1-2-2 Hal-hal Yang Mewajibkan Wudhu’ – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 001 Thaharah | Fiqih Lima Madzhab

HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN WUDHŪ’ DAN YANG MEMBATALKANNYA

 

Kencing, Kotoran dan Keluar Angin

Kaum Muslimin telah sepakat semua bahwa keluarnya kencing dan kotoran dari dua jalan (qubul dan dubur), serta angin dari tempat yang biasa, maka ia dapat membatalkan wudhū’. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah, dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhū’, menurut Syāfi‘ī, Ḥanafī dan Ḥanbalī. Tetapi menurut Mālikī, tidak sampai membatalkan wudhū’, kalau semuanya itu tumbuh di dalam perut, tapi kalau tidak tumbuh di dalamnya, seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari tempat biasa (anus), maka ia dapat membatalkan wudhū’. Imāmiyyah: Ia tidak membatalkan wudhū’, kecuali kalau keluar bercampur dengan kotoran.

 

Madzī dan Wadzī

Menurut empat madzhab: Ia dapat membatalkan wudhū’, tetapi menurut Imāmiyyah: Tidak sampai membatalkan wudhū’. Hanya Mālikī memberikan pengecualian bagi orang-orang yang selalu keluar madzī. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhū’ lagi.

 

Hilang Akal.

Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan, atau naik pitam, maka menurut kesepakatan semua ulama, ia dapat membatalkan wudhū’. Tapi kalau masalah tidur, Imāmiyyah: Kalau hati, pendengaran dan penglihatannya tidak berfungsi sewaktu ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar pembicaran orang-orang di sekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur tersebut dalam keadaan duduk, terlentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhū’. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Ḥanbalī.

Ḥanafī: Kalau orang yang mempunyai wudhū’ itu tidur dengan terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhū’nya menjadi batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku‘ atau sujud, maka wudhū’nya tidak batal. Barang siapa yang tidur pada waktu shalat dan keadaannya tetap dalam posisi seperti shalat, maka wudhū’nya tidak batal, walaupun tidur sampai lama. (Mīzān-ul-Sya‘rānī, dalam pembahasan asbāb-ul-ḥadats).

Syāfi‘ī: Kalau anusnya tetap dari tempat duduknya, seperti mulut botol yang tertutup, maka tidur yang demikian itu tidak sampai membatalkan wudhū’, tapi bila tidak, maka batal wudhū’nya.

Mālikī: Membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan wudhū’, begitu juga kalau tidur berata dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan waktunya panjang, ia dapat membatalkan wudhū’, baik anusnya tertutup maupun terbuka.

 

Mani

Mani dapat membatalkan wudhū’, menurut Ḥanafī, Mālikī dan Ḥanbalī, tetapi menurut Syāfi‘ī, ia tidak dapat membatalkan wudhū’. Sedangkan menurut Imāmiyyah: Mani itu hanya diwajibkan mandi bukan diwajibkan berwudhū’.

 

Menyentuh

Syāfi‘ī: Kalau orang yang berwudhū’ itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhū’nya batal, tapi kalau bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhū’nya tidak batal.

Ḥanafī: Wudhū’ itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, di mana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.

Imāmiyyah: Menyentuh itu tidak membatalkan wudhū’ secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula jika orang yang berwudhū’ itu menyentuh kemaluannya, baik anus maupun qubulnya tanpa ada aling-aling maka menurut Imāmiyyah dan Ḥanafī: Ia tidak membatalkan wudhū’.

Syāfi‘ī dan Ḥanbalī: Menyentuh itu dapat membatalkan wudhū’ secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.

Mālikī: Ada hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan wudhū’, tapi jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhū’. (al-Bidāyatu wan-Nihāyah, karya Ibnu Rusyd, dalam pembahasan nawāqid-ul-wudhū’).

 

Muntah.

Menurut Ḥanbalī: Ia dapat membatalkan wudhū’ secara mutlak, tapi menurut Ḥanafī: Ia dapat membatalkan wudhū’ kalau sampai memenuhi mulut. Sedangkan menurut Syāfi‘ī, Imāmiyyah dan Mālikī: Ia tidak membatalkan wudhū’.

 

Darah dan Nanah.

Sesuatu yang keluar dari badan bukan dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti darah, dan nanah, maka menurut Imāmiyyah, Syāfi‘ī dan Mālikī: Ia tidak membatalkan wudhū’. Ḥanafī: Ia dapat membatalkan wudhū’, jika mengalir dari tempat keluarnya.

Ḥanbalī: Ia dapat membatalkan wudhū’ dengan syarat darah dan nanah yang keluar itu banyak.

 

Tertawa.

Tertawa itu dapat membatalkan shalat, menurut kesepakatan semua kaum Muslimin, tetapi tidak dapat membatalkan wudhū’nya ketika waktu shalat, maupun di luarnya kecuali menurut Ḥanafī.

Ḥanafī: Dapat membatalkan wudhū’ kalau ketawanya itu sampai terbahak-bahak di dalam shalat, tetapi di luar shalat tidak membatalkan wudhū’.

 

Daging Unta.

Kalau orang yang mempunyai wudhū’ itu memakan daging unta, maka wudhū’nya batal, pendapat ini hanya menurut Ḥanbalī saja.

 

Darah Haidh

Al-‘Allāmah al-Ḥillī dalam bukurnya at-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah seorang ulama besar ahli fiqih dari kalangan Imāmiyyah: Darah haidh itu kalau sakit, ia wajib berwudhū’, begitulah menurut pendapat ulama kami, kecuali Ibnu Abī ‘Uqail. Sedangkan menurut Mālikī: Bagi orang yang haidh tidak diwajibkan berwudhū’.