Nash-Nash Ulama Imāmiyyah tentang al-Badā’.
A. Rasūlullāh s.a.w. bersabda dalam hal keyakinan terhadap al-Badā’: “Sesungguhnya orang Yahudi mengatakan: Allah s.w.t. telah selesai melaksanakan tugas-Nya. Kami jawab: Tidak demikian! Setiap hari Dia ada dalam kesibukan; menghidupkan dan mematikan, menciptakan dan membagi rezeki; Dia melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Dan kami katakan pula: Allah menghapus dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya Umm-ul-Kitāb.” (531).
B. Syaikh al-Mufīd, ketika menerangkan akidah-akidah Imām ash-Shādiq, mengatakan: “Kadang-kadang sesuatu itu ditentukan secara kondisional serta berubah keadaannya di kemudian hari. Allah berfirman:
(ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَ أَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ)
“Sesudah itu ditentukan ajal, dan ada lagi ajal yang ditentukan (ajalun musamman) yang ada di sisi-Nya.” (6: 2).
Jelaslah, dengan demikian, bahwa ajal ada dua macam:
Pertama, ajal kondisional yang mengalami penambahan dan pengurangan, berdasarkan firman Allah s.w.t.:
(وَ مَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَ لاَ يُنْقِصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلاَّ فِي كِتَابٍ)
“….dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan sudah ditetapkan di dalam Kitāb…..” (35: 11).
Dan firman-Nya:
(وَ لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقَرَى آمَنُوا وَ اتَّقُوا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ)
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi….” (7: 96).
Allah menjelaskan bahwa penambahan umur dan pengurangannya bergantung pada amal baik dan amal buruk. Allah menjelaskan pula hal itu dengan suatu peristiwa ketika Nabi Nūḥ a.s. berkhutbah kepada kaumnya: “Maka aku katakan kepada mereka: Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, serta mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan bagimu sungai-sungai.” (71: 11,12,13).
Allah mensyaratkan istighfar kepada mereka untuk penundaan ajal, melimpahkan nikmat-nikmatNya. Ketika mereka tidak memenuhi syarat itu, dicabutlah nyawa mereka dan diputuslah perbuatan mereka. Lalu ditimpakan kepada mereka adzab.
“Maka al-Badā’ dari Allah s.w.t. dikhususkan dengan hal-hal bersyarat dalam takdir-Nya. Bukan perpindahan dari satu keinginan kepada keinginan yang lain, dan bukan pula penarikan kembali pendapat-Nya.
“Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan orang-orang yang tidak benar, dengan kebohongan yang besar.” (542).
C. Al-Mufīd r.a. mengatakan dalam buku karangannya, Awā’il-ul-Maqālāt, sebagai berikut: “Saya sependapat dengan apa yang dikatakan kaum Muslim pada umumnya dalam masalah al-Badā’ ini, jika disamakan dengan naskh atau sejenisnya, pentakdiran dari kaya menjadi miskin, sakit menjadi sembuh, mematikan setelah menghidupkan. Dan saya sependapat pula dengan Ahl-ul-Adl khususnya, tentang adanya penambahan umur, rezeki dan pengurangannya yang bergantung pada jenis perbuatan yang kita lakukan.” (553).
D. Syaikh ath-Thūsī dalam al-‘Uddah mengatakan: “Sebenarmya arti al-Badā’ dari segi bahasa adalah “tampak”. Untuk itu dikatakan (telah tampak di hadapan kami pagar suatu kota). Dan tampaklah bagi kami pendapatnya. Allah berfirman: “Dan tampaklah bagi mereka akibat buruk apa yang telah mereka kerjakan, dan tampaklah bagi mereka kejelekan apa yang mereka perbuat.” Yang dimaksudkan dalam semua kalimat tadi adalah “tampak”. Kata itu dipakai pula ketika seseorang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, begitu juga dalam dugaan (zhann). Bila kata ini dinisbatkan kepada Allah s.w.t., ada sebagian yang benar dan ada pula yang tidak tepat. Yang boleh dinisbatkan mislanya adalah naskh. Kata itu dapat dinisbatkan kepada-Nya karena artinya sudah diperluas. Dan untuk ini, apa yang diutarakan oleh para Imām a.s. tentang al-Badā’ boleh dinisbatkan kepada Allah s.w.t., kecuali yang mengandung pengertian-pengertian bahwa naskh itu baru diketahui para mukallaf belakangan setelah sekian lama tidak tampak. Atau pengertian bahwa pengetahuan mereka tentang naskh itu didahului dengan ketidaktahuan, dan itulah al-Badā’ menurut mereka.” (564).
E. Syaikh-uth-Thūsī juga mengatakan dalam kitab al-Ghaibah, “Boleh jadi Allah telah menetapkan waktu-waktu untuk peristiwa tertentu, dan setelah itu kemaslahatannya berubah dan memerlukan penundaan sampai waktu yang lain. Begitu pula peristiwa-peristiwa yang telah berlalu. Waktu-waktu pertama dan berikutnya bisa saja ditangguhkan karena adanya prasyarat yang diperlukan selama penundaan itu, sampai saatnya tiba dan takdir itu tidak bisa diubah lagi dan harus terjadi.
Atas dasar ini, dapatlah diakurkan antara riwayat-riwayat yang menjelaskan adanya penundaan ajal dan penambahan umur dengan doa dan silaturahmi. Dan juga riwayat-riwayat yang menerangkan adanya pengurangan umur sebelum waktu ajal tiba akibat perbuatan zalim, memutuskan silaturahmi dan lain sebagainya.
“Allah mengetahui sepenuhnya dua hal ini. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa salah satunya dibuat bersyarat dan lainnya tidak. Dan hal ini memang diterima oleh ahl-ul-‘Adl. Dengan demikian, harus diakurkan pula riwayat-riwayat kami yang berkaitan dengan al-Badā’ dan yang menjelaskan bahwa naskh yang dimaksudkan oleh ahl-ul-‘Adl adalah naskh yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang sudah terpenuhi, dan bersumber dari hadis-hadis tentang terjadinya alam ini.” (575).
Itu semua adalah penjelasan para ulama Syī‘ah Imāmiyyah yang terdahulu. Dan berikut ini penjelasan ulama Syī‘ah yang datang kemudian.
Catatan: