2-17 Keselamatan Diri dari Kebodohan itu Adalah Dengan Berserah Diri – Al-Hikam – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)

Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

BAB DUA

Penjelasan tentang Maksud, Tawakkal dalam Upaya, dan Istiqāmah dalam Tawajjuh.

Barang siapa memulai awal perjalanannya dengan kembali kepada Allah maka akhir perjalanannya akan berujung dalam wushul kepada-Nya. Barang siapa memulai awal perjalanannya dengan hukum ushul maka ia akan berujung pada pencapaian yang lebih unggul.

 

Kemudian Ibnu ‘Athā’illāh r.a. membuka bagian ini dengan penjelasan tentang mu‘āmalat. (401) Penyebutan riwayat hidup singkat pada bagian ini dimaksudkan sebagai pengagungan dan pemuliaan untuknya. Tulisan ini juga menyebutkan beberapa pandangannya yang terabaikan. Ini juga menunjukkan bahwa yang menempatkan tulisan-tulisan itu bukanlah dirinya, melainkan orang lain yang mengikuti petunjuknya, atau pun menuliskannya tanpa petunjuknya. Atau, bisa jadi Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mendiktekannya kepada si penulis yang kemudian menyusun dan merangkainya dengan kreativitas dirinya sesuai dengan beberapa bab dan pasal. Hanya Allah yang lebih mengetahui.

Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan:

17. مَا تَرَكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْئًا مَنْ أَرَادَ أَنْ يُحْدِثَ فِي الْوَقْتِ غَيْرَ مَا أَظْهَرَهُ اللهُ فِيْهِ

Betapa bodoh orang yang berkehendak untuk tampil pada suatu waktu bukan dengan penampilan yang ditampilkan Allah dan penampilan itu.”

Waktu yang dimaksud di sini adalah masa yang tidak menerima apa pun selain yang telah ditampakkan Allah di dalamnya sesuai dengan hukum perubahan dan kehendak, serta sesuai dengan hukum perubahan dari ketiadaan. Tampilnya sesuatu di luar yang ditampilkan Allah disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi tujuan-tujuan nafsu dan sejenisnya. Keselamatan diri dari kebodohan itu adalah dengan berserah diri. Syaikh Abul-Qāsim al-Qusyairī r.a. (412) mengatakan: “Ucapan mereka “waktu adalah pedang”, berarti, layaknya pedang yang dapat memutus, waktu yang berjalan dan ditentukan oleh Allah adalah pemutus (hakim). Dikatakan: “Pedang itu lembut lalu sang pandai menyentuhnya hingga menjadikannya tajam. Maka, barang siapa memperlakukannya dengan lembut, ia akan selamat dan barang siapa melawannya, ia akan terpenggal. Begitu pula waktu. Barang siapa berserah diri pada hukumnya, ia selamat. Dan barang siapa menentangnya dengan meninggalkan keridaan, ia akan celaka dan menderita.

Dan layaknya pedang, jika kau perlakukan lembut, lembut pula sentuhannya

Tapi jika kau perlakukan dengan kasar, kau kan dipenggal ketajamannya.

Ada beberapa ahli lain yang memberi penjelasan berbeda tentang waktu. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa waktu adalah kebaikan hati. Mereka mengatakan: “Si Fulan adalah pemilik yang dimilikinya. Ada pula yang mengatakan bahwa waktu yang dimilikinya. Ada pula yang mengatakan bahwa waktu adalah perkumpul untuk mendengarkan (simā‘). Mereka mengatakan: “Fulan membuat waktunya dan menghadirkan untuk kita waktunya.” Dan semisalnya. Sementara, ucapan mereka: “Fulan mengikuti hukum waktu”, mengandung arti seperti yang telah dijelaskan. Maksudnya, ia berjalan mengikuti perubahan dan perkembangan (hukum waktu) tanpa upaya atau ikhtiar apa pun dari dirinya.

Seseorang melawan atau menentang waktu ketika ia melakukan sesuatu dengan tujuan yang bodoh untuk menutup pintu-pintu dan jalan ilmu berkaitan dengan hak pemilik keadaan ini. Ada tiga jalan ilmu berkaitan denggan hal ini, yaitu ‘aqliyyāt, syar‘iyyāt, dan ‘ādiyāt. Ia disebut bodoh berkaitan dengan segala yang ma‘qūlāt karena kehendaknya untuk menghilangkan yang sebenarnya (kenyataan) dan melakukan yang dilarang. Ia disebut bodoh berkaitan dengan urusan syar‘iyyāt karena ia menentang tuan dan pimpinannya, karena adab buruknya berkaitan dengan segala hal yang ditetapkan atas dirinya, serta karena menghendaki di luar apa yang telah ditetapkan atas dirinya baik berupa tajrīd, asbāb, atau selain keduanya. Ia disebut bodoh berkaitan dengan urusan ‘ādiyāt karena tidak punya perhatian terhadap kebijaksanaan Allah dalam penciptaan dan sunnatullah dalam beribadah kepada-Nya.

Ketahuilah, siapa pun yang menghendaki terpenuhnya keinginan nafsunya maka ia akan merasa lelah jiwa tanpa mendapatkan faedah apa-apa. Sebab, tidak ada yang ia dapatkan kecuali di luar apa yang diinginkannya. Dikatakan, siapa pun yang mencari atau menuntut apa pun yang tidak diciptakan, siapa pun yang mencari atau menuntut apa pun yang tidak diciptakan, siapa pun yang mencari atau menuntut apa pun yang tidak diciptakan, ia hanya akan membuat lelah jiwanya dan tidak akan diberi rezeki. Rezeki yang dimaksud adalah ketenangan dan kenyamanan di dunia. Dan sebagaimana kau diperintahkan untuk berserah diri dalam kenyataan, karena tidak mungkin ada yang lain selain Dia, kau juga diperintahkan untuk menegakkan hak-hak sesuai dengan kemampuan meskipun dalam keadaan sempit. Maka, mengabaikan sikap berserah diri (istislām) dalam segala urusannya adalah kebodohan dan meninggalkan amal pada waktunya adalah kedunguan. Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengungkapkan: (lihat Ḥikam # 18)

Catatan:

  1. 40). Mu‘āmalat bersama Allah atau mu‘āmalat dalam bidang ruhani.
  2. 41). Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm al-Qusyairī an-Naisābūrī, lahir pada 376 H., wafat 465 H., di kota Nisāpūr. Ia termasuk sufi besar, yang memiliki banyak karya tulis dalam bidang tashawwuf, tafsir, dan sastra. (lihat biografinya yang rincidalam muqaddimah jilid pertama kitab Risālat-ul-Qusyairiyyah, ditaḥqīq oleh DR. ‘Abd-ul-Ḥalīm Maḥmūd dan Maḥmūd ibn-isy-Syarīf. Lihat juga kitab Wafayāt-ul-A‘yān, Thabaqāt-us-Subukī, Jilid 3, dan Kitab al-A‘lām-uz-Zarkalī, jilid 2.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *