1-1-2 Sebelum kita Meninggalkan Sirahnya – Kisah Para Tabi’in

KISAH PARA TĀBI‘ĪN
Judul Asli: ‘Ashr-ut-Tābi‘īn
Penulis Abdul-Mun‘im al-Hasyimi

Alih Bahasa: Faqih Fatwa
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: 001 Sa‘id bin al-Musayyab - Kisah Para Tabi'in

Sebelum kita Meninggalkan Sirahnya

Sesungguhnya sirah Imām Sa‘īd bin al-Musayyab ini merupakan pelajaran yang harum mewangi, dari tamannya itu kita dapat menghirup harumnya ketaqwaan. Sebelum kita meninggalkannya, kita harus berkeliling terlebih dahulu untuk menyaksikan peran dari ahli fikih ini. Disebutkan di dalam kitab A‘lām-ul-Mauqi‘īn (101): Sesungguhnya ketika ‘Abādillāh telah meninggal dunia, yakni ‘Abdullāh bin ‘Abbās, ‘Abdullāh bin az-Zubair, ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh, maka ilmu fikih di seluruh negeri dikuasai oleh para maula; ahli fikih Makkah adalah ‘Athā’ bin Abī Rabbah, ahli fikih Yaman adalah Thāwus, ahli fikih penduduk Yamāmah adalah Yaḥyā bin Katsīr, ahli fikih penduduk Bashrah adalah al-Ḥasan r.a., ahli fikih penduduk Syām adalah Makḥūl, dan ahli fikih Makkah adalah ‘Athā’ al-Khurāsānī. Kecuali di Madinah, Allah ‘azza wa jalla mengistimewakannya dengan seseorang yang berasal dari suku Quraisy, ahli fikih penduduk Madīnah itu adalah Sa‘īd bin al-Musayyab yang tak tertandingi.”

Ahli fikih ini benar-benar menekuni bidang fikih dan dia hanya memerhatikan bidang tersebut. Adapun perkara yang dipelajari secara khusus olehnya adalah perkara-perkara yang diputuskan Rasūlullāh s.a.w., Abū Bakar, dan ‘Umar. Dia mengambil sebagian ilmunya dari Zaid bin Tsābit dan mertuanya, Abū Hurairah, karena Sa‘īd bin al-Musayyab adalah menantunya. (112).

Perhatiannya terhadap hadits dilakukan melalui pengetahuannya tentang keputusan-keputusan Rasūlullāh s.a.w., sedangkan perhatiannya terhadap atsar dilakukan melalui pengetahuannya tentang keputusan-keputusan para khalifah dan ijtihad-ijtihad mereka. Dalam periwayatannya, Sa‘īd bin al-Musayyab tampak sebagai orang yang benar-benar memahami fikih al-Fārūq ‘Umar bin al-Khaththāb, karena pada masa kekhalifahan ‘Umar merupakan masa perkembangan yang sangat pesat dalam bidang fikih Islam, hukum, dan fatwa, disebabkan luasnya wilayah Daulah Islamiyyah dan terjadinya berbagai peristiwa yang menuntut fikih, hukum-hukum, dan fatwa-fatwa tersebut.

Sa‘īd bin al-Musayyab r.h. selalu berijtihad terkait pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya mengenai berbagai fakta yang terjadi dan tidak ditemukan di dalam nash al-Qur’ān maupun Sunnah Rasūlullāh s.a.w., atau ketetapan hukum salah seorang sahabat, atau fatwa yang dapat diqiyaskan kepadanya. Dia memberikan fatwa dengan pendapatnya, sekiranya tidak keluar dari kebenaran serta tidak ada penyelewengan maupun kesesatan. Oleh karenanya, fatwa dari orang yang memberikan fatwa dengan berani ia senantiasa dikutip, karena para ulama fikih lain yang bersandar pada logika pun memuliakannya.

Kesimpulannya, sebelum kita meninggalkan sirah Sa‘īd bin al-Musayyab; jika memang sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi, maka berarti dia adalah imam dari para ulama fikih di Madīnah pada masa tabi‘in. Dia tidak pernah menghalangi logika (ijtihad) jika memang diperlukan. Logikanya tersebut dibangun berdasarkan asas-asas yang benar yang dikembalikan dan dikokohkan dari ruh al-Qur’ān dan Sunnah Rasūlullāh s.a.w.. Demikianlah kesaksian dari salah seorang pemikir, Syaikh Muḥammad Abū Zuhrah, (123) mengenai kebenaran Sa‘īd bin al-Musayyab ahli fikih Madīnah, dan setelah ini kami akan mempersembahkan beberapa contoh dari orang yang berpengetahuan dan ahli fikih, Sa‘īd bin al-Musayyab.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda di dalam haditsnya yang mulia: “Buatlah rumahmu menjadi lapang bagimu.

Demikianlah Sa‘īd bin al-Musayyab menentukan manhaj bagi dirinya, dia mengatakan: “Tidak ada satu rumah pun di Madīnah yang menaungiku setelah rumahku sendiri, kecuali aku mendatangi putriku dan terkadang mengucapkan salam kepadanya (memasuki rumahnya).” (134).

Di dalam shalatnya, kekhusyu‘an merupakan senjata dan ciri khasnya. Ketika Burd (maula Sa‘īd bin al-Musayyab) ditanya tentang shalatnya, dia menjawab: “Mengenai shalatnya di masjid, tentunya kita semua telah mengetahuinya (maksudnya, semua orang telah mengetahuinya). Sedangkan shalatnya di rumah, dia banyak melaksanakan shalat dengan membaca: “Shād wal-Qur’āni dzī dzikri.”

Dia tidak pernah berbicara pada waktu shalat Juma‘at, sampai dia selesai melaksanakan shalat dan imam pun telah pergi, kemudian dia melaksanakan shalat beberapa rakaat, kemudian dia mendatangi murid-muridnya di majelis dan dihujani dengan pertanyaan.

 

Perpisahan dengan Ahli Fikih Madinah

Syaikh ini meneruskan majelisnya selama puluhan tahun sebagai seorang mufti dan guru, di mana para pengikut dan orang-orang yang mencintainya yang berasal dari penduduk Dār-ul-Hijrah (Madīnah) merasa haus dahaga akan ilmunya, begitu juga penduduk kota-kota lainnya; yaitu orang-orang yang datang untuk berkunjung ke taman yang mulia ini dan untuk mengucapkan salam atas Rasūlullāh s.a.w. di Madīnah al-Munawwarah.

Ketika setiap permulaan pasti ada akhirnya, maka tahun-tahun pun telah berlalu, kekuatannya telah hilang, dua sumber kepercayaan telah melemah (pendengaran dan penglihatan), dan Syaikh ahli fikih, Sa‘īd bin al-Musayyab, pun sakit parah; maka Nafi‘ bin Jubair bin Muth‘im datang menjenguknya dan dia dalam keadaan pingsan, lalu Nāfi‘ bin Jubair berkata: “Hadapkanlah tempat tidurnya ke arah kiblat.” Maka mereka pun menghadapkan tempat tidurnya ke arah kiblat. Lalu ketika dia sadarkan diri, dia berkata: ‘Siapakah yang memerintahkan kalian untuk menghadapkan tempat tidurku ke arah kiblat? Apakah Nāfi‘ bin Jubair yang memerintahkan kalian?”

Nāfi‘ menjawab: “Ya.” Sa‘īd pun berkata: “Seandainya aku tidak berada di arah kiblat dan di atas agama (Islam), maka perubahan arah tempat tidurku yang kalian lakukan ini tidak akan bermanfaat sama sekali bagi diriku.”

Kemudian dia berkata lagi di atas tempat tidurnya dalam keadaan sakit: “Apabila aku meninggal dunia, maka janganlah kalian mendirikan tenda di atas kuburanku, janganlah kalian mengikuti jenazahku dengan api, dan janganlah kalian mengumumkan kematianku kepada siapa pun, cukup bagiku orang yang diberitahu oleh Tuhanku saja, dan janganlah penyair mereka ini ikut mengantarkan jenazahku.” Lalu dia melanjutkan perkataannya: “Cukup bagiku empat orang saja yang membawaku ke hadapan Tuhanku, dan janganlah jenazahku diikuti oleh teriakan orang yang mengatakan tentang diriku apa yang tidak ada di dalam diriku.” Lalu dia memandang kepada uang dinar yang dimilikinya seraya berkata: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa aku tidak meninggalkannya selain untuk menjaga kehormatan dan agamaku.”

Di antara kerumanan para sahabatnya, ruh ahli fikih ini pergi menghadap Tuhannya. Hal itu terjadi pada masa kekhalifahan al-Walīd bin ‘Abd-il-Mālik di Madīnah pada tahun sembilan puluh empat Hijriyyah (145), pada usianya yang ke tujuh puluh lima tahun. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Sa‘īd bin al-Musayyab sebagai orang yang banyak mengumpulkan dan meriwayatkan hadits, terpercaya, pemberani, ahli fikih, mufti, saleh dan bertaqwa, mulia serta memiliki kedudukan yang tinggi.

 

Catatan:


  1. 10). A‘lām-ul-Mauqi‘īn, I/18-20. 
  2. 11). Lihat: Biografi singkat yang ditulis oleh Imām Muḥammad Abū Zuhrah di dalam kitabnya Mālik, hal. 129 dan seterusnya. 
  3. 12). Tārīkh-ul-Madzāhib-il-Islāmiyyah
  4. 13). Thabaqātu Ibni Sa‘ad: V/132. 
  5. 14). Thabaqātu Ibni Sa‘ad: V/143, Al-Bidāyatu wan-Nihāyah, Ibnu Katsīr: V. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *