1-11 77 Cabang Iman (16-20) – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 77 Cabang Iman | Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

16. Totalitas dalam beragama.

Maksudnya seorang mu’min harus totalitas pada Islam, rela kehilangan nyawa dan harta daripada harus menanggalkan keimanan atau melakukan larangan agama.

Seandainya seorang yang zalim berkata kepada seorang mu’min: “Jika engkau tidak mau meninggalkan agamamu, maka engkau akan ku binasakan” atau “engkau akan aku pecat dari jabatanmu”, seorang mu’min arus menolak, lebih baik kehilangan nyawa atau jabatan daripada menanggalkan keimanan.

Begitu pula orang yang dipaksa untuk melakukan dosa besar, jika tidak mau maka akan dipecat dari jabatannya, maka seorang mu’min wajib menolak. Jika mau menanggalkan keimanan agar tidak dipecat dari jabatannya, maka itu pertanda bahwa orang tersebut tidak beriman. Kepala pemerintahan wajib memecat orang tersebut dari jabatannya karena telah menanggalkan keimanannya, sedangkan syarat orang yang memegang kekuasaan harus memiliki keimanan yang kokoh, karena dia memiliki tugas mengatur hajat hidup orang banyak. Pahamilah masalah ini!

17. Mencari ilmu yang bermanfaat dari guru yang sempurna, karena ilmu tanpa guru tidak bisa dinamakan ilmu. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa belajar satu bab ilmu yang bisa bermanfaat di dunia dan akhirat itu lebih baik baginya dibandingkan dengan diberi umur tujuh ribu tahun yang diisi dengan puasa saat siang dan shalat saat malam.

Wajib bagimu untuk pergi menuntut ilmu, walaupun terhalang lautan api sekalipun, engkau harus tetap berangkat menuntut ilmu. Wajib niat mencari ilmu dengan ikhlas, jangan mencari ilmu sebagai sarana untuk mencari uang atau agar dekat dengan pemerintah, hal itu berhukum haram, jika belum taubat dan mati, maka mati sebagai orang munafik. Niatkan mencari ilmu untuk melaksanakan perintah Allah dan menghidupkan agama. Jangan berguru kepada guru yang tidak ikhlas dalam mengajar, juga kepada guru yang tidak memiliki guru, ilmunya tidak bermanfaat. Ilmu yang tanpa guru yang mu‘tabar tidak bisa disebut ilmu.

18. Belajar dan mengajarkan ilmu syara‘.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Orang yang telah mendengar apa yang aku sampaikan wajib menyampaikan apa yang didengarnya pada orang yang tidak mendengar (demikian seterusnya sampai kiamat)

Setiap orang yang mengetahui suatu ilmu, misalnya tentang fardhu wudhū’, maka dia sudah termasuk ahli ilmu yang punya kewajiban mengajari orang-orang yang belum mengerti tentang fardhu wudhū’. Jika dia tidak mau mengajarkan ilmunya, dia menanggung dosa orang-orang yang tidak mengerti. Setiap perkampungan atau masjid harus ada orang yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, begitu juga di setiap desa.

Hal pertama yang harus diajarkan adalah hal-hal yang berhukum fardhu ‘ain, tidak diperbolehkan mengajarkan hal-hal yang berhukum fardhu kifāyah sebelum selesai mengajarkan hal-hal yang berhukum fardhu ‘ain. Oleh karena itu, wajib terlebih dahulu mengajarkan ‘aqā’id khamsīn (50 akidah) kemudian bāb thahārah (bersuci), bab hadats dan najis, bab shalat dan hal-hal yang akan dilakukan, kemudian ilmu tentang hati manusia, meliputi sifat-sifat terpuji dan tercela. Tidak diperbolehkan mengajari anak kecil ilmu nahwu dan ilmu sharaf sebelum dia mengerti 50 akidah, tatacara berwudhū’ dan shalat.

Ajarilah orang awam sesuai dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka, baik bahasa Melayu atau bahasa Jawa. Pilihlah yang paling bisa mereka pahami, karena tujuan dari pembelajaran adalah agar bisa dimengerti, bukan menyampaikan lafazh saja. Jangan sampai orang awam yang sudah tua renta engkau ajari kitab yang berbahasa ‘Arab, tidak akan berhasil.

Orang yang menjadi guru tidak boleh sombong, tidak mau mengajarkan kitab terjemahan (bahasa ‘ajam/selain bahasa ‘Arab) karena khawatir dianggap bodoh, merasa senang jika orang lain terlihat bodoh dan dia terlihat ‘ālim, orang yang punya pemikiran seperti ini adalah orang gila. Syaikh ‘Allāmah Ismā‘īl Minangkabau berdomisili di Makkah Mukarramah, beliau mengajar kitab Sabīl-ul-Muhtadī yang diterjemahkan ke bahasa Melayu oleh Syaikh al-‘Allāmah Irsyād Banjar, kitab Syu‘bat-ul-Īmān asalnya berbahasa Persia saat masih dicetak di Persia, kemudian disalin ke bahasa ‘Arab dan dicetak di negara ‘Arab.

Seorang guru tidak boleh suka menjadi pandai sendiri sedangkan orang-orang di sekitarnya tetap bodoh, juga tidak boleh menyesatkan pemahaman orang-orang awam dengan berkata: “Jangan belajar kitab-kitab berbahasa Jawa atau Melayu, karena akan membuatmu semakin bodoh, bahasa Jawa itu bukan ilmu, karena yang namanya ilmu harus berbahasa ‘Arab”. Kemudian orang-orang awam percaya dan tidak mau mempelajari kitab-kitab berbahasa Jawa, mereka pun tetap bodoh, tidak mengerti tentang agama, karena sulitnya mempelajari bahasa ‘Arab. Jika sudah seperti ini, yang menanggung dosa mereka adalah orang yang menasihati, dia termasuk dalam doa para khathīb:

اللهُمَّ اخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ.

Ya Allah, hinakanlah orang yang menghinakan orang-orang muslim.”

Berhukum fardhu kifāyah bagi orang ‘ālim untuk keluar ke perkampungan atau desa di negaranya guna mengajarkan ilmu-ilmu agama dan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam, membawa ongkos sendiri, jangan meminta makanan kepada orang-orang yang diajar, dan jangan mengharap apapun dari mereka. Jika sudah ada satu saja orang ‘ālim yang melakukan hal tersebut, gugurlah kewajiban dari semua, tetapi jika tidak ada yang melakukannya semua orang di daerah tersebut berdosa, baik orang ‘ālim maupun awam. Orang ‘ālim berdosa karena tidak mau mengajarkan ilmu, orang awam berdosa karena tidak mau belajar. Ini menurut pendapat Imām as-Suḥaimī mengikuti pendapat Imām al-Ghazālī.

Di masa sekarang tidak ada lagi orang ‘ālim yang masuk perkampungan dan desa-desa untuk mengajarkan ilmu agama karena takut pada fitnah zaman, maka wajib bagi orang ‘ālim untuk mengarang kitab yang menjelaskan tentang ajaran agama Islam, meliputi akidah, cabang-cabang syariat, bab bersuci, shalat, dengan bahasa yang bisa dipahami, yaitu bahasa Jawa atau bahasa Melayu.

Orang ‘ālim wajib mengajarkan syariat Islam dengan caranya masing-masing, dan jangan sampai menyesatkan orang-orang awam, karena hal itu bisa menjadikannya makhdzūl (dihinakan oleh Allah). Alangkah bahagianya Nabi jika melihat masa sekarang, di mana banyak umatnya yang ‘ālim mau menyebarluaskan agama Islam dan mengajar orang-orang awam. Jangan mempersulit orang-orang awam dalam mempelajari agama, buatlah mudah, agar hati mereka senang menerima ajaran agama Islam.

19. Memuliakan al-Qur’ān dengan cara membaca dan menyentuh al-Qur’ān dalam keadaan suci, memakai pakaian suci, dan di tempat yang suci.

20. Bersuci dari hadats dengan cara berwudhū’, mandi besar dan menyucikan najis dari badan:

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

الطَّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ.

Suci adalah sebagian dari iman.”

Syaikh Ḥātim berkata pada ‘Āshim bin Yūsuf: “Ketika telah masuk waktu shalat, maka berwudhū’lah dengan dua macam wudhū’, yaitu wudhū’ zhāhir dan wudhū’ bāthin”. ‘Āshim bertanya: “Bagaiman maksudnya, wahsi Syaikh?” Syaikh Ḥātim menjawab: “wudhū’ zhāhir, engkau sudah mengetahuinya. Adapun wudhū’ bāthin adalah bertaubat dari semua bentuk maksiat, merasa menyesal dan sedih, meninggalkan perbuatan menipu, ragu-ragu, sombong, mencintai dunia, senang dipuji manusia, dan meninggalkan kekuasaan. Barang siapa yang senantiasa berwudhū’ maka akan selamat dari bencana, lapang rezekinya, dan tidak akan fakir selamanya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *