1-1-4 Najis-Najis – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 001 Thaharah | Fiqih Lima Madzhab

Najis-najis

1. Anjing: Najis, kecuali Madzhab Mālikī yang berkata: Bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta‘abbud (beribada). Syāfi‘ī dan Ḥanbalī berkata: Bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali di antaranya dengan tanah. Imāmiyyah berkata: Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan air.

2. Babi: Semua madzhab, berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali Madzhab Imāmiyyah yang mewajibkan membasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali dengan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bankai tikus darat (yang besar).

3. Bangkai: Semua madzhab sepakat, bahwa bangkai binatang darat – selain manusia – adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Mālikī, Syāfi‘ī dan Ḥanbalī mengatakannya suci. Ḥanafī berpendapat, bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan mandi. Begitu juga pendapat Imāmiyyah, tetapi terbatas pada bangkai orang Islam. Dan semua madzhab sepakat bahwa kesturi yang terpisah dari kijang adalah suci.

4. Darah: Keempat mazhab sepakat bahwa darah adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga halnya dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tinggi). Imāmiyyah berkata: “Semua darah hewan yang darahnya mengalir, juga darah manusia yang mati syahid atau bukan, adalah najis. Sedangkan darah binatang yang tidak mengalir darahnya, baik binatang laut atau binatang darat, begitu juga tinggalan pada persembelihan, hukumnya suci.

5. Mani: Imāmiyyah, Mālikī, dan Ḥanafī berpendapat bahwa mani anak Ādam dan lainnya adalah najis, tetapi khusus Imāmiyyah mengecualikan mani binatang yang darahnya tidak mengalir, untuk binatang ini Imāmiyyah berpendapat, mani dan darahnya suci, Syāfi‘ī berpendapat, mani anak Ādam suci, begitu pula semua binatang selain anjing dan babi, Ḥanbalī berpendapat mani anak Ādam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci; tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.

6. Nanah: Najis menurut empat madzhab dan suci menurut Imāmiyyah.

7. Kencing: Air kencing dan kotoran anak Ādam adalah najis menurut semua madzhab.

8. Sisa binatang: Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang. Masing-masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya dimakan dan yang dagingnya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Mālikī menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang dagingnya dimakan misalnya lembu (sapi) dan kambing dan yang dagingnya tidak dimakan misalnya serigala, dan kucing (Mālikī menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing madzhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syāfi‘ī berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis. Kotoran kuda, bagal, dan lembu (sapi), semuanya najis. Imāmiyyah berkata: Sisa-sisa burung yang dagingnnya dimakan ataupun tidak, semuanya suci; begitu juga hewan yang darahnya tidak mengalir, baik yang dagingnya dimakan maupun tidak. Adapun binatang yang mempunyai darah mengalir, jika dagingnya dimakan, seperti unta dan kambing maka sisanya suci; dan jika dagingnya tidak dimakan seperti beruang dan binatang buas lainnya maka sisanya najis. Dan setiap binatang yang dagingnya diragukan halal-haramnya, maka sisanya suci hukumnya.

Ḥanafī berkata: Sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci; jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis.

Ḥanbalī dan Syāfi‘ī berkata: Sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa binatang yang darahnya mengalir dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak. Dan semua madzhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah najis.

9. Benda cair yang memabukkan: Adalah najis menurut semua madzhab. Tetapi Imāmiyyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada upaya menjadikan benda memabukkan yang cair diubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, padahal hukumnya tetap najis. Ada baiknya jika kita petik kata-kata salah seorang pengarang fuqahā’ Imāmiyyah: Ulama Sunnah dan Syī‘ah sepakat tentang najisnya arak, kecuali sebagian dari kami dan sebagian dari mereka yang menyalahi ketentuan ini, dan mereka tidak diakui oleh kedua kelompok.

10. Muntah: Hukumnya najis menurut empat madzhab dan suci menurut Imāmiyyah.

11. Madzī dan Wadzī: Keduanya najis menurut madzhab Syāfi‘ī, Mālikī, dan Ḥanafī, serta suci menurut madzhab Imāmiyyah. Ḥanbalī berpendapat madzī suci sedangkan wadzī najis.

Madzī adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzī adalah air amis yang keluar setelah kencing.

Empat madzhab berpendapat bahwa muntah, madzī dan wadzī hukumnya najis, sedangkan Imāmiyyah berpendapat tidak. Bahkan Imāmiyyah satu-satunya madzhab yang berpendapat bahwa peluh orang yang junub, baik junub karena zina, liwat, dengan binatang, atau berusaha mengeluarkan mani dengan cara apapun, adalah najis.

Sisa Air dalam Bejana

Ḥanafī, Syāfi‘ī, dan Ḥanbalī berkata: Sisa air anjing dan babi hukumnya najis, Mereka juga sepakat bahwa sisa air dari bagal dan keledai itu suci tetapi tidak menyucikan. Ḥanbalī berkata: Tidak boleh berwudhū’ dengan sisa air dari semua binatang yang dagingnya tidak dimakan kecuali kucing hutan dan yang lebih kecil darinya seperti tikus dan Ibnu ‘Aris (hampir sama dengan tikus).

Ḥanafī menghubungkan sisa anjing dan babi itu dengan sisa peminum arak segera setelah ia meminumnya. Begitu juga halnya sisa kucing setelah makan tikus, sisa binatang buas seperti singa, serigala, harimau binatang dan harimau belang, musang, dan adh-Dhubu‘ (الضبع) (71).

Imāmiyyah berkata: Sisa air yang diminum binatang najis seperti babi dan anjing hukumnya najis. Sisa air yang diminum binatang bersih hukumnya suci, baik binatang yang dagingnya dimakan maupun tidak. Mālikī berkata: Sisa air yang diminum anjing dan babi, suci dan menyucikan serta dapat diminum. (82).

Hukum Khalwat

Syāfi‘ī, Mālikī dan Ḥanbalī sepakat bahwa menghadap Qiblat atau membelakanginya ketika ber-ḥājat, dalam lindungan atau tempat lapang yang ada perlindungan, hukumnya tidak haram. Mereka berselisih pendapat tentang ber-ḥājat di tempat lapang yang tidak terlindung. Syāfi‘ī dan Ḥanbalī berpendapat tidak haram, sedangkan Mālikī berpendapat haram. Ḥanafī berpendapat, bahwa makruh ber-ḥājat di dalam ruangan dan haram ber-ḥājat di tempat lapang sehubungan dengan membelakangi atau menghadap Qiblat.

Imāmiyyah berkata: Haram menghadap Qiblat dan membelakanginya baik dalam ruangan atau di tempat lapang, ada pelindung ataupun tidak.

Semua madzhab sepakat bahwa air yang suci itu dapat menyucikan najis dari tempat keluar kencing dan tinja. Empat madzhab berpendapat bahwa batu memadai untuk membersihkan keduanya. Imāmiyyah berpendapat: Tidak memadai menyucikan tempat keluar kencing kecuali dengan air. Adapun tempat keluar tinja, dapat memilih di antara basuhan air dan sapuan dengan tiga biji batu atau potongan-potongan kain kecil yang suci, hal ini (pilihan yang kedua) dilakukan jika najis itu tidak mengalir dari tempat keluarnya, jika mengalir maka hendaknya dibersihkan dengan air. (93) Batu dan sejenisnya untuk menyapu itu jumlahnya dipastikan pada madzhab Imāmiyyah, Syāfi‘ī dan Ḥanbalī, walaupun dengan kurang dari tiga biji sudah bersih. Tetapi Mālikī dan Ḥanafī tidak menganggap jumlah batu itu sebagai syarat, hanya saja ia mengharuskan menyucikan najis dari tempat keluarnya, dengan benda cair yang bersih selain air.

Catatan:


  1. 7). Ibnu ‘Ābidīn, I, hal. 156.
  2. 8). Ibnu Qudamah: al-Mughnī, jilid I, hal. 47, cetakan ketiga.
  3. 9). Kitab al-Fiqhu ‘alal-Madzāhib-il-Arba‘ah, jilid I, bab qadhā’ ḥājat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *