1-2-2 Bangsa Arab – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri

Rangkaian Pos: Bangsa Arab - | Ar-Rahiq-ul-Makhtum - al-Mubarakfuri

Bangsa ‘Arab

(Bagian 2 dari 2)

 

Dari waktu ke waktu Ibrāhīm datang ke Mekkah untuk menjenguk keluarganya. Tidak diketahui secara pasti berapa kali kunjungan yang dilakukannya. Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.

Pertama, Allah telah menyebutkan di dalam al-Qur’ān bahwa Ibrāhīm bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya, Ismā‘īl. Maka ia pun bangkit untuk melaksanakan perintah dalam mimpi itu.

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَ تَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَ نَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ هذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِيْنُ. وَ فَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ

Tatkala keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrāhīm) membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). lalu Kami panggillah dia: “Hai Ibrāhīm, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (ash-Shaffāt: 103-107).

Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Ismā‘īl 13 tahun lebih tua daripada Isḥāq. Dari tentetan kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum Isḥāq lahir. Sebab, kabar gembira tentang kelahiran Isḥāq disampaikan setelah terjadinya kisah ini. Setidak-tidaknya kisah ini menunjukkan suatu kisah perjalanan Ibrāhīm, sebelum Ismā‘īl menginjak remaja. Adapun tiga perjalanan lainnya telah diriwayatkan al-Bukhārī secara panjang lebar dari Ibnu ‘Abbās secara marfū‘, (81) yang intinya adalah:

Kedua, bahwa sebelum remaja, Ismā‘īl belajar bahasa ‘Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik kepadanya, maka mereka menikahkannya dengan salah seorang putri keturunan mereka. Saat itu ibu Ismā‘īl sudah meninggal dunia. Suatu saat Ibrāhīm hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya. Maka beliau datang setelah pernikahan itu. Tatkala tiba di rumah Ismā‘īl, beliau tidak mendapati Ismā‘īl. Maka beliau bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Ismā‘īl mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrāhīm pun titip pesan, agar istrinya menyampaikan kepada Ismā‘īl untuk mengubah palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Ismā‘īl mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Ismā‘īl menceraikan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain, yaitu putri Mudhadh bin ‘Amru, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum. (92).

Ketiga, setelah perkawinan Ismā‘īl yang kedua ini, Ibrāhīm datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Ismā‘īl. Beliau bertanya kepada istri Ismā‘īl tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri Ismā‘īl adalah pujian kepada Allah. Lalu Ibrāhīm kembali lagi ke Palestina setelah titip pesan lewat istri Ismā‘īl, agar Ismā‘īl memperkokoh palang pintu rumahnya.

Keempat, pada kedatangan berikutnya, Ibrāhīm bisa bertemu dengan Ismā‘īl, yang saat itu Ismā‘īl sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat Zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Ismā‘īl berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, dan Ibrāhīm juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau bisa menahan kesabarang untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Ismā‘īl, sebagai anak yang berbakti dan saleh. Dengan adanya perjumpaan ini mereka berdua sepakat untuk membangun Ka‘bah, meninggikan sendi-sendinya, dan Ibrāhīm memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.

Dari perkawinannya dengan anak perempuan dari Mudhadh, Ismā‘īl dikaruniai anak oleh Allah sebanyak dua belas, semuanya laki-laki, (103) yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma‘, Duma, Misya, Ḥadād, Taima‘ Yathur, Nafis dan Qaiduman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk sekian lama. Mata pencaharian utama mereka adalah berdagang dari negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru jazirah, bahkan keluar jazirah. Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar.

Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz Utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat yang berpusat di Petra, sebuah kota kuno yang terkenal di selatan Yordania. Kekuasaan Nabat ini telah mencapai wilayah-wilayah terdekat dan tidak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi yang menghabisi mereka.

Setelah melakukan penyelidikan dan penelitian yang akurat, as-Sayyid Sulaimān an-Nadwī menegaskan bahwa raja-raja keturunan Ghassān, termasuk Aus dan Khazraj, bukan beradal dari keturunan Qaḥthān, tetapi dari keturunan Nabat, anak Ismā‘īl dan keturunan mereka di negeri tersebut. (114)

Sementara itu, anak keturunan Qidar bin Ismā‘īl tetap tinggal di Mekkah dan membina keluarga di sana hingga mendapatkan keturunan, ‘Adnān dan anaknya, Ma‘add. Dari dialah keturunan ‘Arab ‘Adnāniyah masih bisa dipertahankan keberadaannya. ‘Adnān adalah kakek ke-22 dalam silsilah keturunan Nabi s.a.w. Disebutkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada ‘Adnān, maka beliau berhenti dan bersabda: “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta.” (125) Beliau tidak melanjutkannya. (136).

Segolongan ulama membolehkan penyebutan nasab dari ‘Adnān ke atas, dengan berlandaskan kepada hadits yang mengisyaratkan hal itu. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai rincian nasab dengan perbedaan yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Adapun peneliti senior ‘Allāmah al-Qādhī Muḥammad Sulaimān al-Manshūrfūrī r.h. menguatkan pendapat Ibnu Sa‘ad – sebagaimana yang disebutkan pula oleh ath-Thabarī, al-Mas‘ūdī, dan selain mereka di sejumlah tempat – bahwa antara ‘Adnān sampai Ibrāhīm a.s. ada empat puluh keturunan. Ini menurut penelitian yang cukup mendalam. (147).

Keturunan Ma‘add dari anaknya Nizār telah berpencar ke mana-mana. Menurut salah satu pendapat, Nizār adalah satu-satunya anak Ma‘dd. Sementara itu, Nizār sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabī‘ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari Rabī‘ah ada Asad bin Rabī‘ah, Anzah, ‘Abd-ul-Qais, dua anak Wā’il, Bakar dan Taghlib, Ḥanīfah dan lain-lainnya.

Kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyās bin Mudhar. Dari Qais Ailan lahirlah Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Dari Ghathafan lahir Abs, Dzibyan, Asyja‘ dan Ghany bin A‘shar. Dari Ilyās bin Mudhar ada Tamīm bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinānah bin Khuzaimah. Dari Kinānah lahirlah Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Mālik bin an-Nadhr bin Kinānah.

Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, ‘Adī, Makhzūm, Taim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilāb, yaitu: ‘Abd-ud-Dār bin Qushai, Asad bin ‘Abd-ul-‘Uzzā bin Quraisy, dan ‘Abdu Manāf bin Qushay.

‘Abdu Manāf mempunyai empat anak: ‘Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hāsyim. Hāsyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muḥammad bin ‘Abdullāh bin ‘Abd-ul-Muththalib bin Hāsyim. (158).

Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِبْرَاهِيْمَ إِسْمَاعِيْلَ وَ اصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ بَنِيْ كِنَانَةَ وَ اصْطَفَى مِنْ بَنِيْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا وَ اصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِىْ هَاشِمٍ وَ اصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.

Sesungguhnya Allah telah memilih Ismā‘īl dari anak Ibrāhīm, memilih Kinānah dari anak Ismā‘īl, memilih Quraisy dari Bani Kinānah, memilih Bani Hāsyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hāsyim.” (169)

Diriwayatkan dari al-‘Abbās bin ‘Abd-ul-Muththalib bahwa ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِيْ مِنْ خَيْرِ فِرَقِهِمْ وَ خَيْرَ الْفَرِيْقَيْنِ، ثُمَّ تَخَيَّرَ الْقَبَائِلَ فَجَعَلَنِيْ مِنْ خَيْرِ قَبِيْلَةٍ، ثُمَّ تَخَيَّرَ الْبُيُوْتَ فَجَعَلْنِيْ مِنْ خَيْرِ بُيُوْتِهِمْ، فَأَنَا خَيْرُهُمْ نَفْسًا وَ خَيْرُهُمْ بَيْتًا.

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu menjadikan diriku sebagai sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikan diriku sebagai sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga lalu menjadikanku dari sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik diri dan sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik diri dan sebaik-baik keluarga di antara mereka.” (1710, 1811)

Setelah anak-anak ‘Adnān menjadi banyak, mereka berpencar di berbagai tempat di penjuru Jazirah ‘Arab, masing-masing mencari tempat yang strategis dan daerah yang subur. ‘Abd-ul-Qais dan anak-anak Bakar bin Wā’il serta anak-anak Tamīm pindah ke Baḥrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani Ḥanīfah bin Sha‘b bin ‘Alī bin Bakar pindah ke Yamāmah dan menetap di Ḥijr, ibukota Yamāmah. Semua keluarga Bakar bin Wā’il menetap di berbagai penjuru Yamāmah, membentang hingga ke Baḥrain. Taghlib menetap di jazirah Eufrat dan sebagian anak keturunannya bergabung dengan Bakar. Bani Tamīm menetap di Bashrah. Bani Sulaim menetap di dekat Madinah, dari lembah-lembah di pinggiran Madinah hingga ke Khaibar di bagian timur Madinah dan penghujung Hurrah. Tsaqif menetap di Thā’if. Hawazin di timur Mekkah, di pinggiran Authas, antara Mekkah dan Bashrah. Bani Asad menetap di timur Taima’ dan barat Kūfah. Di antara mereka dan Taima’ ada perkempungan Bukhtur dari Thayyi‘. Jarak dari tempat mereka ke Kūfah bisa ditempuh selama perjalanan lima hari. Dzibyān menetap di dekat Taima’ hingga ke Hawazin. Di Tihāmah ada beberapa suku Kinānah, sedangkan di Mekkah ada suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatu yang bisa menyatukan mereka, hingga muncul Qushay bin Kilāb. Dialah yang telah menyatukan mereka dan membentuk satu sama lain yang bisa mengangkat kedudukan mereka. (1912).

Catatan:


  1. 8). Ibid, I/475 
  2. 9). Qalbu Jazīrat-il-‘Arab, hal. 230. 
  3. 10). Ibid. 
  4. 11). Lihat Tārīkhu Ardh, II/78-86. 
  5. 12). Komentar: Hadits ini maudhū‘ (palsu). Sebagai tambahan penjelasan kami katakan: “Hadits ini maudhū‘ berdasarkan keterangan berikut ini: ‘Allāmah al-Albānī r.h. menyebutkan di dalam Silsilat-ul-Aḥādīts-idh-Dha‘īfah, I/228, hadits no. 111: “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta.” Allah ta‘ālā berfirman: “….. dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut.” (al-Furqān: 38). Hadits maudhū‘. As-Suyūthī meriwayatkan hadits ini dalam al-Jāmi‘ dari Ibnu Sa‘ad; Ibnu ‘Asākir meriwayatkannya dari Ibnu ‘Abbās, dan selanjutnya meriwayatkan dengan redaksi: Bila menyebutkan nasab, beliau tidak melewati Ma‘dd bin ‘Adnān bin Ud kemudian tidak melanjutkan dan bersabda: “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta…..” as-Suyūthī mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘ad dari Ibnu ‘Abbās.” Al-Manawī yang mensyarah hadits ini tidak mengomentari apa-apa di dua tempat, seolah-olah tidak melihat sanadnya. Bila tahu, sikap seperti ini tentu tidak dibolehkan. Ibnu Sa‘ad juga meriwayatkan di dalam ath-Thabaqāt, I/1/28 dan mengatakan: “Hisyām mengabarkan kepada kami, ia mengatakan: “Ayahku mengabarkan kepadaku dari Abū Shāliḥ dari Ibnu ‘Abbās secara marfū‘ sampai akhirnya.” Saya katakan bahwa Hisyām yang dimaksud adalah Ibnu Muḥammad bin as-Sā’ib al-Kalbī, seorang ahli nasab dan tafsir. Dia berstatus matrūk (ditinggalkan), seperti yang diungkapkan oleh ad-Dāruquthnī dan selainnya. Anaknya adalah Muḥammad bin as-Sā’ib yang lebih buruk daripada dirinya. Al-Jaujānī dan lainnya mengatakan: “Ia pendusta dan bahkan ia sendiri mengakui bahwa dirinya berdusta.” Al-Bukhārī meriwayatkan dengan sanad shaḥīḥ dari Sufyān ats-Tsaurī yang berkata: “al-Kalbī berkata kepadaku: “Semua yang aku ceritakan kepadamu dari Abū Shāliḥ adalah dusta”.” Saya katakan, begitulah yang disebutkan di al-Mīzān dan di dalamnya ada perawi yang tercecer atau sanadnya terlalu pendek, sehingga menghalangi penisbatan pengakuan dusta kepada al-Kalbī, seperti yang akan dijelaskan di hadits no. 5449. Ibnu Ḥibbān berkata: “Pola pikir beragama jelas-jelas dusta yang lebih nyata, sehingga tidak perlu sibuk memperdalam sifatnya dalam meriwayatkan dari Abū Shāliḥ dari Ibnu ‘Abbās. Abū Shāliḥ sendiri tidak pernah melihat Ibnu ‘Abbās dan al-Kalbī tidak mendengar dari Abū Shāliḥ kecuali satu huruf demi satu huruf. Ia tidak sah disebutkan di buku-buku, lantas bagaimana mungkin ia bisa dijadikan hujjah?” Dari jalur ini pula Ibnu ‘Asākir meriwayatkannya di dalam Tārīkh Dimasyq, I/197/1; II/198, dari manuskrip di Perpustakaan Zhahiriyah, Damaskus. (al-Malah). 
  6. 13). Lihat Tafsīr-uth-Thabarī, II/191-194; dan al-A‘lam, V/6. 
  7. 14). Raḥmatun lil-‘Ālamīn, I/7-8, 14-17. 
  8. 15). Muḥādharāti Tārīkh-il-Umam-il-Islāmiyyah, al-Khudharī, I/14-15. 
  9. 16). HR. Muslim, II/245, bab Fadhlu Nasab-in-Nabī; dan at-Tirmidzī, II/201. 
  10. 17). HR. At-Tirmidzī, kitab al-Manāqib, bab Mā Jā’a fī Fadhl-in-Nabī, hadits no. 3607, 3608. 
  11. 18). Komentar: Hadits dha‘īf (lemah). Abū ‘Īsā (at-Tirmidzī) berkata: “Ini adalah hadits ḥasan, dan ‘Abdullāh bin al-Ḥārits adalah Abū Naufal.” At-Tirmidzī juga mengulang periwayatannya di no. 3608, yang dekat dengannya. Imām Aḥmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya, yakni di Musnad al-‘Abbās bin ‘Abd-ul-Muththalib, hadits no. 1788. Syu‘aib al-Arna’uth menyatakan: “Hadits itu ḥasan li ghairihi.” Al-Albānī menyatakan hadits ini shaḥīḥ di dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘, hadits no. 1472, kemudian mengoreksi pendapatnya ini dan menyatakan dha‘īf dalam Dha‘īf-ut-Tirmidzī dan As-Silsilat-udh-Dha‘īfah, hadits no. 3073, di mana ia mengkritik at-Tirmidzī: “Demikianlah pendapatnya! Padahal, Yazīd bin Abī Ziyād adalah al-Hāsyimi, mantan budak mereka, yang dinyatakan oleh al-Ḥāfizh: “ia lemah. Hafalannya berubah ketika dewasa/tua”.” Saya katakan bahwa hadits tersebut bermasalah karena terdapat idhthirāb dalam sanadnya, karena diriwayatkan demikian. Hadits lain menyebutkan: “Dari ‘Abdullāh bin al-Ḥārits dari al-‘Abbās bin ‘Abd-ul-Muththalib yang berkata: “Saya berkata: “Ya Rasūlullāh, … dst.,” – seperti hadits tadi – yang juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzī. Hadits lain lagi berbunyi: “Dari ‘Abdullāh bin al-Ḥārits bin ‘Abd-ul-Mushthaliq dari Rabī‘ah yang berkata: ….” – lalu ia menyebutkan hadits dengan matan semisal. Kali ini diriwayatkan oleh al-Ḥākim, III/247, dan ia tidak mengomentarinya, demikian pula adz-Dzahabī. Saya katakan: Perhatikanlah matan hadits yang disebutkan penulis r.h. maka anda akan menemukan hal berikut: Tidak menyebutkan kata (مِنْ خَيْرِهِمْ) “terbaik di antara mereka.” Menyebutkan kalimat (فَجَعَلَنِيْ مِنْ خَيْرِ الْقَبِيْلَةِ) “maka Allah menjadikan diriku yang terbaik dari kabilah.” Penulis menyebutkan kata kabilah secara definitif yang berarti Rasūl s.a.w. terbaik atas kabilah beliau. Makna ini telah ditunjukkan dalam kalimat selanjutnya dan terdapat di dalam hadits tersebut: “Maka Allah menjadikan diriku dari kabilah terbaik.” Maknanya, kabilah Rasūlullāh keseluruhan lebih baik daripada kabilah lain. Perbedaan dua ungkapan ini jelas (al-Malah). 
  12. 19). Muḥādharāti Tārīkh-il-Umam-il-Islāmiyyah, al-Khudharī, I/15-16. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *