1-13 Istinja’ – Ringkasan Kitab al-Umm

Ringkasan Kitab al-Umm
Buku 1 (Jilid 1-2)
(Judul Asli: Mukhtashar Kitab al-Umm fil-Fiqhi)
Oleh: Imam Syafi‘i Abu Abdullah Muhammad Idris

Penerjemah: Mohammad Yasir ‘Abd Mutholib
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

BAB: ISTINJA’

 

Imām Syāfi‘ī berkata: Allah tabāraka wa ta‘ālā berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (al-Mā’idah [5]: 6).

Imām Syāfi‘ī berkata: Tidak ada keharusan beristinja’ (membersihkan kotoran setelah buang air kecil atau buang air besar [paling tidak] dengan tiga biji batu) atas seseorang yang diharuskan untuk berwudhu’, kecuali apabila ia membuang air besar atau air kecil, maka ia harus beristinja’ dengan batu atau air.

Dari Abū Hurairah, bahwa Rasūl s.a.w. bersabda:

إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلَ الْوَالِدِ فَإِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِيْلَةَ وَ لَا يَسْتَدْبِرْهَا بِغَائِطٍ وَ لَا بَوْلٍ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَ نَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَ الرِّمَّةِ وَ أَنْ يَسْتَنْجِيَ الرَّجُلُ بِيَمِيْنِهِ.

Sesungguhnya aku bagi kalian seperti seorang ayah. Apabila seseorang dari kalian hendak membuang hajat, maka janganlah menghadap ke qiblat dan tidak pula membelakanginya ketika sedang membuang air besar atau air kecil. Hendaklah ia beristinja’ dengan tiga batu, dan dilarang beristinja’ dengan kotoran hewan atau rimmah (tulang yang telah membusuk), serta dilarang beristinja’ dengan tangan kanannya.” (341).

Imām Syāfi‘ī berkata: Barang siapa buang air besar atau air kecil, maka cukup baginya menyapu dengan tiga batu; batu bata, kayu bakar atau barang yang suci dan bersih yang dapat membersihkan, misalnya: debu, rumput, tembikar dan yang lainnya.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila ia menemukan batu, batu-bata atau batu api yang memiliki tiga sisi, lalu seseorang menyapu dengan masing-masing sisi itu, maka hal itu telah menyamai tiga batu. Apabila ia menyapu dengan tiga batu, kemudian ia mengetahui bahwa masih ada bekasnya, maka hal itu tidak cukup baginya kecuali apabila ia menyapunya kembali sehingga ia melihat bahwa bekasnya tidak tertinggal lagi.

Imām Syāfi‘ī berkata: Beristinja’ dari buang air kecil adalah seperti beristinja’ dari kotoran (tahi), keduanya tidak memiliki perbedaan. Apabila air seni berhamburan ke pinggir lubang (tempat keluarnya), maka cukup baginya dengan beristinja’. Namun apabila berhamburan dan melewati pinggir lubang, maka tidak cukup baginya kecuali disucikan dengan air.

Orang yang buang air kecil hendaknya memuntaskan keluarnya air seni agar tidak menetes. Saya lebih menyukai apabila seseorang menuntaskan keluarnya air seni dan berdiam sesaat sebelum beristinja’, kemudian setelah itu ia berwudhu’.

Jika seseorang terkena penyakit bawasir (ambeien) dan luka di dekat pantat atau di bagian dalamnya, lalu mengalir darah atau nanah atau nanah bercampur darah, maka hendaklah ia beristinja’ dengan air dan tidak cukup dengan batu, karena air dapat menyucikan seluruh najis. Keringanan beristinja’ menggunakan batu tidak dapat diperluas cakupannya dari apa yang telah ditentukan.

Demikian juga buang air besar dan air kecil apabila melampaui tempatnya dan mengenai salah satu anggota badan, maka tidak ada yang dapat menyucikannya kecuali dengan menggunakan air.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila wajib atas seseorang mandi, maka tidak boleh baginya membersihkan bagian keluarnya najis kecuali mencucinya (dengan air).

Catatan:


  1. (34). HR. Ibnu Mājah dalam pembahasan tentang bersuci, bab “Istinja’ dengan Batu-bata dan Larangan Menggunakan Kotoran dan Tulang-belulang”, hadits no. 252, jilid 1, hal. 57. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *