Ahli Ilmu dan Ahli Fikih
Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin al-Ḥārits bin Hisyām mengatakan: “Ilmu itu diperuntukkan bagi salah seorang dari ketiga orang berikut; bagi orang yang memiliki keturunan mulia dan dia menghiasinya dengan ilmu, atau orang yang memiliki agama dan dia memelihara agamanya dengan ilmu, atau orang yang bergaul dengan penguasa dan dia memberikan hadiah kepadanya dengan ilmu. Dan aku tidak mengenal seseorang yang lebih bersedia untuk semua hal tersebut selain dari ‘Urwah dan ‘Umar bin ‘Abd-ul-‘Azīz.”
Qabīshah bin Dzuaib berkata: “Aku adan Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān senantiasa mendatangi Abū Hurairah, sedangkan ‘Urwah mengalahkan kami dengan kedatangannya kepada ‘Ā’isyah.” (41)
‘Urwah senantiasa mereguk ilmu dari bibinya, Umm-ul-Mu’minīn ‘Ā’isyah, sehingga dia dapat menangkap dan memahami setiap hadits yang diriwayatkan dari ‘Ā’isyah. Dia berbicara kepada putra-putranya, di antaranya Hisyām, ketika mereka telah menjadi pemuda: “Apa alasan kalian tidak belajar, apabila sekarang kalian adalah anak-anak kecil dari kaum ini maka sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua dari kaum ini, lalu apa baiknya orang tua yang menjadi tua dalam keadaan bodoh?
Empat tahun sebelum ‘Ā’isyah meninggal dunia, aku memandang kepada diriku sendiri seraya berkata: “Seandainya dia meninggal dunia hari ini, aku tidak akan menyesali hadits yang dia miliki karena aku telah menghafalnya.” (52)
Demikianlah ‘Urwah menghafal dan memahami segala sesuatu yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah. Dia adalah seorang hafizh yang memiliki ingatan yang kuat. Banyak ulama dan kaum bangsawan pada zamannya yang memberikan kesaksian atas ilmu yang dimilikinya, terutama ‘Umar bin ‘Abd-ul-‘Azīz, khalifah yang adil yang mengatakan: “Aku tidak menemukan orang yang lebih pandai daripada ‘Urwah bin az-Zubair, dan aku tidak mengetahui bahwa dia mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu.”
Oleh karenanya, ‘Umar bin ‘Abd-ul-‘Azīz meminta bantuannya sebagai salah seorang ulama di antara para ulama Madinah dan salah seorang ahli fikih di antara para ahli fikih Madinah yang mulia. Ketika ‘Umar datang ke Madinah sebagai gubernur di sana pada masa kekhalifahan al-Walīd bin ‘Abd-ul-Mālik, maka orang-orang pun berdatangan untuk mengucapkan salam kepadanya. Lalu setelah dia selesai melaksanakan shalat Zhuhur, dia memanggil sepuluh orang ahli fikih Madinah dan salah seorang di antaranya adalah ‘Urwah bin az-Zubair.
Kemudian ketika mereka telah berada di hadapannya, dia menyambut mereka dengan baik dan memuliakan tempat duduk mereka, lalu dia memuji Allah s.w.t. dan menyanjung-Nya serta berkata: “Sesungguhnya aku memanggil kalian untuk suatu perkara yang kalian akan dipekerjakan karenanya, dan dalam hal tersebut kalian akan membantuku demi membela kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan suatu perkara kecuali menurut pendapat kalian, atau menurut pendapat salah seorang yang hadir di antara kalian. Apabila kalian melihat seseorang menzalimi orang lain, atau sampai suatu berita kepada kalian tentang seorang pengawalku yang zalim, maka demi Allah aku meminta kalian untuk menyampaikan berita itu kepadaku.”
Maka pada saat itu ‘Urwah bin az-Zubair mendoakan kebaikan baginya, dan mengharapkan petunjuk dan kebenaran dari Allah s.w.t. baginya.
Ibnu Syihāb az-Zuhrī, salah seorang murid ‘Urwah, meriwayatkan darinya dan berkata: “Aku melihat ‘Urwah laksana laut yang tidak menjadi keruh karena timba.” Demikianlah kesaksian dari salah seorang murid-muridnya yang mulia, ahli fikih Ibnu Syihāb az-Zuhrī, kesaksian yang tidak pernah cukup digambarkan dengan kata-kata, dia hanya mencoba menyebutkan seberapa banyak ilmu yang dimiliki oleh seorang ulama yang telah menjadi simbol ilmu pada zamannya. Ibnu Syihāb az-Zuhrī mengatakan: “Aku pernah bertanya tentang suatu perkara yang berkaitan dengan fikih kepada Ibnu Shu‘air (salah seorang guru bagi az-Zuhrī), lalu dia berkata: “Engkau harus menemui orang ini.” Dia menunjukkan aku kepada Sa‘īd bin al-Musayyab, maka akupun selalu menghadiri majelisnya selama tujuh tahun dan aku memandang tidak ada lagi seorang ahli ilmu selain dia. Kemudian aku berpindah ke majelisnya ‘Urwah, lalu karenanya aku bisa memancarkan lautan yang besar.”
Benar, dia adalah ‘Urwah bin az-Zubair. Para sahabat senantiasa bertanya kepadanya, betapa banyak orang yang berkumpul untuk mendengarkan hadits darinya, akan tetapi dia telah menutup dirinya dari semua pujian orang dengan mengatakan: “Pemilik dunia ini adalah orang yang paling zuhud terhadapnya.” (63) Putranya (Hisyām) telah membakar seluruh kitab milik ayahnya, di antaranya terdapat kitab fikih; maka Hisyām berkata dengan penyesalan yang menyelimuti hatinya: “Sungguh aku berharap seandainya aku telah menebusnya dengan keluarga dan hartaku.”
Dia juga seorang penyair, ketika dia ditanya: “Apa yang membuatmu terikat dengan syair?” Dia menjawab: “Riwayatku dari riwayat ‘Ā’isyah. Tidak ada suatu perkara pun yang terjadi padanya, kecuali dia akan melantunkan sebait syair.”
Inilah ‘Urwah sang penyair yang sedang berbicara tentang istananya yang berada di al-‘Aqīq (suatu tempat yang berada di salah satu penjuru Madinah).
Kami telah membangunnya dan memperindah bangunannya
Dengan memuji Allah dalam kebaikan al-‘Aqīq
Engkau melihat mereka memandangnya dengan lirikan kemarahan
Ia menampakkan diri kepada mereka di tengah jalan
Sehingga ia telah membuat orang-orang yang memusuhinya bersedih hati
Ia adalah sumber kemarahan bagi musuh-musuhku
Dan sumber kebahagiaan bagi sahabatku
Ia dapat terlihat oleh semua orang, baik yang sedang melakukan perjalanan
Maupun utusan yang tengah mengunjungi Ka‘bah. (74).
Demikianlah ‘Urwah sebagai seorang penyair sekaligus ahli fikih, tidak ada kemadaratan dalam hal tersebut karena imam asy-Syafi‘i pun telah melantunkan bait-bait syair yang sangat indah bersamaan dengan pelajaran-pelajaran ilmu fikih yang paling penting. Syairnya menjadi tasbih, sebagaimana fikihnya menjadi pelajaran dan teladan bagi setiap ahli ijtihad yang ingin mempelajari agama dengan bahasanya dari sela-sela ilmu agama yang dimilikinya.
Seorang Ahli Ibadah yang Khusyu‘
‘Urwah bin az-Zubair adalah orang yang terpercaya dan kuat dalam bidang hadits dan periwayatannya. Dia banyak meriwayatkan hadits, ahli fikih, dan ahli ilmu. (85).
‘Urwah r.h. merupakan orang yang terpelajar, terpercaya, saleh, dan tidak pernah tergelincir ke dalam fitnah sama sekali.
Laki-laki ini berbicara sedikit tentang dirinya, padahal dia tidak suka menyebutkan sedikit pun pujian terhadap dirinya sendiri, namun di sini dia berbicara di depan muridnya yang cerdas, Ibnu Syihāb az-Zuhrī: “Saat aku masih kecil, aku memiliki dua jambul, kemudian aku berdiri untuk melaksanakan shalat dua rakaat setelah shalat ‘Ashar, lalu pada saat aku ruku‘ Ibnu ‘Amar melihatku dan dia sedang memegang tongkat, ketika aku melihatnya maka aku pun melarikan diri darinya, namun kemudian dia menemukan aku, lalu dia menarik kedua jambulku dan melarangku, maka aku pun bertanya: “Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
‘Urwah bin az-Zubair telah menyatukan antara ilmu dan ‘amal, sehingga ibadahnya pun sesuai dengan ilmu fikih yang dikuasainya. Dia banyak berpuasa pada siang hari meskipun cuaca sangat panas. Hisyām putranya bercerita tentang dirinya: “Sesungguhnya ayahku berpuasa sepanjang masa, kecuali pada hari ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā, dan dia meninggal dunia dalam keadaan berpuasa.” (96).
‘Urwah r.h. banyak melaksanakan shalat di kegelapan malam dan lisannya senantiasa dibasahi dengan berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla. Dia pun selalu dekat dengan kitab Allah ‘azza wa jalla dan tidak pernah meninggalkan bacaannya, dia membaca seperempat dari al-Qur’ān setiap siang sambil melihat mushḥaf, kemudian membacanya di dalam shalat malam dengan hafalan. (10) Apakah menurutmu ada orang yang lebih banyak memperoleh keberkahan daripada laki-laki yang seperti ini?! Apakah kalian mengenal seseorang yang memiliki ikatan lebih kuat dengan kitab Allah selain daripada ‘Urwah bin az-Zubair yang merupakan ahli fikih Madinah dan salah seorang syaikh di antara tujuh orang syaikh Madinah?
‘Urwah r.h. menemukan ketenangannya di dalam shalat, sehingga shalat telah menjadi kekasihnya dan kecintaannya yang terbesar di muka bumi ini. Maka dia pun melaksanakannya dengan benar-benar sempurna dan memanjangkan shalatnya dalam waktu yang benar-benar lama. Dia pernah mengatakan kalimat yang benar dan nasihat keimanan kepada saudaranya di dalam Islam ketika dia melihat orang itu selesai dari shalatnya, lalu dia menemuinya seraya berkata: “Wahai putra saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apapun dari Allah s.w.t.?! Demi Allah, sesungguhnya aku meminta segala sesuatu kepada Allah s.w.t. di dalam shalatku, sampai urusan garam sekalipun.”
Dia pun pernah berkata kepada putranya Hisyām: “Bisa jadi, sedikit kehinaan yang aku terima dengan kesabaran akan mendatangkan kemuliaan yang berkepanjangan.” (117).
Sekiranya kita merenungkan ungkapan-ungkapan ‘Urwah tersebut, maka kita pasti mendapatkan kalimat itu keluar dari seorang ahli fikih yang berilmu, seorang sastrawan yang berpengaruh, dan seorang laki-laki yang saleh dan bertaqwa. Ketika dia mengatakan: “Aku tidak pernah mengatakan sama sekali kepada seseorang tentang suatu perkara yang berkaitan dengan ilmu yang tidak mungkin dia pahami, kecuali hal itu akan menjerumuskannya ke dalam kesesatan.” Maka pada saat itu dia sedang membentuk suatu kaidah yang luas.
Bukankah di dalam ungkapan itu tersimpan sebaik-baik hikmah dan seindah-indah perkataan dari orang bijak?! Benar.
وَ مَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا.
“Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak.” (al-Baqarah: 269).
Catatan: