BAB 2
YANG MENYUCIKAN NAJIS
Cairan selain air. Sesuatu yang cair dan suci adalah yang berpisah dari benda yang diperasnya, seperti cuka dan air mawar, maka air tersebut adalah menyucikan. Pendapat ini hanya menurut Ḥanafī saja.
Tanah. Dapat menyucikan telapak kaki dan sandal yang dipergunakan berjalan di atas tanah, atau dapat dipergunakan untuk menggosok sesuatu yang melekat di atas sandal, dengan syarat bahan najis itu dapat hilang, menurut Imāmiyyah dan Ḥanafī.
Matahari. Imāmiyyah: Ia dapat menyucikan tanah dan sejenisnya yang berada (melekat) di atas benda-benda yang tetap, seperti pohon-pohonan, daun-daunan, dan buah-buahan; juga yang ada (melekat) di tumbuh-tumbuhan, bangunan-bangunan, dan pasak-pasak yang dipergunakan untuk menahan tegaknya kemah dan sebagainya juga tikar-tikar, bukan berupa permadani dan tempat-tempat duduk, hanya Imāmiyyah mensyaratkan cara pengeringan tikar tersebut semata-mata mempergunakan sinar matahari, bukan dengan memakai hembusan angin. Ḥanafī: Sesuatu yang kering itu dapat menyucikan tanah dan pohon-pohonan, baik dikeringkan dengan sinar matahari atau kering dengan angin.
Tetapi Syāfi‘ī, Mālikī dan Ḥanbalī sepakat bahwa tanah itu tidak bisa disucikan, baik dengan sinar matahari atau dengan angin (udara) tetapi harus disiram dengan air, hanya mereka berbeda pendapat tentang cara menyucikannya.
Api.: Ḥanafī: Membakar najis dengan api. Pembakaran tersebut dapat menyucikan, dengan syarat bahan najis itu hilang, Ḥanafī memutuskan bahwa kalau menyucikan tanah yang najis sampai ia menjadi debu (tembikar), dan kalau minyak sampai menjadi sabun. Syāfi‘ī dan Ḥanbalī: Api bukan sesuatu yang dapat menyucikan, bahkan mereka berpendapat bahwa abu najis, asapnya itu tetap najis. Mālikī: Abunya itu adalah suci, tetapi asapnya tetap najis.
Imāmiyyah: Api tidak termasuk yang dapat menyucikan tetapi sucinya itu karena adanya (terjadi) perubahan, seperti perubahannya kayu menjadi abu, dan air yang najis berubah menjadi asap. Maka perubahan itulah yang menjadikannya suci, tetapi kalau perubahannya dari kayu menjadi arang dan tanah liat menjadi tembikar, maka keduanya tetap najis, karena sebenarnya tidak ada perubahan.
Syāfi‘ī: Samak itu dapat menyucikan, kecuali kulit babi dan anjing. Dua kulit binatang tersebut tidak dapat disucikan dengan di-samak. Mālikī, Ḥanbalī, dan Imāmiyyah tidak memasukkan samak ke dalam hal yang dapat menyucikan, hanya Ḥanbalī tetap membolehkan memakai sesuatu benda najis yang telah di-samak, selain benda cair, yang sekiranya kalau dipakai najisnya tidak mencair ke mana-mana.
Busar (Sesuatu yang terurai). Ḥanafī: kapas itu bisa suci kalau ia telah terbusar (terurai).
Dalam proses. Ḥanafī: Kalau sebagian gandum terkena najis, dan sampai pada proses untuk dimakan, dihibahkan atau mau dijual pada gandum yang terkena najis itu, maka yang lain berarti suci. (Ibnu ‘Ābidīn, Jilid I, halaman 119).
(Yang bisa) digosok. Ḥanafī: Mani itu bisa suci kalau bisa hilang dengan digosok, tanpa disiram (diguyur) dengan air.
(Yang bisa) dihapus. Ḥanafī: Kalau benda licin selicin besi, kuningan, dan kaca, maka yang terkena najis itu dapat suci dengan dihapus, tanpa disiram air. Imāmiyyah: Menghilangkan najis dari tubuh binatang dengan apa saja yang dapat menyucikannya. Kalau di bejana, pakaian dan tubuh manusia, maka harus disucikan dengan air setelah bahan najisnya hilang.
Air Liur. Ḥanafī: Apabila puting payudara atau jari itu najis, maka cara menghilangkannya cukup dengan menjilatnya. (Ibnu ‘Ābidīn, Jilid I, halaman 215).
Didihkan. Ḥanafī: Apabila minyak, atau daging yang najis itu dididihkan dengan api, maka ia telah suci. Kelompok ahli fiqih Imāmiyyah: Jika anggur dididihkan maka ia najis, tapi bila duapertiganya lenyap (menguap), maka sisanya menjadi suci.