1-1 Mengenal Allah – ‘Aqa’iduna – Syaikh Makarim Syirazi

Inikah Keyakinan Kita?
Oleh: Nasir Makarim Syirazi
(Judul Asli: ‘Aqū’idunā)

Penerjemah: Toha al-Musawa
Penerbit: Penerbit al-Mu‘ammal

Diketik oleh: Zaidah Melani

Rangkaian Pos: 001 Mengenal Allah | 'Aqa'iduna - Syaikh Makarim Syirazi

BAB 1

MENGENAL ALLAH SWT

 

Keberadaan Allah yang Mahatinggi

Sesungguhnya, kita meyakini bahwa Allah SWT adalah pencipta alam semesta, sehingga terjemah kesan keagungan, ilmu, dan kekuatan-Nya dalam segenap makhluk-Nya; manusia, hewan, tumbuhan, tata surya, segenap alam dan adiluhung (‘Ālam al-Ulyā’), juga yang lain. Kita pun yakin, ketika merenungkan segenap rahasia ciptaan Tuhan, maka kita akan memahami keagungan Dzāt yang maha suci serta keluasan ilmu dan kekuatan-Nya. Ketika pengetahuan manusia semakin maju, maka terbukalah pintu baru dari ilmu dan hikmah-Nya. Sehingga beranjak telah pemikiran kita pada pengetahuan yang lebih luas dan pemandangan yang lebih agung. Pemikiran yang akan menambah kecintaan kita kepada Dzāt-Nya Yang Maha Suci, mendekatnya kita kepada-Nya dan terliputinya kita oleh cahaya keagungan (jalāl) dan keindahan (jamāl)-Nya.

Dalam al-Qur’ān, Allah SWT berfirman:

Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka Apakah kamu tidak memperhatikannya? (al-Dzāriyāt: 20-21)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah SWT sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” (Āli-‘Imrān:190-191).

 

Keindahan dan keagungan Allah SWT

Kita meyakini Dzāt Allah SWT bebas dari segala cacat dan kekurangan, bahkan Dia disifati dengan semua sifat kesempurnaan. Dia adalah kesempurnaan mutlak dan kemutlakan yang sempurna. Dengan kata lain, sesungguhnya segala kesempurnaan dan keindahan di alam ini bersumber dari Dzāt-Nya Yang Mahasuci dalam al-Qur’ān Allah berfirman:

Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, Raja Yang Mahasuci. Yang Maha Sejahtera. Yang Mengaruniakan keamanan. Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah yang Menciptakan,Yang Mengadakan, Yang Membentuk rupa, Yang Mempunyai Nama-nama Yang paling baik; bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan bumi. Dia-lah Yang Maha perkasa lagi Mahabijak. (Al-Ḥasyr: 23-24).

Sifat-sifat yang telah disebutkan dalam kedua ayat di atas menggambarkan sebagian sifat keindahan (jamāliyyah) dan keagungan (jalāliyyah) Allah SWT.

 

Dzāt Allah SWT yang Suci dan Tak Terbatas

Kita yakin, Allah SWT merupakan keberadaan yang tak terbatas dari sisi ilmu, kekuatan, dan Dia selalu hidup. Oleh karena itu, Dia tidak mungkin dibatasi oleh waktu dan tempat karena waktu dan tempat; merupakan sesuatu yang bersifat terbatas. Dia selalu hadir di setiap waktu dan tempat, karena Dia berada di atas segala waktu dan tempat.

Dalam al-Qur’ān Allah SWT berfirman:

Dan Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Mahabijak lagi Mahatahu. (Al-Zukhruf: 84)

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. ( al-Ḥadīd:4)

Ya, sesungguhnya Dia lebih dekat kepada kita dari diri kita sendiri. Maka, Dia ada di kedalaman lubuk jiwa kita, dan ada di setiap tempat, walau Dia sendiri tak dibatasi oleh tempat.

Sebagaimana, Allah SWT berfirman:

Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qāf: 16)

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ḥadīd:3)

Adapun sekaitan dengan sebagian ayat al-Qur’ān, seperti:

Yang mempunyai singgasana (‘Arsy), lagi Mahamulia. (Al-Burūj: 15)

Dan:

Dia Yang Mahakasih, Yang bersemayam diatas ‘Arsy.

Maka ayat ayat ini tidaklah berarti bahwa Allah SWT memiliki Tempat khusus. ayat-ayat tersebut sebenarnya hendak menegaskan kekuasaan Allah SWT atas segenap alam materi maupun non-materi. Sebab, apabila kita membatasi Dia dengan tempat yang bersifat khusus, maka berarti kita telah membatasi dan mengisinya dengan sifat-sifat makhluk, serta menganggapnya sebagai mana makhluk hasil ciptaan-Nya. Padahal tiada yang dapat menyerupai-Nya.

Ini sebagaimana difirmankan Allah SWT:

Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (Al-Syūrā:11)

Dalam ayat lain pun, Allah SWT berfirman:

Dan tiada seorangpun yang setara dengan Dia. (Al-Ikhlāsh: 4)

 

Penafian Materi dari Allah SWT

Kita meyakini, Allah SWT tidak mungkin dapat dilihat, karena sesuatu yang dapat dilihat secara kasat mata adalah sesuatu yang bersifat materi. Sementara, segala sesuatu yang bersifat materi dapat dipastikan memiliki tempat, warna, bentuk, dan arah. Semua ini adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk-Nya, sedangkan Allah SWT lebih agung daripada penyipatan dengan berbagai sifat makhluk-Nya. Sesungguhnya, keyakinan akan kemungkinan Allah SWT dapat dipantau oleh indra penglihatan merupakan sejenis kesyirikan.

Sebagaimana dalam ayat al-Qur’ān Allah SWT berfirman:

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Mahahalus lagi Mahatahu. (Al-An‘ām: 103)

Oleh karena itu, ketika Bani Isrā’īl mencari-cari alasan untuk tidak menerima ajaran Nabi Mūsā a.s., mereka lantas meminta kepada beliau agar dapat melihat Allah SWT, Seraya berkata:

Hai Mūsā, kami tidak akan menerima kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah:55)

Kemudian, Nabi Mūsā a.s. membawa mereka ke gunung Thūr dan menyampaikan apa yang mereka minta.

Kemudian, Allah SWT menjawab:

Tuhan berfirman, “kamu sekali-sekali akan dapat melihat-Ku, tetapi melihat lah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhan menampakan diri pada Gunung itu, dijadikanlah Gunung itu hancur luluh, dan Mūsā pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Mahasuci engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku yang orang pertama kali beriman.”(al-A‘rāf:143)

Dengan melihat peristiwa yang telah di sisir dalam ayat di atas, dapat dibuktikan bahwa Allah SWT sama sekali tidak dapat dilihat oleh mata lahir.

Kita meyakini, ketika sebagian ayat dan riwayat menjelaskan bahwa Allah SWT dapat dilihat, maka maksudnya adalah dapat dilihat dengan matahari dan penyaksian oleh mata batin (Syuhūd). Ini dikarenakan antara ayat satu dengan yang lain saling menafsirkan. (ayat-ayat al-Qur’ān saling menafsirkan antara satu dengan yang lain).

Selain itu, ketika menjawab orang yang bertanya: “wahai Amīr-ul-Mu’minīn Apakah anda melihat Tuhan anda?”

Imām ‘Alī a.s. menjawab:

“Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak dapat kulihat.”

Lantas beliau berkata lagi,

“Dia tiada dapat dilihat dengan penglihatan mata, tetapi dia dapat disaksikan oleh hati dengan hakikat keimanan.” (Nahj-ul-Balāghah, Khutbah ke-179)

Kita meyakini, ketika kita menyikapi Allah SWT dengan semua sifat makhluk; seperti keyakinan bahwa Allah SWT menempati tempat, berarah, bersifat materi, dan keyakinan bahwa Allah SWT dapat dilihat, semua itu akan dapat menjauhkan kita dari pengenalan (ma‘rifah) Allah SWT yang sebenarnya. Bahkan akan menyebabkan polusi kesyirikan. Ya, Dia diatas segala makhluk beserta berbagai sifatnya, dan tiada yang dapat menyerupai-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *