik sekalipun. Karena pembicaraan tentang pemakaian kata kiasan dalam bahasa ‘Arab sangat luas, demi maksud dan tujuan yang terkandung di dalamnya. Namun, bila orang non-Syī‘ah masih terus saja mempertentangkan perbedaan semantik itu, apa boleh buat, kita terpaksa berbuat “lancang” menggunakan kata al-Badā’ untuk mengungkapankan apa yang dikehendaki-Nya. “Dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya” ketika membicarakan saudara Muslimnya. “Dan janganlah ia mengurangi sedikitpun,” “Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan,” “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman”. (592).

H. Syaikh al-‘Allāmah Aghā Bazargān dari Teheran, mengatakan dalam sebuah ensiklopedinya, Adz-Dzarī‘ah ilā Tashanif-isy-Syī‘ah (Petunjuk kepada karangan-karangan orang Syī‘ah): “Dari segi bahasa, al-Badā’ artinya “munculnya pendapat yang tidak diketahui sebelumnya.” Arti seperti itu kita dapati hampir pada seluruh lapisan masyarakat, yang mustahil arti itu dinisbatkan kepada Allah s.w.t. Sebab kata itu mengandung pengertian bahwa sebelum itu Allah tidak tahu, lemah. Dan itu mustahil bagi Allah. Orang-orang Syī‘ah Imāmiyyah yang banyak mempertahankan kesucian Allah dari banyak kelemahan yang dinisbatkan oleh kelompok-kelompok lain kepada-Nya, berusaha pula menyingkirkan kebodohan, ketidaktahuan dan kelemahan dari-Nya dengan cara yang lebih baik. Penisbatan al-Badā’ dengan makna di atas kepada orang Syī‘ah Imāmiyyah dikatakan oleh al-Balakhī dalam tafsirnya – yang tertulis di awal bukunya – at-Tibyān – adalah kebohongan yang besar.

Al-Badā’ yang diyakini oleh Syī‘ah Imāmiyyah adalah dengan makna yang harus diyakini oleh setiap orang yang mengaku Muslim, dalam menghadapi orang Yahudi yang mengatakan bahwa Allah s.w.t. menganggur, tidak tampak lagi sesuatu dari-Nya, “tangan Allah terbelenggu.” Juga untuk menghadapi orang yang menganut pemikiran Yahudi yang beranggapan bahwa Allah menciptakan segala yang ada ini sekaligus dalam satu waktu, dengan menegaskan bahwa ciptaan-Nya muncul secara beransur, sedikit demi sedikit, dan sebenarnya yang muncul sekarang ini adalah sesuatu yang diciptakan-Nya pada waktu dulu. Dan dimaksudkan pula untuk menghadapi orang-orang yang hanya mendasari kepercayaannya dengan pemikiran dan perhitungan astronomik yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah s.w.t. pada mulanya menciptakan akal pertama yang terlepas dari kekuasaan-Nya, kemudian akal pertama tadi mempengaruhi akal-akal yang lain.”

Semua orang Islam harus membuang jauh pemikiran-pemikiran diatas dan harus meyakini bahwa “Dia setiap hari selalu dalam kesibukan.” Melenyapkan sesuatu dan mengadakan yang lain, mematikan seseorang dan menciptakan yang lain, menambah dan mengurangi, menyegerakan dan menangguhkan, menghapus apa yang pernah ada dan mengadakan apa yang belum pernah ada di dalam urusan-urusan dunia, dan Dia juga me-nasakh apa yang Dia kehendaki dari hukum-hukum taklīfī dan membuat serta menetapkan hukum-hukum yang lain.

Al-Badā’ bagi-Nya adalah mengadakan sesuatu yang belum pernah ada, dan menampakkan sesuatu yang tidak terlihat di alam ini. Begitu pula naskh-nya terhadap hukum-hukumNya yang mencakup seluruh kemaslahatan dalam penghapusan atau penetapan hukum. Perubahan yang Dia lakukan, baik dalam hal urusan dunia atau taklīfī, tidaklah berarti munculnya sesuatu yang baru dan pengubahan yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya di Lauḥ-ul-Maḥfūzh menurut takdir azali-Nya. Dan Allah tidak akan melakukan qadhā’ yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Pengetahuan-Nya tentang sesuatu yang Dia tentukan atau hal-hal lain mengenai Diri-Nya tidak diketahui oleh seorang pun, sampai kepada para Nabi-Nya a.s. kecuali yang dijelaskan kepada mereka lewat wahyu, tentang sebagian hal-hal yang definitif dan tidak. Kemudian mereka mengabarkan kepada umatnya. Seperti munculnya al-Ḥujjah a.s. (Mahdī), terjadinya suatu ledakan di langit, gerhana di malam hari, sebelum hal-hal itu terjadi.

Di dalam ayat-ayat ada berbagai macam hadis tadi, ada bukti-bukti yang menyatakan kebenaran al-Badā’ dari Allah s.w.t. dengan hakikat dan arti tersebut, yang harus diyakini oleh setiap Muslim. Apalagi kisah-kisah tentang Nabi Nūḥ, Ibrāhīm, Mūsā, Yasa‘, Īsā, dan doa Nabi kita s.a.w. terhadap orang Yahudi, serta hadis-hadis yang menerangkan bahwa sedekah dan doa dapat mengubah qadhā’” (603).

 

Catatan:


  1. 58). Mashābīḥ-ul-Anwār. 
  2. 59). Ajwibāt-ul-Masā’ili Mūsā Jārullāh, hal. 101-103. 
  3. 60). Adz-Dzarī‘ah ilā Tashanif-isy-Syī‘ah, jilid III, hal. 51-53. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *