1-10 Keharusan Mengucapkan Syahadat – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Keharusan Mengucapkan Syahadat.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang perbedaan pendapat para ulama dalam hal pengucapan dua kalimat syahadat. Beliau berkata:

فَقِيْلَ شَرْطٌ كَالْعَمَلْ وَ قِيْلَ بَلْ شَطْرٌ وَ الْإِسْلَامَ اشْرَحَنَّ بِالْعَمَلْ
مِثَالُ هذَا الْحَجُّ وَ الصَّلَاةُ كذَا الصِّيَامُ فَادْرِ وَ الزَّكَاةُ.

Satu pendapat mengatakan sebagai syarat seperti halnya amal perbuatan, sedangkan pendapat lainnya mengatakan tidak seperti itu melainkan sebagai sebagian dari iman. Dan buktikan Islam dengan perbuatan (amal).”

“Maka ketahuilah! Contoh amalan tersebut adalah haji, shalat, begitu juga puasa dan zakat.

Menurut Imām Asy‘arī dan Imām al-Māturidī, mengucapkan dua kalimat syahadat ketika hendak masuk Islam menjadi syarat seseorang menjadi mu’min di dunia, seperti halnya melakukan amal saleh sebagai syarat kesempurnaan iman. Sedangkan Imām Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa mengucapkan dua kalimat syahabat bukan merupakan syarat dari iman, tapi merupakan bagian dari iman.

Jelaskanlah bahwa Islam adalah perbuatan anggota tubuh, seperti melakukan ibadah haji, shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhān, dan membayar berbagai macam zakat. Wahai mukallaf, ketahuilah rukun Islam ini!

 

Penjelasan:

Dua bait ini menjelaskan bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat bagi orang kafir yang baru masuk Islam merupakan syarat berlakunya hukum-hukum Islam di dunia, seperti bolehnya menikahi orang Islam, berkewajiban shalat, dan semua hak dan kewajiban orang muslim. Ini merupakan pendapat madzhab Asy‘arī dan Madzhab Māturīdī.

Apabila seseorang telah tashdīq-ul-qalbi (membenarkan dengan hati) dan idz‘ān (إِذْعَانٌ) (mengakui dan menerima syariat Islam) dengan meyakini bahwa segala yang diwajibkan oleh agama memanglah wajib, walaupun dia tidak melakukannya, dan meyakini bahwa segala yang diharamkan, dan dia tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat bukan karena menentang, tapi memang belum punya keinginan, maka dia dihukumi mu’min dalam pandangan Allah, kafir dalam pandangan manusia, pada akhirnya dia tetap bisa masuk surga setelah dihisab dan mendapat ampunan dari Allah s.w.t. Hal ini karena menurut Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, iman adalah:

تَصْدِيْقٌ بِالْجِنَانِ وَ إِقْرَارٌ بِاللِّسَانِ وَ عَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ.

Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan melakukan dengan anggota tubuh.

Maksud “membenarkan dengan hati” adalah dzātnya iman, “mengikrarkan dengan lisan” adalah syarat tercukupinya hukum, dan “melakukan dengan anggota” adalah syarat dari sempurnanya iman. Adapula yang berpendapat bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat sahnya iman, hal ini bagi orang yang mampu melafazhkannya.

Adapun jika seseorang sudah berikrar dengan lisan (mengucapkan dua kalimat syahadat) tapi hatinya tidak tashdīq (membenarkan) dan idz‘ān (mengakui dan menerima syariat Islam), maka dia adalah orang munafik, mu’min dalam pandangan manusia tapi kafir dalam pandangan Allah.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: (فَقِيْلَ شَرْطٌ كَالْعَمَلْ) dan seterusnya, maksudnya, menurut Imām Abū Ḥanīfah r.a., mengucapkan dua kalimat syahadat adalah bagian dari iman itu sendiri, karena menurut beliau iman adalah “membenarkan dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan (bagi orang yang bisa melafazhkan)”, gabungan dari keduanya disebut iman.

Pendapat yang mu‘tamad (bisa dibuat pegangan) adalah pendapat madzhab Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah, yakni bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat dari sahnya iman dan berlakunya hukum, sedangkan amal adalah syarat dari sempurnanya iman. Karenanya, jika ada orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak beramal, tapi dia tashdīq-ul-qalbi (membenarkan dengan hati) dan idz‘ān (mengakui dan menerima syariat Islam) maka dia mu’min dalam pandangan Allah, dan termasuk ahli surga, sebagaimana penjelasan yang telah lalu, dengan catatan dia mati ḥusn-ul-khātimah. Tetapi dalam kenyataannya, sangat jarang orang yang tidak beramal saleh bisa mati ḥusn-ul-khātimah, sebab kondisi manusia saat mati itu sesuai dengan kebiasaannya saat masih hidup dan syarat seseorang bisa mati ḥusn-ul-khātimah itu harus beramal saleh.

Islam adalah melakukan ajaran agama dengan anggota tubuh disertai idz‘ān (mengakui dan menerima syarat Islam). Jika seseorang tashdīq-ul-qalbi (membenarkan dengan hati), idz‘ān (mengakui dan menerima syariat Islam) dan melakukan ajaran Islam dengan anggota tubuh, maka ia dinamakan mu’min muslim; jika hanya tashdīq-ul-qalbi dan idz‘ān saja tanpa melaksanakan ajaran Islam, dinamakan mu’min, bukan muslim; sedangkan jika melakukan ajaran Islam tapi tidak membenarkan dengan hati dan juga tidak idz‘ān, orang tersebut muslim dalam pandangan manusia, kafir dalam pandangan Allah.

Melakukan ajaran Islam seperti menunaikan ibadah haji apabila telah mampu, melakukan shalat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhān sesuai dengan syarat dan rukunnya.

Ketahuilah bahwa iman adalah makhluk, bukan sesuatu yang qadīm (dahulu), karena iman adakalanya membenarkan dengan hati atau mengikrarkan dengan lisan, yang mana keduanya adalah makhluk. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa itu qidam karena telah ditetapkan dalam qadhā’ Allah pada zaman azali bahwa si fulan akan mendapat hidāyah berupa keimanan, maka dalam hal ini yang qadīm adalah qadhā-nya, bukan imannya. Pahamilah!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *