1-2-1 Irsyad, Ahlul Bait, dan Sahabat Nabi (Bagian 1) – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: Irsyad - Ahlul Bait - dan Sahabat Nabi - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Irsyad, Ahlul Bait, dan Sahabat Nabi.

(Bagian 1 dari 2)

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

فَأَرْشَدَ الْخَلْقَ لِدِيْنِ الْحَقِّ ثُمَّ بِسَيْفِهِ وَ هَدْيِهِ لِلْحَقِّ
مُحَمَّدُ الْعَاقِبْ لِرُسْلِ رَبِّهِ .وَ آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ حِزْبِهِ

Maka dia memberi makhluk petunjuk kepada agama yang ḥaqq

Dan (melindungi mereka) dengan pedang serta menerangkan dengan al-Qur’ān dan Sunnah.

Yakni Muḥammad yang mengakhiri semua utusan Tuhannya,

Beserta seluruh keluarganya, para sahabatnya dan juga kelompoknya.

Nabi Muḥammad s.a.w. memberi petunjuk dan menuntun semua manusia untuk mengikuti agama yang benar, yakni agama Islam. Nabi tidak hanya berdakwah pada manusia, tapi juga pada golongan jin. Nabi menyampaikan ajaran dengan berbagai cara, mulai dari memberi contoh perbuatan sampai mengangkat senjata (pedang). Dalam berdakwah, Nabi menyampaikan ayat-ayat al-Qur’ān dan nasihat-nasihat agar manusia menyembah Dzat yang ḥaqq, yakni Allah s.w.t.

Beliau adalah Nabi dan Rasūl terakhir, penutup para Nabi, maka tidak mungkin ada Nabi lagi setelahnya. Rahmat dan doa keselamatan juga senantiasa tercurah kepada keluarga, sahabat, dan umat Nabi Muḥammad s.a.w.

Penjelasan:

Irsyād adalah mengarahkan manusia dan jin agar mendapatkan petunjuk yang benar. Tugas para Rasūl adalah menunjukkan manusia pada jalan yang benar, adapun hasilnya, Allah yang menentukan. Ringkasnya, para Rasūl yang menunjukkan, Allah yang memberi pertolongan dan petunjuk. Rasūl sama sekali tidak mempunyai daya dan kekuatan, kewajiban mereka hanya menyampaikan risālah dari Allah kepada manusia, mereka sama sekali tidak bisa memberi pertolongan dan petunjuk.

Jangan sekali-kali engkau menyangka bahwa apabila seorang guru mursyid ikhlas dalam menyampaikan nasihat dan mendidik maka akan bisa memengaruhi hati muridnya, sehingga muridnya akan mendapat taufik dan hidayah, sama sekali tidak demikian. Apa yang dilakukan seorang mursyid sama sekali tidak bisa mempengaruhi hati muridnya jikalau tidak mendapatkan taufik dan hidayah dari Allah s.w.t.

Apa engkau tidak mendengar perkataan Nabi Nūḥ a.s. yang merupakan salah satu Rasūl yang bergelar ulul-‘azmi? Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān:

قَالَ رَبِّ إِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلًا وَ نَهَارًا فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِيْ إِلَّا فِرَارًا.

Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).” (Nūḥ [71]: 5-6).

Jika ajakan Nabi Nūḥ a.s. saja tidak bisa memengaruhi hati kaumnya, maka bagaimana dengan ajakanmu pada orang lain? Nasihat dan ajakan hanyalah sebab turunnya hidayah. Hal itu jika sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah s.w.t.

Irsyād Nabi Muḥammad s.a.w. kepada jin dan manusia sampai hari Kiamat, tidak pernah terputus. Nabi s.a.w. bersabda (sebagaimana tertulis dalam kitab Shaḥīḥ Bukhārī):

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.

Orang yang hadir (mendengar perkataanku) di antara kalian semua, wajib menyampaikan pada orang yang gaib (tidak mengenal dan tidak mengetahui aku), terkadang orang yang menyampaikan itu lebih paham dibanding orang yang mendengar langsung dariku.

Dari sini bisa dipahami bahwa apa yang diajarkan oleh Khulafā’-ur-Rāsyidīn, ulama mujtahid, dan para ulama setelahnya, sampai dengan hari Kiamat kelak, sama dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. karena kesemuanya tetap berpedoman pada nash al-Qur’ān dan hadits Nabi.

Irsyād yang dilakukan Nabi pada manusia adalah dengan mengajak memeluk agama Islam. Beliau membacakan dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān. Jika mereka menolak masuk Islam, Nabi menjelaskan bahwa beliau akan memerangi mereka. Tata cara irsyād inilah yang ditiru dan diikuti oleh Khulafā’-ur-Rāsyidīn dan para sahabat. Inilah maksud dari kata: (بِسَيْفِهِ وَ هَدْيِهِ لِلْحَقّ).

Pengertian dari alihi adalah keluarga Nabi Muḥammad s.a.w. Dari pengertian ini, keluarga Nabi memiliki beberapa maqām: (91).

1. Maqām Madḥī (pujian).

Dalam maqām madḥī, keluarga Nabi adalah setiap orang mu’min yang bertakwa.

Salah seorang sahabat Nabi pernah bertanya kepada Nabi: “Wahai Nabi, siapakah gerangan keluargamu yang harus aku cintai, aku hormati, dan aku harus berbuat baik kepadanya?” Nabi menjawab: “Orang yang bersih imannya, tidak bercampur dosa, dan orang yang menepati janjinya pada Allah s.w.t., yaitu orang yang beriman kepadaku dan imannya benar-benar murni”.

2. Maqām Du‘ā.

Dalam maqām doa, keluarga Nabi adalah setiap orang mu’min yang bertakwa, meskipun dia bermaksiat, karena orang yang bermaksiat lebih butuh untuk didoakan.

3. Maqām Zakāt

Dalam maqām zakāt, keluarga Nabi adalah keturunan Kiai (102) Hāsyim dan Kiai Muththalib, ini menurut pendapat mazhab Syāfi‘ī. Sedangkan menurut mazhab Mālikī dan mazhab Ḥanbalī, yang dinamakan keluarga Nabi hanya keturunan Sayyid ‘Alī bin Abī Thālib, Sayyid Ja‘far bin Abī Thālib, Sayyid ‘Aqīl, Sayyid ‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib, dan keturunan al-Ḥarts. Sebagian ahli hadits menyatakan bahwa Ahl-ul-Bait adalah Keturunan Sayyidah Fāthimah, Sayyid Ḥasan, Sayyid Ḥusain, dan juga keturunan Sayyid ‘Alī bin Abī Thālib walaupun bukan dari Sayyidah Fāthimah. Ada juga yang berpendapat bahwa Ahl-ul-Bait adalah para istri Nabi Muḥammad s.a.w. Wallāhu a‘lamu ‘alā kulli ḥāl.

Kita segenap orang mu’min wajib mencintai, menghormati dan memuliakan Ahl-ul-Bait, walaupun secara lahir mereka melakukan kemaksiatan. Kita semua wajib berprasangka baik pada Ahl-ul-Bait. Sebab, telah disebutkan dalam al-Qur’ān bahwa Ahl-ul-Bait suci dari dosa, maka lebih dulu ketetapan bersih dari dosa dibanding adanya maksiat yang dilakukan. Pahamilah masalah ini! Sebab, di antara tanda-tanda kebahagiaan seorang mu’min adalah mencintai Ahl-ul-Bait, dan tanda-tanda celakanya seorang mu’min adalah membenci Ahl-ul-Bait.

Mencintai Ahl-ul-Bait merupakan syarat dari sahnya keimanan. Hal ini berdasar pada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imām Baihaqī:

لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَ تَكُوْنَ عِتْرَتِيْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَ تَكُوْنَ أَهْلِيْ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَ تَكُوْنَ ذَاتِيْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ.

Tidak sempurna iman seseorang sehingga kecintaannya padaku melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri, keluargaku (‘itratī – khusus) lebih dia cintai dibanding dirinya sendiri, dan keluargaku (ahlī – umum) lebih dia cintai dibanding dirinya sendiri dan dzatku dia cintai dibanding dzatnya sendiri.” (H.R. Imām Baihaqī).

Nabi juga bersabda:

أَدِّبُوْا أَوْلَادَكُمْ عَلَى ثَلَاثَةِ خِصَالٍ: حُبِّ نَبِيِّكُمْ، وَ حُبُّ آلِ بَيْتِهِ، وَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ.

Ajarilah anak-anakmu tiga perkara: cinta kepada nabi kalian, cinta kepada keluarga nabinya, dan membaca al-Qur’ān.

Tidak bisa dibenarkan jika orang yang mengaku mencintai Nabi Muḥammad s.a.w. tapi membenci keturunan Nabi, yakni anak cucu Sayyidinā ‘Alī dan Sayyidah Fāthimah, dan Sayyidinā Ḥasan dan Ḥusain.

Catatan:


  1. 9). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 51. 
  2. 10). Sebutan kiai pada dasarnya diberikan kepada sesuatu yang dianggap memiliki daya linuwih. Dalam bahawa Jawa, sebutan kiai menurut asal-usulnya diberikan sebagai gelar untuk tiga jenis yang berbeda, yaitu: Pertama, gelar kehormatan untuk barang-barang yang dianggap keramat, seperti “Kiai Garuda Kencana” untuk sebutan Kereta Emas di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang ahli dalam agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Dalam hal ini, sering disebut seorang ‘ālim yaitu orang yang memiliki kedalaman pengetahuan agama Islam di kalangan umat Islam disebut ‘ulama’. Penyebutan ini terdapat perbedaan di daerah yang berbeda. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan, di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ‘ulama’ yang memimpin pesantren disebut kiai. (Lihat: Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1992, hal. 55) kemudian dengan berjalannya waktu istilah Kiai merupakan gelar atau panggilan kehormatan yang diberikan masyarakatkan atas pengabdiannya dan keahliannya dalam bidang keagamaan (Khazin, Jejak-jejak pendidikan Islam di Indonesia, hal. 93). Besar kemungkinan KH. Sholeh Darat sengaja menyematkan gelar “Kiai” pada Hāsyim dan Muththalib untuk memberi pemahaman pada pembaca bahwa kedua orang tersebut adalah orang terhormat. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *