21. Melaksanakan shalat lima waktu pada waktunya dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
عَلَامَةُ الْإِيْمَانِ الصَّلَاةُ.
“Tanda dari keimanan adalah melakukan shalat lima waktu.”
Salah satu sahabat pernah bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, apa tanda-tanda orang mu’min dan orang munafik?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Orang mu’min selalu berpikir tentang shalat, puasa, dan ibadah, sedangkan orang munafik selalu berpikir tentang masalah makan dan minum seperti kerbau dan sapi.”
22. Menyerahkan zakat kepada orang yang berhak, yaitu delapan golongan orang yang berhak menerima zakat.
23. Melakukan puasa pada bulan Ramadhān sesuai syarat dan rukunnya.
24. I‘tikāf di masjid sesuai syarat dan rukunnya.
25. Menunaikan ibadah haji dan ‘umrah dengan bekal ilmu zhāhir dan bāthin yang mumpuni. Orang awam yang belum mengerti maksud dari ibadah haji dan ‘umrah belum bisa dianggap cukup ibadahnya.
26. Memerangi hawa nafsu dan godaan syaithan.
Maksudnya melawan kehendak hawa nafsu dan bujuk rayu syaithan. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
رَأْسُ الْإِيْمَانِ الْإِسْلَامُ وَ عَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ وَ ذَرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ.
“Pokok dari iman adalah Islam (mengucapkan dua kalimat syahadah), tiangnya adalah melakukan shalat lima waktu, dan puncak kemuliaannya adalah melakukan jihad.”
Pohon dan pokok agama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat disertai idz‘ān (mengakui dan menerima syariat Islam), tidak sah amal tanpa adanya keislaman. Tiangnya adalah melakukan shalat lima waktu, dan puncak keluhurannya adalah dengan melakukan jihad, yakni memerangi hawa nafsu. Tidak akan mulia seorang muslim yang tidak melakukan shalat lima waktu, dan tidak akan mencapai kemuliaan jika tidak memerangi hawa nafsunya.
27. Murābathah, maksudnya bertempat di tempat antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir dengan tujuan menjaga agar orang-orang muslim tidak diganggu oleh orang-orang kafir. Penisbatan murābathah pada jihad seperti halnya menisbatkan i‘tikāf pada shalat. Makna murābathah di ayat tersebut adalah hendaknya engkau senantiasa memerangi kehendak hawa nafsumu, dalam bab ini pun maka murābathah juga memerangi hawa nafsu.
28. Ats-Tsabātu fī muḥārabat-il-a‘dā’, artinya tetap istiqāmah dalam memerangi musuh-musuh Allah.
29. Menyerahkan seperlima harta ghanīmah (harta rampasan perang) kepada penguasa, sebagaimana ketentuan yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.
30. Memerdekakan budak laki-laki mu’min yang tidak memiliki cacat pada anggota tubuhnya, atau budak perempuan mu’minah.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُسْلِمَةً سَلِيْمَةً أَعْتَقَ اللهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Barang siapa yang memerdekakan budak perempuan muslimah yang tidak memiliki cacat pada anggota tubuhnya, niscaya Allah akan memerdekakan setiap anggota tubuh orang yang memerdekakan dari api neraka sebab memerdekakan anggota tubuh budak tersebut, hingga memerdekakan kemaluan dari api neraka karena memerdekakan kemaluannya.” (HR. Muslim).
Maksudnya, semua bentuk maksiat dari anggota tubuh orang yang memerdekakan akan diampuni oleh Allah dan akan dimerdekakan atau dibebaskan dari siksa api neraka karena memerdekakan budak laki-laki atau perempuan.
31. Membayar kaffarat.
Kewajiban membayar kaffarat disebabkan oleh 4 hal: kaffarat sebab zhihār (45), kaffarat sebab membunuh orang mu’min, kaffarat sebab bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhān, dan kaffarat sebab melanggar sumpah.
32. Menepati janji.
Allah s.w.t. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian) itu.” (QS. al-Mā’idah [5]: 1).
33. Mensyukuri segala nikmat dari Allah s.w.t.:
Allah s.w.t. berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ.
“Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah engkau mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. al-Baqarah [2]: 152).
Syukur adalah merasa dan mengakui dalam hati bahwa nikmat-nikmat yang ada merupakan pemberian dari Allah, kemudian menggunakan nikmat tersebut untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Adapula yang berpendapat bawha syukur adalah memandang Allah sebagai pemberi nikmat, tanpa melihat nikmat yang diberikan, maksudnya merasa bahagia karena Dzāt yang memberi nikmat bukan karena nikmat.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
أَرْبَعُ خَصَالٍ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَمُلَ إِسْلَامُهُ وَ لَوْ كَانَ مِنْ قَرْنِهِ إِلَى قَدَمِهِ خَطَايَا: الصِّدْقُ وَ الشُّكْرُ وَ الْحَيَاءُ وَ حُسْنُ الْخُلُقِ.
“Ada empat perkara bila di dalam diri seseorang terdapat empat perkara tersebut maka keislamannya telah sempurna sekalipun ada kesalahan dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Empat perkara tersebut adalah: Berlaku jujur (antara dia dengan Tuhannya, dan antara dia dengan makhluk lain), bersyukur kepada Allah, malu kepada Allah, dan budi pekerti yang baik.”
Nikmat terbesar adalah nikmat Islam dan Iman, orang yang tidak mau mensyukuri keduanya, dikhawatirkan akan dicabut keislaman dan keimanannya saat tiba ajalnya.
34. Menjaga lisan dari mengatakan sesuatu yang dilarang oleh syariat Islam.
Di antara tanda baiknya keimanan seseorang adalah meninggalkan melakukan sesuatu yang tidak memberi manfaat, baik di dunia maupun akhirat. Maka, jangan sekali-kali membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat di dunia dan akhirat, jika tidak bisa maka lebih baik diam saja.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتُ.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka berbicaralah yang baik atau lebih baik diam.”
35. Menjaga farji dari hal-hal yang dilarang oleh Allah s.w.t.
Hal-hal yang dilarang di antaranya adalah zina, wathi di dubur (sodomi), musāḥaqah (lesbian, sesama wanita menggesek-gesekkan vagina), mafākhadzah (Homoseksual, berhubungan badan sesama lelaki dengan menjepitkan penis di antara dua paha).
Allah s.w.t. berfirman:
وَ لَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَ سَاءَ سَبِيْلًا.
“Dan janganlah engkau mendekati zina; sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isrā’ [17]: 32).
Perbuatan zina dapat mempermalukan empat orang sekaligus, yaitu, ayah, ibu, istri dan anak. Jika perbuatan zina sampai membuahkan anak sang anak akan sangat malu karena tidak memiliki ayah, anak hasil zina tidak akan masuk surga, begitu pula keturunannya.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَدُ الزِّنَا وَ لَا وَلَدُهُ وَ لَا وَلَدُ وَلَدِهِ.
“Tidak akan masuk surga, anak zina, anaknya, juga anak dari anaknya.”
Hadits ini disebutkan dalam kitab Ḥāsyiyah Jamal ketika menjelaskan tafsir dari surah Nūn.