Irsyad, Ahlul Bait, dan Sahabat Nabi.
(Bagian 2 dari 2)
Wahai saudaraku, jangan sekali-kali engkau menghina atau menyusahkan Ahl-ul-Bait, hormati dan muliakanlah, walaupun secara lahir mereka melakukan maksiat, karena mungkin saja saat mendekati ajal, mereka bertaubat dan taubatnya diterima oleh Allah, maka matinya dalam keadaan ḥusn-ul-khātimah.
Adapun sabda Nabi untuk Ahl-ul-Bait yang berbunyi: “Neraka adalah tempat bagi orang yang bermaksiat, walaupun dia keturunan Bani Hāsyim, Surga adalah tempat bagi orang yang taat, walaupun dia adalah budak habsyi.” Hadits ini benar adanya, sebagai bentuk pembelajaran Nabi pada anak cucunya. Adapun bagi selain Ahl-ul-Bait, tidak boleh ikut-ikutan memakai dan menyampaikan hadits ini kepada Ahl-ul-Bait, karena itu sū’-ul-adab (buruknya perangai). Kita semua wajib mengikuti petunjuk ayat al-Qur’ān yang berbunyi:
إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا.
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari engkau, hai Ahl-ul-Bait, dan membersihkan engkau sebersih-bersihnya.” (Al-Aḥzāb [33]: 33).
Ada juga yang berpendapat bahwa Ahl-ul-Bait adalah orang-orang yang termasuk dalam ayat:
إِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُوْنَ.
“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (al-Anbiyā’ [21]: 101).
Maksudnya, Ahl-ul-Bait adalah orang-orang yang telah ditetapkan sejak zaman azali akan menjadi orang yang beruntung. Maka maksiat yang dilakukan tidak mengubah ketetapan itu, karena di akhir hayatnya akan bertaubat dengan taubat nasūḥa. (111)
Kemudian Ahl-ul-Bait bukan karena ketaatan dan ibadah mereka, karena jika disebabkan hal itu, maka tidak akan ada perbedaan antara Ahl-ul-Bait dengan selainnya. Kemuliaan mereka disebabkan “sabaqat lahum minn-al-ḥusnā (telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami)”, demikian halnya para sahabat Nabi:
Nabi bersabda:
يَا عَلِيُّ أَنْتَ سَيِّدٌ فِي الدُّنْيَا وَ سَيِّدٌ فِي الْآخِرَةِ.
“Wahai ‘Alī, engkau adalah tuan di dunia dan akhirat.”
أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ مِنِّيْ كَسَمْعِيْ وَ عَيْنِيْ فِيْ رَأْسِيْ.
“Abū Bakar dan ‘Umar bagiku seperti pendengaran dan penglihatan di kepalaku.”
عُثْمَانُ ابْنُ عَفَّانٍ كَلِسَانِيْ فِيْ فَمِّيْ وَ عَلِيُّ ابْنِ أَبِيْ طَالِبٍ كَرُوْحِيْ فِيْ جَسَدِيْ.
“‘Utsmān bin ‘Affān seperti lisan dimulutku dan ‘Alī bin Abī Thālib seperti ruh dalam jasadku.”
Nabi juga pernah berkata kepada Sayyidah Fāthimah, Sayyidināa Ḥasan, dan Sayyidinā Ḥusain:
أَنَا حَارِبٌ لِمَنْ حَارَبَكُمْ سَالِمٌ لِمَنْ سَلِمَكُمْ.
“Aku akan memerangi orang yang memerangi kalian, dan mengayomi orang yang mengayomi kalian.”
Nabi juga bersabda: “Allah membenci orang-orang yang menghina para sahabatku.”
Keburukan Ahl-ul-Bait tidak menyebabkan terputusnya nasab dan tidak mencegah hak mendapat harta warisan. Wahai saudaraku, pahamilah masalah ini!
Jika engkau mendapat ujian berupa menjadi pemimpin dan memiliki kekuasaan, engkau harus meminta izin kepada Ahl-ul-Bait sebelum memutuskan sesuatu, bicaralah dengan cara yang sopan dan mintalah bimbingan, jangan malah menggurui dan merasa lebih pandai dari mereka. Jangan kau anggap remeh masalah ini!
Semua penjelasan di atas adalah tentang keutamaan Ahl-ul-Bait dan kewajiban orang mu’min pada mereka.
Adapun kewajiban Ahl-ul-Bait adalah melakukan apa yang diajarkan oleh kakek buyutnya, yakni Nabi Muḥammad s.a.w. Jangan sampai Ahl-ul-Bait meremehkan syariat Nabi dan meremehkan kemungkinan terlepasnya iman, maksudnya, jangan beranggapan bahwa dia pasti mati dalam kondisi ḥusn-ul-khātimah dan tidak mungkin jika matinya tidak membawa iman, karena dia adalah Ahl-ul-Bait. Jangan pernah beranggapan seperti itu, karena semua Nabi dan Rasūl saja khawatir dan takut apabila keimanan mereka terlepas, sampai-sampai Nabi Ibrāhīm khalīlullāh a.s. saja khawatir jika beliau menjadi kafir, sehingga beliau berdoa:
رَبِّ اجْعَلْ هذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَ اجْنُبْنِيْ وَ بَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrāhīm berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (Ibrāhīm [14]: 35).
Nabi Yūsuf bin Ya‘qūb a.s. juga berdoa:
تَوَفَّىنِيْ مُسْلِمًا وَ أَلْحِقْنِيْ بِالصَّالِحِيْنَ.
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh (golongan para nabi dan rasul)” (Yūsuf [12]: 101).
Apabila para Nabi dan Rasūl saja takut dan khawatir akan tetapnya keimanan mereka, padahal mereka ma‘shūm (terjaga dari dosa), maka bagaimana dengan orang-orang selain mereka yang jelas-jelas tidak ma‘shūm?
Nabi dan Rasūl memang berstatus ma‘shūm (terjaga dari dosa) menurut keyakinan orang-orang mu’min, tapi mereka sama sekali tidak punya keyakinan bahwa mereka ma‘shūm. Karena itulah mereka semua berdoa agar wafat dalam keadaan Islam dan memohon perlindungan agar tidak menjadi kafir.
Nabi Muḥammad s.a.w. bersabda: “Wahai Shafiyyah, bibi Muḥammad, Wahai Fāthimah, Putri Muḥammad, di hari kiamat kelak, datanglah kalian dengan membawa ‘amal kalian, jangan datang dengan membawa nasab kalian, karena aku sama sekali tidak bisa melindungimu dari siksa Allah s.w.t.”
Nabi juga bersabda:
مَنْ أَبْطَئَ عَمَلُهُ لَمْ يَسْرَعْ بِهِ نَسَبُهُ.
“Orang yang teledor dalam ber‘amal, nasabnya tidak akan berguna.”
Maksud dari hadits ini, tak pantas jika ada Ahl-ul-Bait yang ‘amal dan perilakunya tidak sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. dan para ulama Salaf-ush-Shāliḥ.
Nabi Muḥammad s.a.w. bersabda:
يَا بَنِيْ هَاشِمٍ لَا يَأْتِيْنِي النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ وَ تَأْتُوْنِيْ بِأَنْسَابِكُمْ.
“Wahai Bani Hāsyim, jangan sampai nanti (di hari Kiamat) orang-orang datang kepadaku dengan membawa ‘amal baiknya, sedangkan kalian datang kepadaku dengan membawa nasab kalian.”
Seakan-akan Nabi bersabda: “Orang lain datang kepadaku membawa ‘amal baiknya, sedangkan kalian Bani Hāsyim, datang hanya membawa nasab kalian, hal itu sama saja dengan mempermalukan diriku.”
Allah berfirman:
وَ أَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى.
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (di dunia).” (an-Najm [53]: 39).
‘Amal baik para leluhur tidak bisa memberi manfaat sama sekali, yang bisa memberi manfaat hanyalah ‘amal ibadah yang kita lakukan, maka beribadahlah kalian!
Salah satu putra Nabi Nūḥ a.s. ada yang mati dalam kekufuran. Oleh karena itu, beliau bertanya kepada Allah s.w.t.: “Wahai Tuhanku, ini (Kan‘ān) anakku, darah dagingku, bagaimana bisa Engkau jadikannya seperti itu (mati dalam keadaan kafir)?” Allah menjawab:
يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ.
“Hai Nūḥ, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik.” (Hūd [11]: 46).
Mendengar jawaban dari Allah, Nabi Nūḥ a.s. langsung tersungkur dan bersujud. Sampai 40 tahun lamanya beliau tidak berani mengangkat pandangannya karena malu atas kesalahan ungkapannya kepada Allah, bahkan kelak di padang mahsyar, beliau juga masih tetap merasa malu kepada Allah.
Ambillah pelajaran dari kisah Nabi Ibrāhīm a.s. Ayah beliau adalah orang kafir, tapi setelah nur Muḥammad berpindah ke ibunya, atau menurut pendapat yang lain, setelah kelahirannya, beliau ditaqdirkan menjadi Nabi. Ini merupakan makna dari ayat:
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ.
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (ar-Rūm [30]: 19).
Sedangkan kisah Kan‘ān, putra Nabi Nūḥ a.s. adalah makna dari ayat ini:
وَ يُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ.
“Dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.” (ar-Rūm [30]: 19).
Para Sayyid Ba‘alawī wajib menjalankan tuntunan kakek buyut mereka, yakni Nabi Muḥammad s.a.w. dan para ulama salaf-ush-shāliḥ. Sedangkan selain Bani Hāsyim wajib memuliakan Ahl-ul-Bait, jangan hanya melihat zhahirnya saja. Setiap orang, baik Bani Hāsyim maupun selainnya, wajib melaksanakan dan berpegang teguh pada adabnya masing-masing sesuai tuntunan Nabi Muḥammad s.a.w. Oleh karena itu, harus mengerti mana hadits yang objeknya kepada Ahl-ul-Bait, mana yang kepada selainnya. Pahamilah masalah ini!
Seperti seorang ayah dan anaknya, seorang anak harus memegang penuh adab seorang anak dan menjalankannya, begitupun sang ayah. Jangan sampai seorang anak berpegang pada adab sang ayah, begitu pula sebaliknya. Di akhir kitab ini in syā’ Allāh akan dijelaskan adab sebagai orang tua dan adab seorang anak.
Catatan: