‘URWAH BIN AZ-ZUBAIR
(Tokoh Tābi‘īn yang Menjadi Teladan dalam Kesabaran)
Pembukaan dan Pendahuluan
Ketika sedang menasihati putra-putranya, ‘Urwah bin az-Zubair berkata: ‘Wahai anak-anakku, apabila kalian melihat suatu perbuatan baik yang mengagumkan dari seseorang, maka berharaplah kebaikan darinya, meskipun di dalam pandangan manusia dia adalah orang yang jahat, karena perbuatan baik yang telah dia lakukan itu pasti memiliki saudara-saudara yang lain di dalam dirinya. Dan apabila kalian melihat suatu perbuatan jahat yang mengerikan dari seseorang, maka berhati-hatilah terhadapnya, meskipun di dalam pandangan manusia dia adalah orang yang baik, karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan itu pun pasti memiliki saudara-saudara yang lain di dalam dirinya. Ketahuilah, sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada saudara-saudaranya, dan keburukan pun menunjukkan kepada saudara-saudaranya juga.”
Kalimat tersebut merupakan kefasihan dari seorang ahli fikih, ‘Urwah bin az-Zubair, yang telah berhasil mencapai apa yang dia inginkan tepat pada sasarannya. Apakah ada perkara yang lebih mulia daripada mengharapkan ilmu? Allah telah mengabulkan apa yang dia inginkan sehingga mimpi pun menjadi kenyataan yang terwujud dan berguna bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi, bagaimanakah kisah harapan dari laki-laki ini?
Dikisahkan ada suatu perkumpulan yang mulia di antara orang-orang pilihan di dalam Islam yang terjadi di salah satu penjuru Ka‘bah (Ḥijr Ismā‘īl) dan di antara seluruh sisi Baitullāh al-Ḥarām, setiap orang dari mereka mengharapkan apa yang mereka sukai. Orang-orang pilihan itu adalah: Mush‘ab bin az-Zubair, ‘Abdullāh bin az-Zubair, ‘Urwah bin az-Zubair (ketiga putra dari sahabat Rasūlullāh s.a.w., az-Zubair bin al-‘Awwām), dan ‘Abdullāh bin ‘Umar. Mereka semua memiliki harapan, dan setiap orang dari mereka memiliki harapannya masing-masing sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
‘Urwah berkata: “Aku ingin orang-orang mengambil ilmu dariku.”
Mush‘ab berkata: “Sedangkan aku ingin menguasai wilayah ‘Irāq.”
‘Abdullāh berkata: “Sedangkan aku mengharapkan kekhalifahan.”
Adapun Ibnu ‘Umar berkata: “Aku mengharapkan ampunan.”
Semoga dia telah mendapatkan apa yang dia harapkan. (11)
Semua harapan dari ketiga putra az-Zubair itu telah terwujud; ‘Abdullāh telah dibai‘at untuk menjadi khalifah sepeninggal Yazīd bin Mu‘āwiyah, dia adalah khalifah kedua dari Bani Umayyah. Kemudian dia terbunuh di Makkah, di dekat tempat dia menyampaikan harapannya.
Sedangkan Mush‘ab, dia menjadi pemimpin setelah peristiwa pembunuhan saudaranya itu, dan dia pun terbunuh karena membela wilayahnya.
Adapun ‘Urwah bin az-Zubair, impiannya telah terwujud dan harapannya telah tercapai setelah tahun-tahun perjuangan yang panjang yang membutuhkan keinginan keras dari seseorang yang tidak akan melunak demi mewujudkan tujuannya, serta kemauan yang kuat dari seorang ahli ilmu yang tidak akan berhenti mempelajari dan memperdalam berbagai perkara. Akan tetapi, setiap perjuangan dan kemauan yang kuat itu memiliki kisah kehidupan yang panjang lebar, kami akan memulainya dari titik awal. Apakah kita telah siap untuk melangkahkan kaki untuk menemani perjalanan seorang pembela yang mulia. ‘Urwah bin az-Zubair? Awal kehidupan dari seorang pembela Rasūlullāh s.a.w., ‘Urwah bin az-Zubair?
Nasab dan Pertumbuhannya
‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Awwām, putra dari pembela Rasūlullāh s.a.w. dan seorang sahabat az-Zubair bin al-‘Awwām bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abd-ul-‘Uzzā bin Qushai bin Kilāb. Nenek dari ayahnya adalah Shafiyyah binti ‘Abd-il-Muththalib, bibi Rasūlullāh s.a.w.
Dia adalah seorang imam, ahli ilmu di Madīnah, Abū ‘Abdullāh al-Qurasyi, tinggal di Madinah, ahli fikih, dan merupakan salah seorang dari ahli fikih yang tujuh. (22).
Ibunya adalah Asmā’ binti Abī Bakar ash-Shiddīq yang diberi gelar Dzāt-un-Nithāqain; karena dia telah merobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian yang salah satunya dia gunakan untuk mengikat wadah bekal Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau hendak berhijrah ke Madinah, dan yang kedua dia gunakan untuk mengikat wadah minumnya.
Bibinya adalah Umm-ul-Mu’minīn ‘Ā’isyah r.a.
Garis keturunan manakah yang lebih mulia dari nasab ini?! Sesungguhnya ini adalah garis keturunan putra az-Zubair bin al-‘Awwām al-Qurasyi dan pembela Rasūlullāh s.a.w., bahkan merupakan pembela dan sahabat Rasūlullāh yang paling dekat dan paling beliau cintai ridhwānullāhi ‘alaihim.
‘Urwah bin az-Zubair dilahirkan pada masa kekhalifahan ‘Utsmān bin ‘Affān. Dikatakan (33) juga bahwa dia dilahirkan pada tahun ke 23 Hijriyyah. Dia mendapatkan ilmu dan periwayatan dari bibinya, Sayyidah ‘Ā’isyah r.a.
Ibnu Syihāb az-Zuhrī meriwayatkan dari seseorang yang hidup sezaman dengan ‘Urwah, yaitu Qabīshah bin Dzuaib yang mengatakan: “Pada masa kekhalifahan Mu‘awiyah sampai pemerintahannya itu berakhir, kami berkumpul di halaqah masjid pada malam hari; aku, Mush‘ab dan ‘Urwah dua putra az-Zubair, juga Ibrāhīm bin ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf. Namun kami berpencar pada siang harinya, dan aku senantiasa berada di majelis Zaid bin Tsābit.”
Zaid bin Tsābit adalah pemimpin di Madinah dalam hal hukum syariat, fatwa, qira’ah, dan fara’idh pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Khaththāb, ‘Utsmān, dan ‘Alī bin Abī Thālib r.a. Di mana pun dia berada, ‘Urwah akan pergi mendatanginya dengan meninggalkan sahabat-sahabatnya.
Catatan: