1-1-3 Air Mengalir dan Air Tenang – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 001 Thaharah | Fiqih Lima Madzhab

Air Mengalir dan Air Tenang

Madzhab-madzhab berbeda pendapat tentang air yang mengalir, Ḥanafī berkata: Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena bersentuhan dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana dan air bersih dalam bejana yang lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari tempat yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh ke bawah, maka campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga jika keduanya dialirkan di atas bumi. (51).

Ḥanafī menolak pendapat bahwa kedua macam air di bawah ini, tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan najis, yakni:

Pertama: Air tenang yang bila digerakkan salah satu bagiannya, bagian yang lain tidak ikut bergerak. Kedua: Air mengalir dengan jalan apapun.

Adapun air sedikit yang tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis, maka keadaannya seperti air tenang yang jumlahnya sedikit, yang jika digerakkan di satu bagian, bagian lainnya ikut bergerak.

Madzhab Syāfi‘ī tidak membedakan antara air mengalir dan air tenang yang memancar atau tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak dan sedikitnya air. Banyak ialah dua qullah: Bila bersentuhan dengan najis ia tidak menjadi najis. Sedangkan air yang kurang dari dua qullah akan menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat ini berdasarkan hadits:

Apabila air sebanyak dua qullah, ia tidak membawa najis.

Syāfi‘ī berkata: Jika air yang mengalir itu cukup dua qullah dan tidak berubah walaupun ia bercampur barang najis, maka semua air itu suci. Jika air yang mengalir itu tidak sampai dua qullah, maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis, sedangkan yang mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci. Perbedaan pendapat antara Syāfi‘ī dan Ḥanafī dalam hal air mengalir itu jauh sekali. Ḥanafī berpendapat, bahwa “mengalir” itu walaupun sedikit, ada sebab yang menjadikannya suci, seperti contoh yang disebutkan di muka: Yakni sebuah bejana yang berisi air bersih, dan bejana lain yang berisi air kotor, maka keduanya menjadi suci jika dicampur dengan jalan dialirkan.

Sedangkan Syāfi‘ī tidak memperlihatkan jalan bercampurnya tetapi menekankan jumlahnya. Menurut Syāfi‘ī, sekalipun sungai yang besar, bagian air yang mengalir bersama najis tetap najis hukumnya. Dan setiap bagian yang mengalir itu terpisah dari bagian lainnya.

Ḥanbalī berkata: Air yang tenang, bila kurang dari dua qullah menjadi najis walaupun hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun tidak. Sedangkan air yang mengalir tidak menjadi najis jika bercampur dengan benda najis, kecuali berubah. Hukumnya seperti air yang jumlahnya banyak. Pendapat ini dekat dengan pendapat Ḥanafī.

Adapun Mālikī, seperti yang telah kami jelaskan, berpendapat bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan dengan najis, dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang. Jelasnya, mereka tidak memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air itu berubah karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi najis. Sebaliknya jika air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci, baik sedikit maupun banyak, memancar atau tidak.

Imāmiyyah berkata: Tidak ada tanda untuk menentukan air itu mengalir atau banyak. Jika air itu berhubungan dengan air pancaran (mata air) walaupun perlahan maka dianggap air itu sama hukumnya seperti air banyak. Ia tidak menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, walaupun jumlah air itu sedikit dan berhenti. Sebab, pada mata air itu ada kekuatan pusat air dan air yang banyak. Apabila air itu tidak berhubungan dengan mata air, maka jika jumlahnya satu karra (dua qullah) tidak menjadi najis bila bersentuhan dengan benda najis, kecuali jika berubah salah satu sifatnya. Apabila jumlahnya tidak mencapai satu karra, maka air itu menjadi najis bila bersentuhan dengan najis, tidak ia mengalir ataupun tidak. Hanya saja, apabila mengalir, bagian atas air itu tidaklah najis.

 

Air Menyucikan Najis

Apabila ada air yang sedikit menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka Imām Syāfi‘ī berpendapat: Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua qullah, ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, dan jika air itu dipisahkan tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih bejana, dan tiap-tiap bejana itu mengandung najis, kemudian air-air najis itu dikumpulkan dalam satu tempat hingga mencapai dua qullah, maka air tersebut suci dan menyucikan. (62).

Ḥanbalī dan kebanyakan fuqahā’ Imāmiyyah berkata: Air yang sedikit itu tidak menjadi bersih dengan mencukupkannya menjadi dua qullah, baik dengan air bersih maupun dengan air najis. Karena, mengumpulkan air najis dengan sejenisnya tidaklah menjadikan kumpulan itu suci. Begitu pula, air suci yang sedikit menjadi najis, dengan sentuhan air najis. Oleh karena itu, jika hendak bersuci, cukuplah air itu sampai satu karra atau dengan air pancaran menurut madzhab Imāmiyyah, sedangkan madzhab Ḥanbalī mewajibkan sampai dua qullah.

Menurut madzhab Syāfi‘ī dan Ḥanbalī, apabila air yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis, maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi. Imāmiyyah berkata: Jika tidak ada mata air pada air yang banyak itu, maka tidaklah suci hanya dengan menghilangkan perubahannya; bahkan setelah hilang perubahannya kita masih harus memasukkan satu karra air suci ke dalamnya, atau menghubungkannya dengan mata air, atau ia bercampur sendiri dengan air hujan. Jika pada air itu ada mata air, maka ia suci dengan hilangnya perubahan yang terjadi, sekalipun sedikit.

Mālik berpendapat: Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlaq di atasnya hingga hilang sifat najis itu.

Ḥanafī berpendapat: Air yang najis itu menjadi bersih dengan cara mengalirkannya. Jika ada air yang najis di dalam bejana, kemudian dicurahkan air ke atasnya hingga mengalir keluar dari tepi-tepinya, maka menjadi sucilah air itu. Begitu juga, jika ada air najis di dalam kolam atau lubang, kemudian digali lubang lain meskipun jaraknya dekat, dan dialirkan air najis pada saluran di antara kedua lubang itu sehingga semua air itu berkumpul pada satu lubang, maka semuanya menjadi suci. Jika air kembali menjadi najis karena suatu hal, maka dengan cara yang sama dapat dilakukan untuk menyucikannya, yaitu dengan menggali lubang lain dan mengalirkannya hingga berkumpul pada satu lubang. Begitu seterusnya.

Oleh karena itu, air yang tidak boleh anda gunakan untuk berwudhū’ ketika ia tenang, dapat anda gunakan dengan cara mengalirkannya dengan cara apapun. Bahkan, jika ada bangkai sekalipun di dalamnya, atau orang kencing di bawahnya, tidak ada tanda bahwa air itu mengalir dan diketahui bahwa air itu tidak berhubungan dengan mata air, jika dialirkan, maka air itu menjadi suci.

Catatan:


  1. 5. Ibnu ‘Ābidīn, I, hal. 131. 
  2. 6. Syarḥu Madzhab, I. 136. 

2 Komentar

  1. elma berkata:

    masih butuh mengenai lafadz yang tertera dalam kitabnya

    1. Muslim Administrator berkata:

      Maaf, boleh diperjelas maksudnya bagaimana ya kak?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *