1-1 Kelebihan Suatu Ibadah Atas Ibadah Yang Lainnya – Belajar Khusyuk

Rangkaian Pos: 001 Tujuan & Makna Shalat - Belajar Khusyuk

Bagian Pertama

Tujuan dan Makna Shalat

Syekh ‘Izzuddīn ibn ‘Abdussalām

Tujuan Ibadah

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

 

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad s.a.w., keluarga, dan para sahabatnya.

Tujuan setiap ibadah adalah agar dekat dengan Allah s.w.t.

Makna “dekat” di sini adalah dekat dengan kemurahan dan kebaikan Allah yang hanya dianugerahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman. Orang yang ingin dekat dengan Allah mesti melakukan hal-hal yang telah dilakukan oleh orang yang dekat dengan-Nya pula, baik dalam bentuk sikap taat, ta‘zhīm, tunduk, dan pengagungan kepada Allah s.w.t. Tanpa semua itu, mustahil seseorang dekat dengan-Nya.

“Dekat” dan “jauh” itu sendiri bersifat jasmaniah. Sebagai makhluk, dekatnya manusia dengan Allah mengandung dua pengertian. Pertama, kedekatannya dengan pengetahuan, penglihatan, dan kekuasaan-Nya. Kedua, kedekatannya dengan kemurahan (al-Jūd) dan kebaikan-Nya (iḥsān). Kedekatan yang pertama bersifat umum bagi semua makhluk, sedangkan yang kedua hanya diperuntukkan bagi mereka yang beriman.

Kedekatan yang pertama seperti tercantum di dalam firman-Nya:

مَا يَكُوْنُ مِنْ نَّجْوى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ

Tidaklah ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia (Allah) menjadi yang keempat. (al-Mujādilah [58]: 7).

Sementara, kedekatan yang kedua seperti tercantum di dalam firman-Nya:

وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ

Maka, sujud dan mendekatlah. (al-‘Alaq [96]: 19).

Pada ayat yang lain disebutkan:

عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ

Mata air yang diminum oleh golongan orang-orang yang didekatkan (muqarrabūn). (al-Muthaffifīn [83]: 28).

Dan, firman-Nya:

فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ. فَرَوْحٌ وَ رَيْحَانٌ وَ جَنَّةُ نَعِيْمٍ

Jika dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang didekatkan, berarti dia memperoleh ketenteraman dan surga yang penuh dengan kenikmatan. (al-Wāqi‘ah [56]: 88-89).

Keutamaan dan kemuliaan suatu ibadah senantiasa terkait dengan derajat dan manfaatnya. Semakin besar manfaat yang dikandungnya, semakin utama pula kedudukan ibadah itu.

Kelebihan Suatu Ibadah Atas Ibadah Yang Lainnya

Keutamaan suatu ibadah tergantung pada manfaatnya. Maka, ibadah yang paling utama adalah ibadah yang paling besar manfaatnya, yaitu makrifatullah (pengetahuan akan Allah s.w.t.) dan keimanan kepada-Nya. Keduanya merupakan syarat mutlak bagi ibadah-ibadah lainnya.

Allah s.w.t. tidak menerima ibadah dan amal orang kafir, sebab mereka makhluk yang dimurkai-Nya. Allah juga tidak memaafkan mereka. Hal ini tentu bukan indikasi sebuah kedekatan antara seorang hamba dengan Allah s.w.t., sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa (al-Mā’idah [5]: 27).

Yang dimaksud “bertakwa” di sini adalah yang menghindari kekufuran. Karena, kekufuran kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya adalah penyebab tidak diterimanya perbuatan mereka di sisi-Nya.

Ada sebagian ibadah yang manfaatnya hanya diperoleh oleh mereka yang mukallaf, seperti puasa, haji, umrah, dan i‘tikaf. Ada pula ibadah tambahan, seperti sedekah dan membayar kafarat. Semakin banyak kadar tambahan suatu ibadah, semakin besar pula keutamaannya.

Keterkaitan di Dalam Shalat.

Shalat merupakan ibadah fisik paling utama setelah makrifat dan iman. Sebab, shalat memiliki manfaat yang berkaitan secara khusus dengan pelakunya, dapat mempererat hubungang dengan Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, serta semua orang beriman.

Keterkaitan shalat dengan orang yang mendirikannya (mushalli) adalah karena di dalamnya terdapat doa-doa kemaslahatan di dunia dan akhirat. Selain itu, shalat juga dapat memuliakan pelakunya lantaran ada munajat yang ia panjatkan. Sehingga, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Orang yang shalat sekaligus bermunajat kepada Rabb-nya.” (11)

“Ketahuilah, Saudara-saudaraku, ibadah fisik paling utama adalah shalat. Shalat adalah penghubung antara seorang hamba dan Tuhannya. Karena itu, pelajarilah Maqāshid al-Shalāh yang ditulis Ibn ‘Abdussalām. Kemudian, renungi isinya, hayati baik-baik, hafalkan, dan ajarkan pada anak-anak kalian serta orang lain semampu kalian.”Ibn al-Jawzi.

Sementara, keterkaitan shalat dengan Allah s.w.t. adalah karena shalat mencakup pujian-pujian kepada-Nya. Setiap makhluk mampu melakukannya. Puji-pujian itu berupa penegasan akan kesempurnaan-Nya yang telah kita pahami, atau pengingkaran akan sifat-sifat yang tidak sempurna bagi-Nya, berdasarkan apa yang telah kita pahami juga.

Sedangkan, keterkaitan shalat dengan Rasulullah s.a.w. adalah karena shalat mengandung permohonan dan doa atas diri Rasulullah s.a.w. serta kesaksian atas kebenaran risalah yang dibawanya. Selain itu, doa itu sendiri juga mencakup shalawat (doa) atas beliau berikut keluarga dan sahabatnya.

Adapun keterkaitan shalat dengan orang-orang mukmin adalah karena shalat mencakup bacaan, seperti: “Semoga keselamatan dilimpahkan atas kami, dan atas seluruh hamba Allah yang saleh.” (22) Sungguh, ungkapan ini mempertautkan seluruh hamba Allah s.w.t. yang saleh, baik di langit maupun di bumi, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah s.a.w. kepada kita. (33).

Keutamaan Shalat

Di antara keutamaan shalat adalah gambaran shalat sebagai ibadah yang dapat mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, (44) mengangkat derajat, dan menghapus kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.

Tujuan hakiki shalat adalah upaya memperbarui perjanjian (kontrak) kita dengan Allah s.w.t. Shalat itu sendiri mencakup aktivitas hati, lisan, dan anggota tubuh sekaligus. Aktivitas ini tidak terdapat dalam ibadah-ibadah lainnya. Di dalam shalat, ada upaya-upaya yang bisa mencegah pelakunya dari perbuatan dan ucapan terlarang yang tidak terdapat dalam ibadah lainnya. Semua itu dimaksudkan agar seorang mukallaf bersikap lebih dalam menerimanya. Itulah sebabnya, waktu shalat ditetapkan secara berdekatan, agar seorang hamba tidak terlalu lama menunggu saat-saat perjanjian itu dan terus mengingat Allah s.w.t.:

وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ

Maka, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thāhā [20]: 14).

Aktivitas Hati di Dalam Shalat

Aktivitas hati yang wajib dilakukan di dalam shalat adalah niat, keikhlasan, dan keyakinan. Sementara, aktivitas hati yang sunnah dilakukan adalah; pertama, merendahkan diri, tunduk, patuh, rendah hati, dan khusyu‘ di hadapan Allah s.w.t. Kedua, menghayati setiap bacaan dan gerakan shalat.

Hak-hak di Dalam Shalat

Hak-hak di dalam shalat ada yang bersifat wajib dan sunnah. Sebagai contoh, bacaan surah al-Fātiḥah. Pada permulaan surah ini ada hak Allah s.w.t., karena memuat pujian-pujian terhadap-Nya. Sementara, pada ayat-ayat berikutnya merupakan hak orang yang mendirikan shalat, karena isinya berupa permohonan kepada-Nya serta pernyataan tunduk dan patuh kepada-Nya.

Di dalam sebuah hadis qudsi, Allah s.w.t. berfirman: “Aku membagi shalat menjadi dua bagian: sebagian untuk-Ku dan sebagian untuk hamba-Ku. Bagian hambaku adalah apa yang ia minta (dari-Ku).” (55)

Melaksanakan kedua hak (hak Allah dan hak hamba) di atas, menurut jumhur ulama, wajib dilakukan dalam shalat.

Catatan:

  1. 1). Hadis ini lengkapnya demikian: “Sesungguhnya seorang mushalli yang sedang bermunajat pada Rabbnya, hendaklah memperhatikan apa yang dimunajatkannya itu. Janganlah sebagian dari kalian menonjol-nonjolkan suara bacaan al-Qur’an, satu sama lain.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Mālik di dalam al-Muwaththa’ dengan judul ash-Shalāh (29) bab al-‘Amal fil-Qirā’ah. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, 4/344, dari al-Baidhāwī r.a. secara marfū‘ dengan sanad yang sahih.

    Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī (531) dengan judul Mawāqit-ush-Shalāh bab al-Mushalli Yunāji Rabbah. Dari Anas r.a., ia mengatakan, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian melaksanakan shalat, sesungguhnya ia sedang bermunajat pada Rabbnya. Maka, janganlah ia memalingkan muka ke kanan, namun hendaknya ia memandang kaki kirinya.

  2. 2). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī (835) di dalam kitab Adzān bab Mā Yutakhayyar min-ad-Du‘āi ba‘d-at-Tasyahhudi wa laisa bi Wājib; Imam Muslim (402) di dalam kitab at-Tasyahhud fish-Shalāh; Abū Dāwūd (968) di dalam kitab ash-Shalāh bab at-Tasyahhud; at-Tirmidzī (289) di dalam kitab ash-Shalāh bab Mā Jā’a fit-Tasyahhud; an-Nasā’i, 237/2 di dalam kitab al-Iftitāḥ bab Kaif-at-Tasyahhud-il-Awwal; dan Imam Ibn Mājah (899) di dalam kitab Iqāmat-ush-Shalāh bab Mā Jā’a fit-Tasyahhud, dari ‘Abdullāh ibn Mas‘ūd.
  3. 3). Di dalam karyanya, Mu‘īd-un-Na‘īmi wa Mubīd-un-Niqām, hal. 149, Imam al-Faqīh Tāj-ud-Dīn ‘Abd-ul-Wahhāb ibn ‘Alī as-Subkī (wafat 771 H), mengatakan: “Pada setiap amalan yang dikerjakan oleh seorang muslim terdapat hak saudaranya sesama muslim.” Aku (as-Subkī) juga mendengar Syekh ‘Alī ibn ‘Abd-ul-Kāfī (w. 786 H) mengatakan: “Aku mendapat bagian dari ibadah setiap muslim, dan bagi setiap muslim ada hak dalam pelaksanaan shalat lima waktu. Maka, jika seorang muslim merusak satu amalan shalat saja, berarti ia telah menzalimi muslim lainnya. Sebab, ia telah merampas hak saudaranya, di samping telah mengabaikan hak Allah s.w.t. Oleh sebab itu, aku akan mendengarkan tuntutan atas orang yang meninggalkan shalat wajib, sebab dalam setiap shalat itu ada hak setiap muslim.” Lalu beliau mengatakan: “Aku akan menuntutnya. Sebab, ia meninggalkan shalat atau merusaknya. Sungguh, ia telah membahayakan diriku. Karena itu, aku menuntut hakku.” Aku bertanya: “Kenapa?” ‘Alī ibn ‘Abd-ul-Kāfī menjawab: “Sebab seorang mushalli mengucapkan: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepada hamba-hamba Allah yang saleh.” Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya, jika bacaan ini diucapkan oleh seorang mushalli, maka doanya akan mencakup seluruh hamba Allah yang saleh di langit dan di bumi.
  4. 4). Allah s.w.t. berfirman: “Bacakanlah apa-apa yang telah diwahyukan padamu (Muhammad) dari al-Qur’an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan, mengingat Allah itu yang utama. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.” (al-Ankabūt [29]: 45).
  5. 5). Hadis qudsi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam al-Musnad, 2/241; Muslim (395) kitab ash-Shalāh bab Wujūb-ul-Qirā’at-il-Fātiḥati fī Kulli Raka‘atin; Abū Dāwūd (818) kitab ash-Shalāh bab Orang yang tidak membaca al-Fātihah di dalam shalat; at-Tirmidzī (2954) kitab Tafsīru Sūrat-il-Fātiḥah; an-Nasā’i, 2/135 kitab Du‘ā’ iftitaḥ bab Tarku Qirā’at-il-Basmalati fil-Fātihah; dan oleh Ibn Mājah (3784) kitab al-Adab bab Tsawāb-ul-Qur’ān, dari Abū Hurairah r.a. secara marfū‘.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *