51. Berlaku adil dalam menetapkan hukum.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ.
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (QS. al-Mā’idah [5]: 45).
Disebut sebagai orang-orang kafir (QS. al-Mā’idah [5]: 44) dan orang-orang yang fasik (QS. al-Mā’idah [5]: 47).
Barang siapa yang tidak adil dalam menetapkan hukum, maka orang tersebut benar-benar akan mendapat murka dari Allah s.w.t.
52. Perintah untuk melakukan kebaikan dan larangan melakukan kejelekan.
53. Hidup rukun dalam melakukan amal kebaikan.
Maksudnya saling tolong menolong dalam melakukan amal kebaikan dan ketaqwaan.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى وَ لَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ.
“Dan tolong-menolonglah engkau dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Mā’idah [5]: 2).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang berjalan untuk menolong atau memberi manfaat pada saudaranya sesama muslim, maka baginya pahala orang yang berperang di jalan Allah.”
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda: “Barang siapa yang menghilangkan kesusahan orang lain, maka Allah mencatat baginya 70 kebaikan, kebaikan tersebut akan membuatnya bahagia di dunia dan akhirat, juga mengangkat derajatnya di akhirat kelak,” riwayat lain mengatakan: “Allah akan menghilangkan kesusahannya di hari Kiamat saat berada di padang mahsyar.”
54. Malu kepada Allah s.w.t.
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيْمَانِ.
“Sifat malu merupakan sebagian dari iman.”
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
“Malulah kalian kepada Allah dengan sungguh-sungguh malu.” Sebagian sahabat bertanya: “Saya juga malu kepada Allah.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Orang yang benar-benar malu kepada Allah akan menjaga kepala, perut, farji, kedua kaki dan tangannya, dan senantiasa mengingat kematian, juga mengingat bahwa dia akan membusuk di dalam kubur. Barang siapa yang menghendaki akhirat, maka tinggalkanlah gemerlap kehidupan dunia, utamakan akhirat dibanding dunia. Orang yang melakukan hal-hal tersebut, dia benar-benar malu kepada Allah s.w.t.”
Dalam Hadits Qudsi disebutkan:
“Wahai anak Ādam, malulah engkau kepada-Ku saat kalian melakukan maksiat, maka kelak di hari Kiamat Aku akan memberimu rahmat.”
54. Al-Iḥsānu ilal-Abawain, artinya berbuat baik kepada kedua orang tua.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ اعْبُدُوا اللهَ وَ لَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.
“Sembahlah Allah dan janganlah engkau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (QS. an-Nisā’ [4]: 36).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua lebih utama dibandingkan dengan shalat, sedekah, puasa di bulan Ramadhān, haji dan ‘umrah, dan jihād fī sabīlillāh.”
Saat memberikan sedekah atau melakukan amal kebaikan, seyogyanya meniatkan pahala dari amal tersebut untuk kedua orang tuanya, hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala untuk dirinya sendiri.
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
مَنْ حَجَّ عَنْ وَالِدِهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ كَتَبَ اللهُ لِوَالِدِهِ حِجَّةً وَ كَتَبَ لَهُ بَرَاءَةً مِنَ النَّارِ.
“Barang siapa yang menghajikan orang tuanya yang telah wafat, maka Allah menetapkan haji bagi orang tuanya dan menetapkan baginya bebas dari siksa api neraka.”
Salah seorang sahabat bertanya kepada Sayyidinā ‘Umar r.a.: “Aku memiliki ibu yang sudah tua renta, aku rawat, aku mencebokinya, aku gendong, semua kebutuhan dan keinginannya aku penuhi. Apakah aku telah melaksanakan kewajibanku?” Sayyidinā ‘Umar r.a. menjawab: “Belum, engkau belum memenuhi hak ibumu, karena saat merawatmu dulu, ibumu selalu berdoa dan berharap agar engkau panjang umur, sedangkan saat merawat ibumu, engkau berharap agar beliau segera wafat.”
56. Silaturraḥīm, artinya menyambung tali persaudaraan.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang berharap panjangnya umur dan lapangnya rezeki, tingkatkanlah ketaqwaan kepada Allah dan sambunglah tali persaudaraan.”
Bentuk dari menyambung tali persaudaraan ini bisa dengan mengunjungi, mengirim surat, atau mengirim sesuatu kepada saudara.
57. Budi pekerti yang baik.
Tanda budi pekerti yang baik adalah memiliki sifat malu, tidak suka menyusahkan orang lain, banyak melakukan amal kebaikan, berkata jujur, tidak banyak bermain-main, berbakti kepada kedua orang tua, sabar, sopan santun, bersyukur, ridha, lemah-lembut, baik hati, tidak suka mengadu domba, tidak suka menggunjing orang lain, tidak hasud, tidak sū’-uzh-zhann (berprasangka buruk), tidak mudah marah, wajahnya berseri-seri, mencintai dan membenci apapun hanya karena Allah, ridha dan membenci apapun karena Allah.
58. Berbuat baik kepada budak miliknya, memaafkan kesalahannya, mengajarinya hal-hal yang wajib dalam agama, dan memeliharanya dengan baik.
59. Seorang budak harus menaati tuannya selama tidak melanggar syariat.
60. Menjaga hak-hak hubungan suami istri dan hak anak.
Seorang lelaki harus menafkahi istrinya secara layak, dan menafkahi anak-anaknya sebagaimana penjelasan dalam kitab-kitab fiqih. Seorang ayah juga berkewajiban mengajari anaknya pengetahuan agama dan akhlak pergaulan dengan sesama manusia.
61. Cinta pada ahli agama, dekat dengan orang-orang saleh, mengucapkan salam saat bertemu, dan melakukan hal-hal yang bisa membahagiakan orang-orang ‘ālim.
Mencintai orang yang mencintai Allah hukumnya wajib, seperti mencintai para sahabat Muhājirīn dan Anshār, orang-orang saleh, ulama Mujtahid (471), dan para ulama yang mengajarkan agama Islam. Membenci sahabat Muhājirīn dan Anshār merupakan tanda kemunafikan. Barang siapa yang membenci para kekasih Allah, sama saja dengan membenci Allah dan Rasūl-Nya.
62. Menjawab salam dari seorang muslim.
Menjawab salam hukumnya wajib, sedangkan mengucapkan salam hukumnya sunnah.
63. Menjenguk orang sakit.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِذَا عَادَ الرَّجُلُ الْمَرِيْضَ خَاضَ فِي الرَّحْمَةِ فَإِذَا قَعَدَ عِنْدَهُ قَرَّتْ فِيْهِ.
“Ketika seorang lelaki menjenguk orang sakit, maka dia masuk dalam rahmat Allah, dan ketika dia duduk disamping orang yang sakit, maka rahmat Allah menetap di situ.”
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda: “Kesempurnaan orang yang menjenguk orang yang sakit adalah dengan meletakkan tangan pada dahi atau tangan orang yang sakit seraya bertanya: “Apa penyakitmu?””
24. Menshalati mayyit muslim.
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيْرٍ بِرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَ إِنْ هُوَ عَمِلَ الْكَبَائِرَ، وَ الصَّلَاةُ وَاجِبَةٌ عَلَيْكُمْ خَلْفَ كُلِّ مُسْلِمٍ بِرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَ إِنْ هُوَ عَمِلَ الْكَبَائِرَ، وَ الصَّلَاةُ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ بِرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَ إِنْ هُوَ عَمِلَ الْكَبَائِرَ.
“Jihad bersama pemimpin wajib bagi kamu sekalian, baik pemimpin itu orang yang saleh maupun pendosa, atau juga ia pelaku dosa besar. Shalat di belakang seorang muslim wajib bagi kamu sekalian, baik muslim itu orang yang saleh maupun seorang yang pendosa, atau juga pelaku dosa besar. Menshalati mayyit yang muslim juga wajib bagi kalian semua, baik mayyit itu orang yang saleh maupun seorang yang pendosa, atau juga pelaku dosa besar.”
65. Tasymīt-ul-‘Āthis, artinya menjawab atau mendoakan orang bersin yang mengucapkan “alḥamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn” saat bersin.
Orang yang mendengar menjawab dengan:
رَحِمَكَ اللهُ أَوْ يَرْحَمُكُمُ اللهُ
Maksudnya adalah mendoakan orang yang bersin. Setelah itu orang yang bersin hendaknya mengucapkan:
يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَ يُصْلِحُ بَالَكُمْ.
66. Menjauhi semua hal yang bisa merusak agama, seperti kufur, bid‘ah, dan berkumpul dengan orang-orang yang melakukan dosa besar.
Seorang muslim wajib pindah dari perkampungan, desa, atau bahkan negaranya jika dia tidak bisa menjalankan agamanya dengan baik di situ, karena baik atau buruknya watak seseorang terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya.
Catatan: