1-1 Ummu Hani’ – Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah s.a.w.
(Judul Asli: Nisā’u Ḥaul-ar-Rasūl s.a.w.; al-Qudwat-ul-Ḥasanati wal-Uswat-uth-Thayyibah li Nisā’-il-Usrat-il-Muslimah).
Oleh: Muhammad Ibrahim Salim.

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Zahrul Fata
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: 001 Wanita Muslimah Teladan Sebagai Ibu dan Pengasuh | Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Wanita Muslimah Teladan Sebagai Ibu dan Pengasuh

Sosok Ibu Teladan

Sifat keibuan seorang wanita muslimah bisa terekspresikan dalam berbagai bentuk dan corak, karena sifat tersebut adalah belaian kasih-sayang yang merasuk ke dalam setiap sanubari. Ia (sifat keibuan) adalah ungkapan cinta, kelembutan, pengorbanan, dan ketabahan. Sebagaimana sifat keibuan bisa tampak saat situasi damai, sifat tersebut pun bisa tampak saat perang berkecamuk. Dari situlah kita mengenal istilah Umm-ul-Mujāhidīn “Ibu Para Penjuang”. Dialah yang merawat putranya sendiri. Bahkan, ada salah satu dari mereka yang mengungkapkan kasih-sayangnya seraya berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya dahulu perutku sebagai wadah bagi putraku ini, susuku untuk minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berbaringnya.” Demikian ungkapan kasih-sayang seorang ibu lewat hadits riwayat ‘Amr bin Syu‘aib dari bapaknya, dari kakeknya, dan dikeluarkan oleh Abū Dāūd dan al-Ḥākim.

Berikut beberapa nama sahabat wanita yang tercatat sebagai ibu teladan.

1. UMMU HĀNI’

Dia adalah Fakhitah binti Abī Thālib bin ‘Abdul Muththalib. Ibunya adalah Fāthimah binti Asad bin Hāsyim, salah seorang wanita Quraisy yang mempunyai ide cemerlang dan mumpuni dalam bidang sastra.

Rasūlullāh s.a.w. datang melamarnya pada masa jahiliah pada saat bapaknya telah menjanjikannya – untuk diperistri – kepada Hubairah bin Abū Wahab. Namun, akhirnya Hubairah berhasil memenangkan persaingan tersebut dan berlangsunglah pernikahan antara keduanya.

Ketika cahaya Islam mulai bersinar, Ummu Hāni’ masuk Islam, sedang suaminya tetap dalam kekafirannya. Maka atas dasar hukum Islam, berpisahlah kedua pasangan tersebut, sedangkan keempat putra mereka yang masih kecil berada dalam asuhan ibunya (Ummu Hāni’)

Tidak lama kemudian, datanglah Rasūlullāh s.a.w. melamar Ummu Hāni’ untuk kedua kalinya. Lalu Ummu Hāni’ berkata: “Wahai Rasūlullāh, engkau adalah orang yang paling saya cintai daripada pendengaranku dan penglihatanku. Akan tetapi, bukankah hak seorang suami itu sangat besar? Saya khawatir jika saya menerima engkau sebagai suami, perhatian saya terhadap diri saya dan anak-anak saya akan terabaikan. Namun, jika saya lebih mementingkan anak-anak saya, saya khawatir tidak bisa memenuhi hak-hak Baginda Rasūl sebagai seorang suami.”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

Sebaik-baik wanita yang bisa menunggangi unta adalah wanita Quraisy: karena, dialah orang yang paling sayang kepada putranya dan – pada saat yang sama – dia juga yang paling perhatian kepada suaminya.” (HR. Bukhārī-Muslim dan Imām Aḥmad).

Riwayat di atas menunjukkan bagaimana besarnya perhatian seorang ibu kepada putra-putranya yang masih kecil. Oleh karena itulah, Ummu Hāni’ sempat bimbang ketika Rasūlullāh s.a.w. datang melamarnya. Kalau bukan karena jiwa keibuan yang tinggi, tentu dia langsung menerima lamaran tersebut. Siapa sih wanita muslimah – saat itu – yang tidak menginginkan kedudukan sebagai Umm-ul-Mu’minīn (istri Rasūl)?

Di samping sifat keibuannya, Ummu Hāni’ adalah sosok wanita yang mempunyai kepribadian yang luwes dan tegas. Dikisahkan pada suatu hari dia memberi suaka kepada dua orang saudara iparnya yang meminta perlindungan dari hukuman mati. Berikut penuturan Umma Hāni’ selengkapnya:

“Ketika Rasūlullāh s.a.w. sedang berada di pusat kota Makkah, tiba-tiba datanglah dua orang saudara iparku dari Bani Makhzūm meminta perlindungan kepadaku. Tidak lama kemudian datanglah ‘Alī bin Abī Thālib saudaraku seraya berkata: “Demi Allah, akan saya bunuh kedua orang tersebut.” Namun, saya tidak membukakan pintu untuknya, lalu saya mendatangi Rasūlullāh s.a.w. Beliau berkata: “Selamat datang Ummu Hāni’, gerangan apa yang membawamu ke sini?” Saya pun menceritakan kepadanya perihal dua orang tersebut dan ‘Alī. Setelah itu, beliau berkata: “Kami turut melindungi orang yang kamu lindungi dan kami juga mengamankan orang yang kamu amankan”.” (HR. Bukhārī).

Riwayat di atas salah satu bukti bagaimana Islam menghargai pendapat wanita, mengangkat martabatnya dengan memberikan hak-haknya yang selama masa jahiliah terabaikan begitu saja.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *