36. Menyampaikan amanah kepada yang berhak.
Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا.
“Sesungguhnya Allah menyuruh engkau menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. an-Nisā’ [4]: 58).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ أَوْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ فَلْيَتَزَوَّجْ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ حَيْثُ شَاءَ: رَجُلٌ اِئْتَمَنَ عَلَى أَمَانَةٍ فَأَدَّاهَا مَخَافَةَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ، وَ رَجُلٌ خَلَى عَنْ قَاتِلِهِ، وَ رَجُلٌ قَرَأَ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ) إِحْدَى عَشَرَةَ مَرَّةً.
“Ada tiga hal yang bila ketiganya atau salah satunya ada pada diri seseorang, orang tersebut dipersilahkan mengawini bidadari manapun yang dia inginkan. Tiga hal tersebut adalah:
1. Seorang lelaki yang diamanati sesuatu dan menunaikannya karena takut pada siksa Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung
2. Seorang lelaki yang menyerahkan dirinya kepada orang yang akan membunuhnya, (seperti Qābīl dan Hābīl. Ada pula yang mengartikan “memaafkan orang yang membunuhnya sebelum pembunuhan itu terjadi”)
3. Seorang lelaki yang membaca surah al-Ikhlash sebanyak 11 kali setiap selesai shalat fardhu.” (HR. Ibnu ‘Asākir).
37. Tidak membunuh orang muslim.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Di antara dosa besar yang paling berat di sisi Allah adalah membunuh manusia, barang siapa yang bunuh diri dengan menggunakan pisau, maka kelak di jurang neraka Jahannam malaikat akan menusuk-nusuk orang tersebut.”
38. Menjaga diri dari mengonsumsi makanan dan minuman yang haram.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُدِيَ بِحَرَامٍ.
“Tidak akan masuk surga, tubuh yang diberi makan dengan makanan yang haram.” (HR. Abū Ya‘lā).
39. Menjaga diri dari uang haram.
Karenanya seorang muslim wajib bekerja mencari nafkah yang halal. Sebagian ulama ‘Ārifīn (46) berkata: “Orang yang tidak bekerja mencari nafkah ada tiga macam: karena malas, karena taqwā (palsu), dan karena malu.”
1. Orang yang tidak bekerja karena malas, dia akan jadi peminta-minta (pegemis).
2. Orang yang tidak bekerja karena taqwā (palsu), pada akhirnya dia akan tamak atas apa yang dimiliki orang lain, dia akan makan dengan cara menjual agamanya, dan ini jelas diharamkan.
3. Orang yang tidak bekerja karena malu, pada akhirnya dia akan menjadi pencuri.
Orang yang mau bekerja mencari nafkah untuk menjaga agar dirinya tidak meminta-minta pada orang lain kelak di hari kiamat wajahnya akan bersinar laksana bulan purnama.
40. Menjaga diri dari memakai pakaian atau eksesoris yang diharamkan.
Seperti memakai emas dan sutera bagi orang laki-laki. Penjelasan masalah ini telah disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.
41. Menjauhi permainan yang dilarang oleh syariat Islam.
Seperti taruhan, bermain terompet, dan alat-alat permainan lainnya.
42. Sedang-sedang saja dalam memberi nafkah, tidak terlalu longgar (mewah) dan tidak terlalu sempit (kikir).
43. Menahan diri dari sifat iri dan dengki.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
الْمُؤْمِنُ لَيْسَ بِحُقُوْدٍ.
“Orang mu’min itu tidak saling iri.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يُحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ.
“Kadar kejelekan seseorang sesuai dengan penghinaannya pada saudaranya sesama muslim, seorang muslim pada muslim yang lain itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Hadits tersebut menunjukkan kewajiban seorang muslim untuk membicarakan kebaikan saudaranya sesama muslim. Barang siapa yang tidak mau membicarakan kejelekan saudaranya sesama muslim, kelak Allah akan mengutus malaikat untuk menghindarkannya dari keburukan siksa neraka Jahannam.
45. Ikhlash dalam beramal, hanya karena Allah.
Imām al-Ghazālī berkata: “Arti ikhlash adalah melakukan amal ibadah dengan tujuan hanya mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., sampai-sampai jika tidur pun juga bertujuan agar kuat dalam melaksanakan ibadah shalat malam, dengan begitu tidurnya juga terhitung sebagai ibadah dan mendapat derajat orang-orang yang ikhlash.”
46. Merasa bahagia bisa melakukan ketaatan, bersedih jika ada ibadah yang terlewatkan, dan menyesal jika melakukan maksiat.
Kegembiraan karena mampu melakukan ketaatan harus disertai dengan pemahaman bahwa bisa melakukan ketaatan tersebut adalah karena anugerah dan pertolongan dari Allah, bukan dari kekuatan dirinya sendiri.
47. Taubat.
Allah s.w.t. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasūḥan (taubat yang semurni-murninya.” (QS. at-Taḥrīm [66]: 8).
Makna taubat nasuha adalah taubat yang hanya karena Allah tidak tebersit niat untuk kembali melakukan maksiat. Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya seperti orang yang tidak pernah melakukan dosa.
48. Berkurban dan ‘Aqīqah.
Keterangan lengkapnya telah dijelaskan di kitab-kitab fiqih.
49. Taat pada pemerintah dan menjalankan aturan yang ada selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Allah s.w.t. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasūl (Nya), dan ulil-amri (orang yang memegang hukum Allah dan Rasūlnya) di antara engkau.” (QS. an-Nisā’ [4]: 59).
Yang dimaksud dengan Ulil-amri dalam ayat ini adalah ulama akhirat dan pemerintah.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِيْ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ، وَ مَنْ عَصَا أَمِيْرِيْ فَقَدْ عَصَانِيْ.
“Barang siapa yang taat kepada amīr (orang yang aku angkat sebagai pemimpin), maka dia taat kepadaku, dan barang siapa membangkang kepada amīr, maka dia membangkang kepadaku.”
50. Berpegang teguh pada ajaran Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.
Jangan keluar dari apa yang telah disepakati oleh para ulama.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ اعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَ لَا تَفَرَّقُوْا.
“Dan berpeganglah engkau semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah engkau bercerai-berai.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 103).
Jangan sekali-kali membuat hal-hal baru dalam agama.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَ التَّارِكُ لِدِيْنِهِ.
“Darah seorang muslim tidak halal kecuali karena melakukan salah satu dari tiga perkara:
1. Orang yang sudah pernah menikah secara halal kemudian melakukan zina (maka dia dihukum rajam)
2. Orang yang membunuh orang muslim lainnya (maka dia akan diqishāsh).
3. Orang yang keluar dari agama Islam (maka dia akan dibunuh oleh pemerintah).”
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَقَدْ رُدَّ.
“Barang siapa yang membuat model (tindakan) baru dalam perkara agamaku ini dengan sesuatu yang bukan bagian dari agamaku ini, maka ditolak (bathil dan tidak boleh diikuti).”
Seperti mengarak mushhaf al-Qur’ān, kitab Maulid Nabi, atau mengarak seseorang seperti saat mengarak Rasūlullāh s.a.w., maka hal itu bāthil, bukan ajaran agama Islam, karena itu mirip perilaku agama orang-orang Cina. Berbeda jika itu dilakukan di Makkah atau Madīnah, maka tidak berbahaya, karena tidak ada unsur keserupaan dengan orang-orang kafir.
Barang siapa yang melakukan suatu keburukan kemudian diikuti oleh orang banyak, maka orang tersebut berdosa dan akan mendapatkan siksaan yang sama dengan orang yang mengikuti dan melakukan keburukan tersebut, terus-menerus sampai tiba hari Kiamat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’ān:
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيْبٌ مِنْهَا وَ مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا.
“Barang siapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) daripadanya. Dan barang siapa memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) daripadanya.” (QS. an-Nisā’ [4]: 85).