67. Memuliakan tetangga, dengan cara berperilaku baik, murah senyum, mengirimkan makanan, menahan diri dari membalas perilaku buruk tetangga. Jika tidak bisa melakukan hal tersebut, usahakan jangan sampai menyusahkan tetangga.
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْأَخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, hendaknya dia menghormati tetangganya.”
68. Memuliakan tamu.
Maksudnya berbuat baik kepada tamu berupa memberi suguhan, memperlihatkan raut muka bahagia, berperilaku baik, dan segera memberi suguhan ketika sudah datang. Kesemuanya itu dengan catatan tidak memaksakan diri mengusahakan sesuatu yang tidak dimiliki, jangan sampai meminjam uang kepada orang lain (hutang) untuk membeli suguhan tamu.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku dan golongan umatku yang bertaqwa tidak pernah memaksakan diri mengadakan sesuatu yang tidak kami miliki.”
Beliau juga bersabda: “Jangan memaksakan diri dalam melayani tamu karena bisa membuatmu membencinya. Barang siapa yang benci pada tamunya, maka sama dengan membenci Allah, dan barang siapa yang benci pada Allah, maka dia dimurkai Allah. Orang yang menampakkan keramahan pada tamunya, maka jasadnya haram masuk neraka. Tamu masuk rumah dengan rahmat dan keluar dengan membawa dosa pemilik rumah.”
69. Menutupi ‘aib orang-orang muslim.
Jangan sekali-kali mengumbar ‘aib dan menggunjing saudara sesama muslim. Ada juga orang yang boleh digunjing, tujuannya agar tidak dikumpuli dan perbuatannya tidak ditiru, mereka adalah ahli bid‘ah, orang kafir, dan orang murtad. Hal ini sebagaimana penjelasan dalam kitab-kitab fiqih.
Ibnu ‘Arabī berkata: “Seorang muslim yang melihat Ahl-ul-Bait Rasūlullāh melakukan perbuatan yang munkar, hendaknya dia meyakinkan dirinya bahwa perbuatan tersebut telah diampuni oleh Allah s.w.t. Jangan menggunjing dan jangan berprasangka jelek!”
70. Sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, menerima cobaan dari Allah dengan tidak merasa benci terhadap cobaan dari Allah, senantiasa bersabar dalam menjauhi maksiat dan bertekad tidak akan mengulangi maksiat lagi. Juga bersabar atas perilaku buruk orang lain dengan cara tidak membalasnya.
71. Rasa cemburu.
Maksudnya, seorang suami harus memiliki rasa cemburu terhadap istrinya, jangan menjadi mucikari (germo, Jawa) dengan membiarkan istrinya bergaul dengan lelaki lain di tempat-tempat sepi. Surga haram dimasuki oleh mucikari. Orang yang memiliki rasa cemburu adalah tanda bahwa dia beriman, dan tiadanya rasa cemburu adalah tanda kemunafikan.
73. Menghindari sesuatu yang tidak berguna.
Seorang mu’min seharusnya senantiasa membicarakan hal-hal yang baik. Jika tidak bisa, lebih baik diam. Sebagaimana penjelasan sebelumnya.
74. Dermawan pada sesuatu yang diizinkan oleh syara‘.
Dalam kitab Taurat disebutkan:
وَ الْكَرِيْمُ لَا يَضَارُّ.
“Orang yang dermawan tidak akan terkena madharat (bahaya).”
Sedangkan dalam kitab Injil disebutkan:
وَ الْبَخِيْلُ يَأْكُلُ أَمْوَالَهُ الْأَعْدَاءُ.
“Harta orang yang kikir akan dinikmati oleh para musuhnya.”
Dalam kitab Zabur disebutkan:
وَ الْحَسُوْدُ لَا يَسُوْدُ.
“Orang dengki hidupnya tidak akan menjadi mulia.”
Sedang di dalam al-Qur’ān disebutkan:
وَ الَّذِيْ خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا.
“Dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.” (QS. al-A‘rāf [7]: 58).
Maksudnya, niat, harta, ataupun i‘tiqād yang kotor atau buruk tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik. Sebagian ulama berpendapat bahwa ketiga kitab tersebut (Zabur, Taurat dan Injil) diturunkan dalam bahasa ‘Arab, kemudian disesuaikan dengan bahasa kaumnya.
75. Menghormati dan memuliakan orang yang lebih tua, serta mengasihi dan menyayangi yang lebih muda.
Nabi bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا وَ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَ لَمْ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ.
“Tidaklah termasuk golonganku orang yang tidak hormat kepada orang yang lebih tua dan tidak kasih-sayang pada yang lebih muda serta tidak mengerti hak orang ‘ālim.”
Orang ‘ālim yang sudah tua atau orang yang tidak ‘ālim tapi sudah tua, keduanya harus lebih dihormati. Tanda kalau seseorang itu sudah tua adalah berubahnya warna rambut menjadi putih.
Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ يَنْظُرُ إِلَى وَجْهِ الشَّيْخِ صَبَاحًا وَ مَسَاءً وَ يَقُوْلُ: يَا عَبْدِيْ قَدْ كَبُرَ سِنُّكَ وَ رَقَّ جِلْدُكَ وَ ذَقَّ عَظْمُكَ وَ اقْتَرَبَ أَجْلُكَ وَ حَانَ قُدُوْمُكَ إِلَيَّ فَاسْتَحِ مِنِّيْ فَأَنَا اسْتَحْيِ مِنْ شَيْبَتِكَ أَنْ أُعَذِّبَكَ فِي النَّارِ.
“Sesungguhnya Allah memandang wajah orang tua setiap pagi dan petang, sembari berfirman: “Wahai hambaku, benar-benar telah tua usiamu, tipis kulitmu, remuk tulangmu, telah dekat ajalmu, dan engkau hampir sampai pada-Ku, maka malulah pada-Ku, Aku juga malu dengan rambut putihmu jika Aku menyiksamu di neraka.”
76. Ishlāḥ-ul-fasād, artinya mendamaikan orang-orang muslim yang bertikai.
Nabi bersabda:
لَيْسَ بِكَذَّابٍ مَنْ أَصْلَحَ بَيْنَ الْإِثْنَيْنِ.
“Tidaklah dinamakan pembohong, seseorang yang mendamaikan dua orang yang bertikai.”
Sedekah yang paling utama adalah mendamaikan dua orang yang bertikai.
77. Menyayangi orang lain seperti menyayangi diri sendiri.
Nabi bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
“Tidak sempurnalah iman seseorang hingga ia menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri.” (HR. Bukhārī).
Jika engkau menyukai suatu barang, maka engkau juga suka untuk memberikan barang tersebut kepada saudaramu, begitupun jika engkau tidak menyukai sesuatu, engkau pun tidak ingin itu ada pada saudaramu. Jika engkau bisa melakukan hal ini, in syā’ Allāh engkau akan berbahagia di surga.
Telah selesai penjelasan tentang 77 cabang iman, penjelasan ini saya ambil dari kitab “Syu‘bat-ul-Īmān”. Seorang mu’min wajib mengetahui cabang-cabang iman ini, agar keimanannya sempurna. Wallāhu a‘lamu bish-shawāb.