1-1 Kewajiban-kewajiban dalam Puasa – Rahasia Puasa & Zakat

Rahasia Puasa & Zakat
Mencapai Kesempurnaan Ibadah
(Percikan Iḥyā’ ‘Ulūm-id-Dīn)
Diterjemahkan dari: Asrār-ush-Shaum dan Asrār-uz-Zakāt
 
Karya: Al-Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī
Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh: Muḥammad al-Bāqir
Penerbit: Penerbit Mizan

Rangkaian Pos: Kewajiban dan Sunnah Puasa yang Bersifat Lahiriah serta Hal-hal yang Merusakkan

BAB 1

Kewajiban dan Sunnah Puasa yang Bersifat Lahiriah serta Hal-hal yang Merusakkan

Kewajiban-kewajiban dalam Puasa.

Pertama: Memperhatikan permulaan bulan Ramadhān.

Caranya, dengan melihat bulan sabit (hilal) awal Ramadhān. Jika hal itu terhalangi oleh awan, hendaknya menetapkan bulan tersebut dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya‘bān menjadi tigapuluh hari.

Adapun yang kami maksud dengan “melihat bulan” di sini, ialah “mengetahuinya”. Hal itu dapat terlaksana dengan adanya kesaksian orang yang adil (orang yang dapat dipercaya), walaupun hanya seorang. Tidak demikian halnya dengan kesaksian terbitnya bulan Syawwāl. Untuk itu, diperlukan sedikitnya dua orang saksi yang adil. Hal itu berdasarkan sikap iḥtiyāth (sikap hati-hati) berkaitan dengan ibadah.

Dan, barang siapa mendengar dari seorang adil yang dia percayai, atau yang menurut dugaan yang kuat memang dapat dipercaya, maka wajib atasnya berpuasa walaupun belum ada ketetapan dari seorang qādhī (hakim) yang resmi. Sebab, setiap orang hendaknya mengikuti dugaan kuat hatinya atau bisikan hati nuraninya sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah.

Dan, apabila hilal Ramadhān terlihat di suatu kota, tetapi tidak di tempat lain yang jaraknya kurang dari dua marḥalah, wajiblah puasa atau mereka semua. Akan tetapi, kota-kota lainnya yang berjarak lebih dari dua marḥalah, menetapkan sendiri tentang awal bulan Ramadhān atau Syawwāl.

Kedua: Niat puasa.

Setiap malam memerlukan niat khusus yang pasti sejak malam harinya (yakni, harus sudah ada niat di hari untuk berpuasa, sebelum fajar menyingsing). Maka, seandainya dia meniatkan berpuasa untuk sebulan penuh sekaligus, hal itu tidak memadai. Demikian pula jika dia meniatkannya pada siang hari (yakni, setelah fajar). Kecuali untuk puasa sunnah, dibolehkan meniatkannya pada siang hari (yakni, sebelum waktu zhuhur dan selama dia belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa).

Adapun yang dimaksud dengan “niat khusus” ialah niat untuk berpuasa di bulan Ramadhān. Maka, seandainya dia meniatkan puasa (sembarang puasa) atau puasa fardhu (tanpa menyebutkan Ramadhān), niatnya itu tidak sah. Jadi, harus meniatkannya sebagai “puasa fardhu bulan Ramadhān.”

Adapun yang kami maksud dengang “niat yang pasti” ialah bahwa puasanya itu di bulan Ramadhān secara pasti. Maka, seandainya dia – pada malam yang masih diragukan, dari Ramadhān atau bukan – meniatkan akan “puasa besok jika besok memang ternyata bulan Ramadhān”, maka niat seperti itu tidak sah, sebab tidak mengandung kepastian. Kecuali apabila niatnya seperti itu berdasarkan adanya ucapan serta kesaksian seorang adil bahwa dia telah melihat bulan, tetapi kita sendiri masih belum yakin – mengingat adanya kemungkinan kekeliruan ataupun kebohongan dari saksi tersebut. Adanya kebimbangan seperti ini, tidak mengurangi “kepastian” niatnya itu. Demikian pula jika niatnya itu berdasarkan ijtihadnya sendiri. Misalnya, seorang yang sedang berada di penjara, jika telah kuat dugaannya (berdasarkan ijtihadnya sendiri) bahwa besok adalah bulan Ramadhān, maka – walaupun masih ada keraguan dalam niatnya itu – hal itu tidak membatalkannya.

Lain halnya jika dia, diliputi keraguan pada suatu malam yang ada kemungkinan merupakan malam terakhir Sya‘bān atau malam pertama Ramadhān, maka niat yang diucapkannya dengan lisan tidak ada gunanya selama hatinya masih diliputi keraguan. Sebab, niat itu tempatnya di dalam hati, dan tidak mungkin digambarkan adanya kepastian niat, sementara keraguan masih bersemayam di dalam hati. Tentang tidak bergunanya ucapan lisan yang berlawanan dengan keyakinan hati, berlaku pula terhadap seorang yang di tengah-tengah bulan Ramadhān, misalnya, berkata: “Besok saya akan puasa, kalau besok itu termasuk Ramadhān.” Ucapannya itu tidak mengganggu niatnya, sebab hal itu hanyalah pengulangan kata-kata, sementara hatinya (tempat niatnya) tidak meragukannya. Bahkan, dia yakin seyakin-yakinnya – bahwa besok benar-benar bulan Ramadhān.

Dan, barang siapa meniatkan puasa di malam hari, kemudian dia makan sesuatu (sebelum fajar), maka niatnya itu tetap sah. Begitu pula seorang wanita yang niat puasa pada saat dia belum suci dari haidh, kemudian haidhnya itu berhenti sebelum fajar, maka puasanya itu sah adanya.

Ketiga: Menahan diri dari memasukkan sesuatu ke dalam perut, secara sengaja dan dalam keadaan ingat akan puasanya. Maka, puasanya itu menjadi batal dengan masuknya makanan dan minuman atau obat-obatan yang biasa ataupun yang dimasukkan lewat dubur atau hidung. Akan tetapi, tidak batal puasa jika melakukan pengobatan dengan cara berbekam, bercelak, memasukkan sebatang besi halus, dan sebagainya ke dalam telinga atau penis, asal tidak terlalu dalam. Tidak batal pula puasa dengan masuknya debu atau binatang kecil ke dalam perut, tanpa disengaja. Demikian pula masuknya sedikit air karena berkumur, kecuali apabila dia berkumur terlalu dalam secara berlebihan. Sebab, dalam hal ini, dia dianggap melakukan kelalaian, sehingga dapat disamakan dengan seseorang yang melakukannya dengan sengaja. Adapun yang kami maksud dengan “dalam keadaan ingat akan puasanya” dalam definisi di atas, ialah untuk membedakannya dengan orang yang lupa. Sebab, bagi orang yang makan atau minum dalam keadaan lupa akan puasanya, maka puasanya itu tetap sah dan tidak batal karenanya.

Selain itu, seorang yang dengan sengaja makan pada awal siang hari (dini hari) atau akhirnya (sore hari), kemudian terbukti dengan pasti bahwa waktu itu masih termasuk waktu puasa, maka wajib atasnya mengqadhā’ (mengganti) puasanya itu. Akan tetapi, jika terbukti bahwa keadaannya sesuai dengan dugaannya serta ijtihadnya (yakni, sebelum fajar atau sesudah maghrib) maka tidak ada qadha atas dirinya. Betapapun juga, tidak sepatutnya makan pada kedua waktu itu (yakni, pada waktu dini hari ataupun sore hari), kecuali setelah meneliti dan menyelidiki sungguh-sungguh, apakah belum masuk waktu berpuasa (di pagi hari) atau apakah telah masuk waktu berbuka (di sore hari).

Keempat, Menahan diri dari melakukan jima‘ (sanggama). Tetapi, seandainya dia melakukannya dalam keadaan lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka puasanya itu tidak batal karenanya. Demikian pula jika dia melakukannya pada malam hari atau dia iḥtilām (bermimpi hingga keluar mani), lalu masih tetap dalam keadaan junub (belum mandi dari hadats besar) sampai sesudah terbitnya fajar, maka puasanya tetap sah. Bahkan, seandainya terbit fajar, maka puasanya tetap sah. Bahkan, seandainya terbit fajar sementara dia masih dalam keadaan “bercampur” dengan istrinya, lalu dia segera menghentikannya saat itu juga, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, jika dia tidak segera menghentikannya, puasanya batal dan wajib atasnya membayar kaffārat. (Mengenai kaffārat, akan dijelaskan kemudian).

Kelima: Menahan diri dari istimnā‘, yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja, dengan atau tanpa jima‘. Melakukan hal itu, dapat membatalkan puasa.

Adapun mencium atau memeluk istri, tidak membatalkan puasa selama tidak mengeluarkan mani. Meskipun demikian, perbuatan seperti itu makruh hukumnya (yakni, sebaiknya tidak dilakukan), kecuali jika dia seorang yang sudah tua usianya atau seorang yang mampu menahan syahwatnya (sehingga, tidak khawatir akan keluarnya mani). Betapapun juga, meninggalkan perbuatan seperti itu, lebih utama.

Dan apabila dia telah merasa khawatir akan akibat ciumannya itu, tetapi tetap juga dia mencium lalu tidak berhasil menahan keluarnya mani maka puasanya batal, karena dia dianggap tidak menghormati dan tidak mengindahkan puasanya.

Keenam: Menahan diri dari muntah. Melakukannya dengan sengaja, membatalkan puasa. Akan tetapi, apabila dia muntah tanpa kemauannya sendiri, dan karena tidak dapat menahannya maka tidaklah batal puasanya. Demikian pula menelan kembali dahaknya yang belum melewati tenggorokan atau masih dalam batas dadanya, tidak membatalkan puasa. Hal ini termasuk keringanan bagi orang berpuasa, mengingat seringnya terjadi yang demikian itu pada hampir semua orang. Akan tetapi, apabila dia menelan kembali dahaknya itu setelah berada dalam mulut, puasanya itu batal.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *