1-1-6 Dua Persoalan Sekitar Pengaruh Doa – Memilih Takdir Allah (3/3)

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 6. Berubahnya Apa Yang Telah Ditakdirkan Karena Perbuatan-perbuatan Tertentu

Dua Persoalan Sekitar Pengaruh Doa. (461)

Pertama: Barangkali ada sebagian orang yang tidak mempercayai adanya pengaruh doa terhadap turunnya hujan melimpahnya berkah dengan mengatakan bahwa gejala-gejala alam yang muncul adalah karena sebab-sebab materialistik. Kalau ada sebab, tentu akan muncul akibatnya, tanpa memerlukan bantuan doa. Bila tak ada sebab, maka akibatnya pun tidak akan pernah ada. Baik manusia sudah bertobat ataupun belum, sudah berdoa atau belum, adalah sama saja.

Sesungguhnya, di balik hukum kausalitas itu ada tatanan Yang Maha Agung, Yang bersifat spiritual, Yang mengatur tatanan materiil, mengatur segala urusannya, Yang keluar dari Diri-Nya segala yang maujud dan limpahan sesuai kemaslahatan, serta kehendak yang bijak. Tatanan materiil, sama sekali tidak bebas mengatur, tidak berdiri sendiri di dalam memberi pengaruh. Seluruhnya berjalan menurut Yang Maha Agung, seperti diisyaratkan oleh firman-Nya:

(فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا)

Dan malaikat-malaikat yang mengatur urusan (dunia).” (79: 5).

Serta firman-Nya:

(وَ إِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَ مَا نُنَزِّلُهُ إِلاَّ بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ)

Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (15: 21).

Bila di alam materi, dengan sistem kausalitasnya, terdapat faktor yang mempengaruhi tatanan Yang Maha Agung, maka turunnya limpahan dari alam materi itu sangat terkait dengan seberapa dekat manusia kepada Allah, tergantung pada amal baik atau buruk yang dilakukannya, serta kedudukan manusia itu dalam pandangan Allah s.w.t. Kalau keadaan manusia itu baik, dan dikenal betul kebaikannya, akan datang kepadanya; ia akan diberi limpahan berkah. Begitu pula sebaliknya.

Saya ingin mengatakan, sesungguhnya doa, amal baik dan buruk, tidak termasuk sebab-sebab materialistik, tetapi kekuatannya sudah diakui mereka yang mengetahui makrifat Ilahiah.

Atas dasar ini, doa, rintihan permohonan kepada Allah, adalah bagian dari sebab-sebab turunnya berkah yang dibenarkan oleh wahyu. Begitu pula dengan kerusakan, kezaliman, penyimpangan, merupakan hambatan bagi turun dan mengalirnya limpahan berkah-Nya. Allah s.w.t. berfirman:

(وَ يَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ يَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَ الْكَافِرِينَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ)

Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dengan karuniaNya…” (26: 26).

Kalau jiwa manusia itu sudah dipenuhi dengan iman, maka seakan-akan raganya menanggung janji atas perbuatan baik yang dilakukannya; ia menjadi teman amal baik, dan menjadi sumber melimpahnya rahmat dan kasih sayang. Hal itu dikuatkan oleh sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang tidak serius.” (472).

Kedua: Barangkali juga ada anggapan bahwa doa tidak berguna dalam meyembuhkan orang sakit, berdasarkan asumsi bahwa sembuhnya orang sakit itu sudah ditakdirkan. Dia akan sembuh, baik didoakan ataupun tidak. Demikian pula bila ditakdirkan untuk mati, maka matilah ia, baik didoakan atau tidak. Maka doa dalam dua hal tersebut tidak ada guna dan manfaatnya.

Dari apa yang telah dijelaskan sebelum ini, paling tidak ada dua hal yang perlu digarisbawahi.

Pertama, kalau kita menolak pernyataan sebelumnya, maka benarlah apa yang mereka tuduhkan. Dan benar pula bahwa usaha penyembuhan si sakit itu.

Kedua, kalau kita menerima pernyataan sebelum ini, maka doa itu sebetulnya termasuk salah satu faktor penyebab yang mempengaruhi tatanan materiil. Dan anda pun telah tahu bahwa tatanan materiil tidak berdiri sendiri, tetapi dikendalikan oleh tatanan spiritual Yang Maha Agung. Sehubungan dengan ini, Nabi s.a.w.bersabda: “Sesungguhnya doa adalah bagian dari takdir Allah.” (483).

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Sesungguhnya doa itu memiliki ketetapan dapat mengubah qadhā’” (494).

Alhasil, sesungguhnya pengobatan, doa, permohonan kepada-Nya, adalah bagian dari sebab-sebab yang ada pada hukum kausalitas itu. Hanya, sebab itu ada yang terlihat dan ada yang tidak terlihat, yang hanya dapat diketahui melalui pemberitahuan wahyu Ilahi.

Saya ingin mengatakan, sesungguhnya kalau ditakdirkan bahwa sembuhnya orang sakit itu apabila didoakan, maka doa merupakan syarat terlaksananya ketetapan. Yang bila ditinggalkan berarti syaratnya belum terpenuhi.

Penganut paham Qadariyyah menyatakan adanya penguasaan takdir atas kehendak Allah s.w.t., semua itu telah ditakdirkan, tidak akan dapat berubah dan berganti. Kalau demikian, maka Allah menjadi terbatasi dengan qadhā’ dan qadar-Nya yang tidak mampu diubah-Nya dan tidak pula dapat berubah karena doa, amal saleh dan perbuatan buruk. Seakan-akan qadar menjerat leher manusia yang tidak mungkin dapat dilepas dan diselamatkan, walaupun dengan amal saleh, permohonan, dan rintihan. Semua itu bertentangan dengan kebenaran al-Badā’, yang menyatakan adanya kemampuan Allah secara mutlak, kekuatan kehendak-Nya atas takdir-Nya. qadar itu bukan Tuhan kedua yang besar atau pun kecil, dan sama sekali tidak berada di luar jangkauan-Nya. Sehingga Nabi menyamakan penganut Qadariyyah dengan orang Majusi yang memiliki keyakinan adanya dua tuhan.

Dari situ dapat diketahui bahwa manfaat al-Badā’ adalah adanya pengakuan bahwa alam raya ini berada dibawah kekuasa Allah dan qudrat-Nya, baik ketika dijadikan atau sesudahnya. Kehendak Allah adalah pengambil prakarsa atas peristiwa-peristiwa di masa lalu dan untuk selamanya.

Serta diketahui pula rahasia para Imām Ahlul-Bait yang terus-menerus berusaha melanjutkan penjelasan terhadap al-Badā’, menjaga keutuhan pengikut agar tidak tergelincir dalam perselisihan dan ikut-ikutan berkata seperti yang dikatakan oleh salah satu dari dua golongan, Yahudi dan Qadariyyah, dengan melukiskan agungnya akidah itu dengan kata-kata mereka sendiri. Para Imām mengatakan: “Tidak ada persembahan bagi Allah yang setara dengan al-Badā’” (505). Atau, “Tiada pengagungan bagi Allah yang setara dengan al-Badā’”. (516) Atau, juga, “Kalaulah manusia tahu pahala dalam al-Badā’ ini, niscaya mereka tidak akan mendustakannya.” (527) Dan banyak lagi ucapan-ucapan mutiara mereka yang sangat berharga.

 

Catatan:


  1. 46). Beda antara dua persoalan ini sangat jelas. Yang pertama adalah orang-orang materialistik yang mengingkari metafisika, dan yang kedua adalah pengikut Qadariyyah yang berpegang pada takdir definitif yang tidak bisa diubah dan diganti. 
  2. 47). Biḥār-ul-Anwār, jilid XLIV, hal 392. 
  3. 48). Biḥār-ul-Anwār, jilid V, hal 98. 
  4. 49). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hal 121. 
  5. 50). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, bab al-Badā’, hadits nomor 11). 
  6. 51). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, bab al-Badā’, hadits nomor 20). 
  7. 52). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, bab al-Badā’, hadits nomor 26). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *