1-1-3 Sifat-sifat & Keutamaan ‘Ali – Kisah Hidup ‘Ali Ibn Abi Thalib

KISAH HIDUP ‘ALĪ IBN ABI THĀLIB
(Judul Asli: ‘Alī ibn Abī Thālib)
Oleh: Dr. Musthafa Murad

Penerjemah dan Penyelaras: Dedi Slamet Riyadi. MA.
Penerbit: ZAMAN

Rangkaian Pos: Sifat-sifat & Keutamaan 'Ali | Kisah Hidup 'Ali Ibn Abi Thalib

BAB SATU

KEHIDUPAN, KEUTAMAAN, DAN KEKHALIFAHAN ‘ALĪ IBN ABĪ THĀLIB

 

SIFAT-SIFAT DAN KEUTAMAAN ‘ALĪ IBN ABĪ THĀLIB

(Bagian 3)

 

‘Ali putra Abu Thalib memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Nabi s.a.w., yang membedakannya dari para Ahlul Bait lain.

Suatu ketika, sebelum pergi ke medan Perang Tabuk, Rasulullah s.a.w. memercayakan urusan di Madinah kepada Muhammad ibn Musalmah r.a. dan menitipkan keluarganya kepada ‘Ali putra Abu Thalib. Kaum munafik menghasut ‘Ali karramallahu wajhah bahwa Nabi meninggalkannya di Madinah karena tidak menyukainya.

‘Ali segera pergi menyusul Nabi s.a.w. Setelah bertemu, ‘Ali berkata: “Wahai Rasulullah, engkau (hanya) memberiku tugas untuk mengurusi wanita dan anak-anak?”

Rasulullah s.a.w. memintanya pulang seraya menghiburnya dengan ucapan: “Tidak relakah kau memiliki kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja, tidak ada nabi setelahku.” (71)

Ia adalah pemimpin Ahlul Bait dan yang terbaik di antara mereka. Namun, ia bukan pemimpin para sahabat Rasulullah. Pemimpin mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. Karena kedudukannya yang mulia itulah Nabi s.a.w. menyeru umatnya untuk mencintai, menolong, dan berkorban untuk ‘Ali r.a. Beliau bersabda sepulangnya dari jiwa wada’: “Wahai kaum muslimin, bukankah aku lebih baik pada kalian dibanding diri kalian sendiri?”

Mereka menjawab: “Benar”.

“Barang siapa yang aku menjadi pemimpin dan pelindungnya maka ‘Ali adalah pemimpin dan pelindungnya. Ya Allah, tolonglah siapa saja yang menolong ‘Ali, dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” (82).

Dalam kesempatan lain Rasulullah s.a.w. menegaskan bahwa kecintaan kepada ‘Ali putra Abu Thalib r.a. merupakan salah satu tanda keimanan. Beliau bersabda: “Wahai ‘Ali, yang mencintaimu adalah orang yang beriman. Hanya orang munafik yang membencimu.” (93)

Allah dan Rasulullah s.a.w. mencintainya, dan ia mencintai keduanya. Diriwayatkan bahwa dalam perang Khaibar, kaum muslim mengepung salah satu benteng Khaibar, yang terkuat, benteng Qumush. Kaum muslim kesulitan menerobosnya. Ketika itu, ‘Ali putra Abu Thalib terserang sakit mata.

Rasulullah bersabda membangkitkan semangat kaum muslim: “Besok, panji kaum muslim akan dipegang oleh seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang akan membukakan pintu kemenangan.”

Mendengar sabda Nabi itu, para sahabat bertanya-tanya dalam hati, siapakah yang akan mendapat peran mulia itu. Mereka berharap bahwa dirinyalah yang akan memegang panji kemenangan kaum muslim. Ketika Rasulullah memanggil, ‘Ali putra Abu Thalib mendekat lalu mengadukan sakit matanya. Nabi s.a.w. mengusap kedua matanya seraya berdoa kepada Allah. Serta-merta sakit mata yang diderita ‘Ali sembuh seakan ia tak pernah merasa sakit sebelumnya. Kemudian Rasulullah memberikan panji kaum muslim kepadanya. ‘Ali berkata: “Apakah mereka harus ku perangi semua hingga masuk Islam?”

Rasulullah menjawab: “Bergeraklah bersama pasukanmu hingga mereka mundur ke halaman rumah-rumah mereka, lalu serulah mereka kepada Islam, dan sampaikanlah kepada mereka apa yang diwajibkan oleh Allah atas diri mereka. Demi Allah, seorang dari mereka mendapatkan hidayah adalah lebih baik bagimu daripada pampasan perang belimpah yang kau dapatkan.”

‘Ali menyerbu benteng al-Qumush dan ia disambut oleh seorang prajurit Yahudi bernama Marhab, seorang pentolan Yahudi yang paling pemberani. Keduanya saling berhadapan dan bertarung dengan sengit. ‘Ali berhasil memukulnya dengan pukulan yang sengat keras sehingga memecahkan kepalanya. Prajurit musuh itu jatuh ke tanah. Kemenangan pasukan muslim semakin dekat. (104).

Rasulullah s.a.w. juga pernah menyebutnya sebagai syahid. Ketika beliau dan beberapa sahabat besar, yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, dan Zubair, sedang berada di bukit Hira’, tiba-tiba sebuah batu besar bergerak. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tenanglah, di sisi kalian ada Nabi, Shiddiq, dan Syahid.” (115).

Ia adalah kerabat Nabi yang mendapat petunjuk
Ia mulia karena kejujuran dan kebenaran lisannya
Tak pernah sekalipun ia berdusta, apalagi berkhianat

Pada sebuah malam yang kelam, ia tebuskan dirinya
Untuk keselamatan Nabi sejak ‘Isya’ hingga terbit fajar
Ia baringkan tubuh di pembaringan junjungannya
Ia korbankan dirinya untuk diburu dan dikejar.

Di Yatsrib, panah kematian dilemparkan ‘Amr ibn Wadd kepadanya
Di Khaibar, ia dobrak dan robohkan benteng mereka yang terkuat
Lalu ia hadapi dan binasakan semua lawan yang membangkang
Tak heran jika orang-orang berseru: “Inilah dia pahlawan Khaibar”

Kedua cucu Nabi s.a.w. adalah anak-anak yang dicintainya
Sungguh mulia sang cucu terkasih, begitu pun ayah mereka.

Ia adalah orang keempat dari sepuluh orang ahli surga. Itulah yang dikatakan Rasulullah s.a.w.: “Abu Bakar di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsman di surga, ‘Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, ‘Abd-ur-Rahman ibn ‘Auf di surga, Sa‘d di surga, Sa‘id di surga, dan Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah di surga.” (126)

Rasulullah s.a.w. menyebutnya sebagai orang yang paling memahami syariat dalam sabdanya: “Orang yang paling mengasihi umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dan keras dalam agama Allah adalah ‘Umar, yang paling pemalu adalah ‘Utsman, yang paling memahami syariat adalah ‘Ali putra Abu Thalib, yang paling memahami kitab Allah adalah Ubay ibn Ka‘b, yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu‘adz ibn Jabal, yang paling memahami fara’idh adalah Zaid bin Tsabit. Ketahuilah, bagi setiap umat ada bendaharanya, dan bendahara umat ini adalah Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah.” (137)

‘Ali putra Abu Thalib pernah diutus oleh Nabi s.a.w. untuk menjadi kadi di Yaman dan beliau berdoa untuknya: “Ya Allah, kukuhkanlah lisannya, dan terangilah hatinya.” (148).

Ia telah masuk Islam sejak masih anak-anak, bahkan dikatakan bahwa secara umum dialah orang pertama yang masuk Islam. Ia telah dididik dan diasuh oleh Rasulullah s.a.w., yang membawanya ke rumahnya dari rumah pamannya, Abu Thalib. Beliau mengasuh, mendidik, mengajari, dan menunjukinya ke jalan kebenaran. Karena itu, ‘Ali selalu ada di dekat Nabi s.a.w. sejak masih kecil, dan ia diliputi kasih-sayang serta kemuliaan Nabi s.a.w., yang mengasuh dan membentuk karakternya. Kemudian ‘Ali semakin bertambah besar ketika ia menikahi Fatimah al-Zahra, putri Rasulullah s.a.w.

Jadi, begitu banyak keutamaan dan kemuliaan ‘Ali putra Abu Thalib sehingga al-Imam Ahmad, Isma‘il al-Qadhi, al-Nasa’i, dan Abu ‘Ali al-Naisaburi mengatakan bahwa di antara para sahabat yang lain, ‘Ali adalah sahabat yang paling banyak dituturkan dengan sanad yang baik.

Dialah Khalifah Rasyidin terakhir. Pada zamannya muncul banyak perbedaan pendapat. Berbagai kelompok memusuhinya sehingga riwayat tentang keutamaan dan kemuliaan ‘Ali tersebar luas lebih banyak dibanding para sahabat lain. Riwayat itu tersebar luas untuk melawan para penentangnya. Kalangan Ahl-us-Sunnah menyebarkan keutamaannya sehingga banyak orang yang bertutur tentangnya. Namun penting untuk diingat, keempat khalifah itu memiliki keistimewaannya masing-masing dan mereka semua adalah orang-orang mulia. Urutan tingkat keutamaan mereka sesuai dengan urutan kekhalifahan.

Catatan:


  1. 7). Shaḥīḥ al-Bukhārī, bab Perang Tabuk, dan diriwayatkan pula oleh Muslim dalam Kitāb Fadhā’il al-Shaḥābah
  2. 8). Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dengan lafal “Siapa saja yang aku menjadi pelindungnya (wali) maka ‘Ali menjadi pelindungnya”, Kitāb al-Manāqib, bab Manāqib ‘Alī, jilid 5, hal. 633, no. 3713, dan al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini ḥasan shaḥīḥ; diriwayatkan oleh Ibn Majah dengan lafal yang sama, jilid 1, hal. 43, no. 1116; juga diriwayatkan oleh Ahmad, jilid 1, hal. 84. Syaikh Syakir mengatakan bahwa redaksi hadits ini shaḥīḥ. 
  3. 9). H.R. Muslim, kitab al-Īmān
  4. 10). H.R. Muslim dalam Shaḥīḥ-nya, 3; 1688 (2134). Dalam Sīrāh Ibn Hisyām disebutkan bahwa yang membunuh Marhab adalah Muhammad ibn Maslamah. Pendapat yang benar adalah bahwa yang membunuh Marhab adalah ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. Mengenai hal ini, lihat juga al-Thabari, hal. 1579, yang menguatkan hadits riwayat Muslim. (Lihat Shahih Muslim kitab al-Jihād dan al-Sayr, hadits no. 1708. 
  5. 11). H.R. Muslim dalam. 
  6. 12). H.R. Abu Daud dalam kitab al-Sunnah, Kitāb Fadhā’il al-Shaḥābah no. 4648-4650; al-Tirmidzi dalam kitab al-Manāqib, no. 3747-3748, dengan redaksinya; Ibn Majah dalam al-Muqaddimah, no. 133, 134; al-Bukhari dalam al-Tārīkh al-Kabīr, jilid 5, hal. 474. 
  7. 13). Hadits shaḥīḥ diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad. 
  8. 14). H.R. Ahmad dalam Fadhā’il al-Shaḥābah, jilid 2, hal. 871 dengan sanad yang baik (ḥasan). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *