1-1 Hukum ‘Aqli – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri

Rangkaian Pos: Hukum 'Aqli - Syarh Umm al-Barahin | Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Hukum ‘Aqlī

(Bagian 1 dari 3)

 

[صـــــ] (إِعْلَمْ أَنَّ الْحُكْمَ الْعَقْلِيَّ يَنْحَصِرُ فِيْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: الْوُجُوْبُ، وَ الْاِتِحَالَةُ وَ الْجَوَازُ. فَالْوَاجِبُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ، وَ الْمُسْتِحِيْلُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ، وَ الْجَائِزُ مَا يَصُّ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ وَ عَدَمُهُ).

Ketahuilah, sungguh hukum ‘aqli terbatas dalam tiga bagian: wājib, mustaḥīl dan jā’iz. Wājib adalah hukum yang ketiadaannya tidak ter-tashawwur-kan di dalam akal; mustaḥīl adalah hukum yang wujudnya tidak ter-tashawwur-kan di dalam akal; dan jā’iz adalah hukum yang wujud dan tidaknya sah (ter-tashawwur-kan) di dalam akal.

Syarḥ:

[شــــــ] الْحُكْمُ هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ أَوْ نَفْيِهِ، وَ الْحَاكِمُ بِذَلِكَ إِمَّا الشَّرْعُ أَوِ الْعَادَةُ أَوِ الْعَقْلُ، فَلِهذَا انْقَسَمَ الْحُكْمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: شَرْعِيٍّ، وَ عَادِيٍّ، وَ عَقْلِيٍّ.

Hukum adalah menetapkan atau menafikan suatu hal. Hakim (yang menghukumi) adakalanya syariat, adat, atau akal. Karena itu, hukum terbagi menjadi tiga, hukum syar‘ī, hukum adat, dan hukum ‘aqlī.

فَالشَّرْعِيُّ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالَى الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ بِالطَّلَبِ أَوِ الْإِبَاحَةِ أَوِ الْوَضْعِ لَهُمَا.

Hukum syar‘ī adalah khithab Allah ta‘ālā berupa tuntutan, ibāḥah, atau wadh‘ (ketentuan) untuk keduanya yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf.

فَدَخَلَ فِيْ قَوْلِنَا “بَالطَّلَبِ” أَرْبَعَةُ:

Maka ada empat hal yang masuk dalam ucapanku: “Berupa tuntutan”

الْإِيْجَابُ وَ هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ طَلَبًا جَازِمًا كالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَ بِرُسُلِهِ وَ كَقَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ الْخَمْسِ، وَ نَحْوِهِمَا.

Kewajiabnan, yaitu tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, seperti: mengimani Allah dan para rasul; kelima rukun Islam; dan semisalnya.

وَ النَّدْبُ، وَ هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ طَلَبًا غَيْرَ جَازِمٍ كَصَلَاةِ الْفَجْرِ وَ نَحْوِهَا.

Kesunnahan, yaitu tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas, seperti shalat sunnah fajar dan semisalnya.

وَ التَّحْرِيْمُ، وَ هُوَ طَلَبُ الْكَفِّ عَنِ الْفِعْلِ طَلَبًا جَازِمًا كَالشِّرْكِ بِاللهِ وَ الزِّنَا وَ نَحْوِهِمَا.

Keharaman, yaitu tuntutan mencegah dari suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, seperti menyekutukan Allah, zina, dan semisalnya.

وَ الْكَرَاهَةُ، وَ هِيَ طَلَبُ الْكَفِّ عَنِ الْفِعْلِ طَلَبًا غَيْرَ جَازِمٍ كَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ مَثَلًا فِي الرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدِ.

Kemakruhan, yaitu tuntutan mencegah dari suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas, seperti membaca al-Qur’ān, umpamanya saat ruku‘ dan sujud.

وَ أَمَّا الْإِبَاحَةُ فَهِيَ التَّحْيِيْرُ بَيْنَ الْفِعْلِ وَ التَّرْكِ كَالنِّكَاحِ وَ الْبَيْعِ وَ نَحْوِهَا.

Adapun ibāḥah adalah memberi pilihan antara melakukan suatu perbuatan dan meninggalkannya, seperti nikah, jual beli, dan semisalnya.

وَ أَمَّا الْوَضْعُ لَهُمَا، أَيْ لِلطَّلَبِ وَ الْإِبَاحَةِ ، فَعِبَارَةٌ عَنْ نَصْبِ الشَّرْعِ سَبَبًا أَوْ شَرْطًا أَوْ مَانِعًا لِمَا ذُكِرَ مِنَ الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ الدَّاخِلَةِ فِيْ كَلَامِنَا تَحْتَ الطَّلَبِ وَ الْإبَاحَةِ.

Adapun wadha‘ untuk tuntutan dan ibāḥah adalah ungkapan dari penetapan syariat pada suatu sebab, syarat, atau māni‘ (pencegah) bagi kelima hukum yang telah masuk dalam ucapanku yang tercakup dalam tuntutan dan ibāḥah.

فَالسَّبَبُ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَ مِنْ وُجُوْدِهِ الْوُجُوْدُ بِالنَّظْرِ إِلَى ذَاتِهِ كَالزَّوَالِ مَثَلًا، فَإِنَّ الشَّارِعَ وَضَعَهُ سَبَبًا لِوُجُوْبِ الظَّهْرِ، فَيَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْبُ الظُّهْرِ وَ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ وُجُوْبِهَا.

Sebab adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan, dan wujudnya menetapkan wujud, dengan memandang zatnya, seperti condongnya matahari ke arah barat, misalnya, karena Allah menjadikannya sebagai sebab wujudnya, ada kewajiban shalat zhuhur; dan sebab tidak wujudnya, tidak ada kewajiban shalat zhuhur.

وَ إِنَّمَا قُلْنَا “بِالنَّظْرِ إِلَى ذَاتِهِ: لِأَنَّهُ قَدْ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ السَّبَبِ وُجُوْدُ الْمُسَبَّبِ لِعُرُوْضِ مَانِعٍ أَوْ تَخَلُّفِ شَرْطٍ، وَ ذلِكَ لَا يَقْدَحُ فِيْ تَسْمِيَتِهِ سَبَبًا، لِأَنَّهُ لَوْ نَظَرَ إِلَى ذَاتِهِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنْ مُوْجِبِ التَّخَلُّفِ لَكَانَ وُجُوْدُهُ مُقْتَضِيًا لِوُجُوْدِ الْمُسَبَّبِ.

Aku katakan: “Dengan memandang pada zatnya,” karena terkadang wujudnya sebab tidak memastikan wujudnya musabbab, karena adanya pencegah atau belum terpenuhinya syarat. Hal ini tidak menjadi cacat untuk penamaannya sebagai sebab, karena bila dipandang zatnya tanpa memandang faktor yang membuat tidak terpenuhinya syarat, niscaya wujudnya sebab memastikan wujudnya musabbab.

وَ أَمَّا الشَّرْطُ فَهُوَ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَ لَا عَدَمٌ لِذَاتِهِ، وَ مِثَالُهُ الْحَوْلُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى وُجُوْبِ الزَّكَاةِ فِي الْعَيْنِ وَ الْمَاشِيَةِ، فَإِنَّهُ يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِ تَمَامِ الْحَوْلِ عَدَمُ وَجُوْبِ الزَّكَاةِ فِيْمَا ذُكِرَ، وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ تَمَامِ الْحَوْلِ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ وَ لَا عَدَمِ وُجُوْبِهَا، لِتَوَقُّفِ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ عَلَى مِلْكِ النِّصَابِ مِلْكًا كَامِلًا.

Adapun syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan, namun wujudnya tidak menetapkan wujud maupun ketiadaan, dengan memandang zatnya, seperti haul berkaitan dengan kewajiban zakat pada suatu barang atau hewan ternak. Dalam hal ini tidak wujudnya kesempurnaan haul menetapkan tidak adanya kewajiban zakat pada komoditas tersebut; namun wujudnya kesempurnaan haul tidak menetapkan wajib dan tidak wajibnya zakat, sebab tergantungnya kewajiban zakat pada kepemilikan secara sempurna harta sebanyak satu nishāb.

وَ أَمَّا الْمَانِعُ فَهُوَ مَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ الْعَدَمُ وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ وُجُوْدٌ وَ لَا عَدَمٌ لِذَاتِهِ، مِثَالُهُ الْحَيْضُ، فَإِنَّهُ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ عَدَمُ وُجُوْبِ الصَّلَاةِ مَثَلًا، وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ وُجُوْبُ الصَّلَاةِ وَ لَا عَدَمُ وُجُوْبِهَا، لِتَوَقُّفِ وُجُوْبِهَا عَلَى أَسْبَابٍ أَخَرَ قَدْ تَحْصُلُ عِنْدَ عَدَمِ الْحَيْضِ وَ قَدْ لَا تَحْصُلُ.

Adapun māni‘ adalah sesuatu yang wujudnya menetapkan ketiadaan, namun ketiadaannya tidak menetapkan wujud maupun ketiadaan dengan memandang zatnya, seperti haid. Sungguh wujudnya haid menetapkan tidak adanya kewajiban shalat, umpamanya, dan ketiadaannya tidak menetapkan wajib dan tidak wajibnya shalat, sebab tergantungnya kewajiban shalat pada sebab-sebab lain yang saat tidak adanya haid terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi.

فَخَرَجَ لَكَ مِنْ هذَا أَنَّ السَّبَبَ يُؤْثِرُ بِطَرَفَيْهِ، أَعْنِيْ طَرَفَيْ وُجُوْدِهِ وَ عَدَمِهِ، وَ الشَّرْطُ يُؤْثِرُ بِطَرَفِ عَدَمِهِ فَقَطْ فِي الْعَدَمِ فَقَطْ، وَ الْمَانِعُ بُؤْثِرُ بِطَرَفِ وُجُوْدِهِ فَقَطْ فِي الْعَدَمِ فَقَطْ، وَ مَحَلُّ اسْتِيْفَاءِ مَا يَتَعَلَّقُ بِمَبَاحِثِ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ فِي الْأُصُوْلِ.

Dari sini dapat anda ambil kesimpulan, bahwa (1) sebab berpengaruh pada dua arahnya, yaitu arah wujud dan tidaknya; (2) syarat hanya berpengaruh pada arah ketiadaannya pada ketiadaan saja; dan (3) māni‘ hanya berpengaruh pada arah wujudnya pada ketiadaan saja. Adapun pembahasan mendalam yang berkaitan dengan pembahasan hukum syar‘ī adalah ilmu ushūl fiqh.