1-1-2 Hikmah Keilahian Dalam Firman Tentang Adam – Fushush-ul-Hikam Mutiara Hikmah 27 Nabi

FUSHŪSH-UL-ḤIKAM
MUTIARA HIKMAH 27 NABI
Penulis: Ibn ‘Arabī

(Diterjemahkan dari judul asli: The Bezels of Wisdom)

Alih Bahasa: Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti
Penerbit: PENERBIT DIADIT MEDIA

Rangkaian Pos: Hikmah Keilahian Dalam Firman Tentang Adam

Ketahuilah, jika benar dikatakan bahwa sesuatu berkaitan dengan manifestasi yang mula-mula dalam bentuk yang memulai, maka jelas bahwa Allah memberikan perhatian pada apa yang diasali sebagai sebuah pertolongan untuk pengetahuan tentang-Nya, dan dikatakan dalam al-Qur’ān bahwa Dia akan menjelaskan tanda-tandaNya di dalamnya. (41). Jadi, Dia menegaskan bahwa pengetahuan tentang Diri-Nya dirujuk pada pengetahuan diri kita sendiri. Kapan pun kita mengasalkan setiap kualitas kepada-Nya, kita sendirilah yang menjadi wakil dari kualitas itu, kecuali ia merupakan kualitas dari Wājib-ul-Wujūd. Karena kita mengetahui-Nya melalui diri kita sendiri dan dari kita sendiri, kita menisbatkan kepada-Nya semua yang kita nisbatkan pada diri kita sendiri. Karena alasan inilah, wahyu-wahyu ilahi datang kepada kita melalui mulut-mulut para penafsir (nabi-nabi), karena Dia menggambarkan Diri-Nya kepada kita melalui kita. Jika kita mempersaksikan-Nya, maka kita mempersaksikan diri kita sendiri, dan ketika Dia melihat kita, maka Dia sebenarnya melihat Diri-Nya Sendiri.

Tidak diragukan bahwa, kita sebagai individu-individu dan jenis-jenis adalah banyak, dan bahwa meskipun wakil-wakil dari sebuah realitas tunggal, kita secara terbatas mengetahui ada sebuah faktor yang membedakan satu individu dari yang lainnya, tetapi karena itulah, keragaman tidak akan implisit ada di dalam Yang Maha Esa. Dengan cara yang sama, meskipun kita menggambarkan diri kita sendiri sebagaimana Dia menggambarkan Diri-Nya Sendiri, namun berbeda antara Dia dan kita. Faktor ini adalah ketergantungan eksistensi kita kepada-Nya, yang, di dalam kasus kita, sepenuhnya berasal dari-Nya, karena kita diturunkan, sementara Dia bebas dari semua ketergantungan apa pun. Jadi, Dia berhak disebut Maha Esa tanpa permulaan, yang berbeda dari semua yang terdahulu atau prioritas, yang berawal dari noneksistensi. Sebab, meskipun Dia adalah Yang Pertama, prioritas temporer tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya. Jadi, Dia juga disebut Yang Terakhir, meskipun Dia adalah Yang Awal dalam pengertian wujud eksistensi yang ditetapkan pertama kali. Dia tidak bisa disebut Yang Akhir dalam pengertian ini, karena wujud kontingen tidak mempunyai akhir, tidak terbatas. Dia hanya disebut Yang Akhir dalam pengertian bahwa semua realitas, meskipun realitas itu dinisbatkan kepada kita, adalah milik-Nya. Finalitas-Nya secaca esensial implisit berada dalam Prioritas-Nya, sebagaimana Prioritas-Nya secara esensial berada dalam Finalitas-Nya.

Juga, ketahuilah, bahwa Realitas menggambarkan Diri-Nya sebagai Yang Lahir (Zhāhir) dan Yang Bāthin (Tampak dan Tidak Tampak). Dia menciptakan Kosmos sebagaimana juga membentuk sebuah alam ghaib dan alam indriawi, sehingga kita bisa memahami Yang Bāthin melalui aspek ghaib kita, dan Yang Lahir melalui aspek indriawi kita.

Dia juga menisbatkan kepada Diri-Nya keridhaan dan kemurkaan, dengan menciptakan Kosmos, sebagaimana menunjukkan kekhawatiran dan harapan, kekhawatiran kepada kemurkaan-Nya dan harapan pada keridhaan-Nya. Dia juga menggambarkan Diri-Nya sebagai Wujūd yang memiliki keindahan dan kemuliaan, seraya menciptakan kita dengan menggabungkan pesona kemuliaan dan kedekatan-Nya, dan seterusnya, dengan semua sifat dan Nama-Nya. Dia mengungkapkan polaritas kualitas ini dalam al-Qur’ān, sebagaimana menjadikan Tangan-Nya dicurahkan untuk menciptakan Manusia Sempurna, yang mengintegrasikan dalam dirinya semua realitas Kosmik dan manifestasi individual mereka. (52).

Kosmos adalah alam indriawi – yang halus dan kasar – dan Khalāfah-Nya adalah ghaib. Karena alasan inilah, Penguasa (Allah) terhalangi, karena Realitas menggambarkan Diri-Nya sebagai wujud yang tersembunyi dalam hijab-hijab kegelapan, yang merupakan bentuk-bentuk alamiah, dan dengan hijab-hijab cahaya, yang merupakan ruh-ruh halus. Kosmos terdiri dari yang kasar dan yang halus, serta di dalam kedua aspek ini, hijab menutup realitas sejatinya sendiri. Karena Kosmos tidak merasakan Realitas sebagaimana Dia merasakan Diri-Nya Sendiri, maka tidak juga dapat ia diselubungi, dengan mengetahui dirinya berbeda dengan penciptanya dan tergantung kepada-Nya. Memang, ia tidak mempunyai andil dalam kekayaan Realitas, demikian juga ia tidak mencapai hal itu. Dalam pengertian ini, Realitas tidak pernah dikenal, dengan wujud kosmik, melalui cara apa pun, karena wujud asli tidak memiliki andil dalam Kekayaan.

Allah menyatukan polaritas kualitas ini hanya pada Ādam, untuk membuat satu distingsi atasnya. Kemudian, Dia mengatakan kepada Iblis: “Apa yang menghalangi kamu bersujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” (63) Apa yang mencegah Iblis adalah fakta bahwa manusia memadukan dalam dirinya dua mode: Kosmos [yang berawal] dan Realitas [yang mengawali dan orisinil], yang merupakan kedua tangan-Nya.

Adapun Iblis, dia hanya bagian dari Kosmos dan tidak mempunyai bagian di dalam Sintesis ini, lantaran keutamaan Ādam sebagai Wakīl. Dia tidak memanifestasi [dalam Kosmos] dalam bentuk Diri-Nya Yang dia representasikan, dia bukan Wakil, dan dia tidak terdiri dari tanggungjawab independen yang diperlukan atau dia tidak mampu memenuhi semua kebutuhan ini, dia tidak akan menjadi Wakīl. Pendek kata, Kewakilan (Kekhalifahan) hanya terpenuhi dalam Manusia Sempurna.

Bentuk lahiriahnya, Dia susun dari realitas-realitas dan bentuk-bentuk kosmik, sementara bentuk bāthiniah-nya, Dia susun untuk menyesuaikan dengan bentuk Diri-Nya Sendiri. Jadi, dia mengatakan dalam Ḥadīts Qudsī: “Aku adalah pendengaran dan penglihatannya”, (74) dan bukanlah: “Aku adalah mata dan telinganya”, untuk menunjukkan perbedaan antara dua bentuk, yang bisa dipahami dan tidak bisa dipahami. Demikian juga, Dia implisit dalam setiap wujud kosmik, sesuai dengan realitas esensial yang termanifestasikan dalam wujud yang membutuhkannya, dengan menjadikannya dipahami sehingga wujud lain tidak memperoleh Sintesis ini. Hanya dengan kebajikan dari Sintesis ini, sehingga dia adalah superior [dibandingkan dengan semua wujud lain].

Jika tidak demikian, maka Realitas menembus semua wujud sebagai bentuk dalam bentuk kualitatifnya, dan jika hal itu bukan untuk realitas-realitas yang dapat diketahui, tidak ada penentuan esensial yang akan dimanifestasikan dalam wujud-wujud individual. Jadi, ketergantungan Kosmos terhadap Realitas dalam eksistensinya adalah sebuah faktor yang esensial.

Semua tergantung [kepada yang lain], yang tidak ada tidak tergantung,

Ini adalah kebenaran murni, kita membicarakannya dengan jelas,

Jika aku menyebutkan Yang Esa, Maha Kaya, Independen,

Anda akan mengetahui Siapakah yang aku tuju.

Semua terikat dengan semua, tidak ada jalan keluar,

Ikatan ini, jadi pikirkan secara hati-hati apa yang aku katakan.

Sekarang anda berhubungan dengan Hikmah yang terdapat dalam pembentukan badaniah Ādam, bentuk lahirnya, sebagaimana anda berhubungan dekat dengan pembentukan spiritual Ādam, bentuk bāthin-nya, yaitu, bahwa dia adalah Realitas (berkenaan dengan yang terakhir) dan dia adalah makhluk (berkenaan dengan yang pertama). Anda juga belajar untuk mengetahui tingkatannya sebagai bentuk sintesisnya di mana dia mendapatkan Kekhalifahan ilahi.

Ādam adalah jiwa tunggal, sehingga esensi spiritual tunggal yang menjadi asal-usul manusia itu diciptakan sebagaimana firman-Nya: “Wahai Manusia, takutlah pada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari sebuah jiwa tunggal dan menciptakan darinya pasangannya, sehingga dari mereka berdualah lahir banyak laki-laki dan perempuan.” (85) Kalimat “Takutlah pada Tuhanmu” berarti “Jadikanlah diri lahiriah kamu perlindungan untuk Tuhanmu yang merupakan realitas esensial bāthin kamu, dan jadikanlah realitas bāthin kamu, yang merupakan Tuhan kamu, perlindungan untuk diri lahiriah kamu.”

Semua penciptaan (amr) meliputi kecaman (negasi) dan pujian (afirmasi), sehingga perlindungan-Nya berkaitan dengan kecaman sebagai wujud relatif dan menjadikan Dia perlindungan anda berkenaan dengan pujian, sebagai wujud yang diidentifikasikan dengan realitas Ādam, sehingga anda adalah orang yang bertindak dengan tepat dan memiliki pengetahuan.

Jadi, Dia, Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, menyebabkan Ādam melihat semua yang Dia tempatkan di dalam dirinya, dan memegang dia di tangan-Nya (aktif dan pasif, esensial, dan formal), di dalam Tangan pertama, Kosmos, dan di dalam lainnya, Ādam dan benihnya, yang menguraikan tingkatan-tingkatannya.

Ketika Allah mewahyukan kepadaku, di dalam pusatku yang paling dalam, apa yang Dia tempatkan pada leluhur besar kita, saya mencatat dalam buku ini hanya yang dia diktekan kepada saya, tidak semua diberikan kepadaku, karena tidak ada satu pun buku yang dapat memuat semuanya, tidak juga Kosmos sebagaimana sekarang ada.

Apa yang saya saksikan di dalam ruh dan, apa yang saya catat di dalam buku sebagaimana disandarkan kepada Nabi, adalah bab-bab berikut ini:

  1. Hikmah Keilahian (Ilāhiyyah) dalam Firman tentang Ādam.
  2. Hikmah Penghembusan Nafas (Nafsiyyah) dalam Firman tentang Syīts.
  3. Hikmah Keagungan (Subbūḥiyyah) dalam Firman tentang Nūḥ.
  4. Hikmah Kesucian (Quddūsiyyah) dalam Firman tentang Idrīs.
  5. Hikmah Cinta yang Mempesona (Muhaymiyyah) dalam Firman tentang Ibrāhīm.
  6. Hikmah Realitas (Ḥaqqiyyah) dalam Firman tentang Isḥāq.
  7. Hikmah Ketinggian (‘Iliyyah) dalam Firman tentang Ismā‘īl.
  8. Hikmah Ruh (Rūḥiyyah) dalam Firman tentang Ya‘qūb.
  9. Hikmah Cahaya (Nūriyyah) dalam Firman tentang Yūsuf.
  10. Hikmah Kesatuan (Aḥadiyyah) dalam Firman tentang Hūd.
  11. Hikmah Pembukaan (Fātiḥiyyah) dalam Firman tentang Shāliḥ.
  12. Hikmah Hati (Qalbiyyah) dalam Firman tentang Syu‘ayb.
  13. Hikmah Kekuasaan (Malkiyyah) dalam Firman tentang Lūth.
  14. Hikmah Takdir (Qadariyyah) dalam Firman tentang ‘Uzayr.
  15. Hikmah Kenabian (Nabawiyyah) dalam Firman tentang ‘Īsā.
  16. Hikmah Kepengasihan (Raḥmāniyyah) dalam Firman tentang Sulaymān.
  17. Hikmah Wujud (Wujūdiyyah) dalam Firman tentang Dāwūd.
  18. Hikmah Nafas (Nafasiyyah) dalam Firman tentang Yūnus.
  19. Hikmah yang Ghaib (Ghaybiyyah) dalam Firman tentang Ayyūb.
  20. Hikmah Kemuliaan (Jalāliyyah) dalam Firman tentang Yaḥyā.
  21. Hikmah Penguasaan (Mālikiyyah) dalam Firman tentang Zakariyyā.
  22. Hikmah Kedekatan (Īnasiyyah) dalam Firman tentang Ilyās.
  23. Hikmah Kebajikan (Iḥsāniyyah) dalam Firman tentang Luqmān.
  24. Hikmah Kepemimpinan (Imāmiyyah) dalam Firman tentang Hārūn.
  25. Hikmah Keunggulan (‘Uluwiyyah) dalam Firman tentang Mūsā.
  26. Hikmah Tempat Meminta (Shamadiyyah) dalam Firman tentang Khālid.
  27. Hikmah Singularitas (Fardiyyah) dalam Firman tentang Muḥammad.

Tanda dari masing-masing Hikmah ini adalah Firman yang diberikan kepadanya. Saya membatasi apa yang saya tulis dalam buku ini berkenaan dengan manifestasi Hikmah ilahi pada apa yang ditegaskan dalam Umm-ul-Kitāb (Heavenly Book). Saya, dengan penuh keyakinan, menyalinnya sesuai dengan yang dibayangkan kepadaku. Bahkan ketika saya ingin menambahkannya, saya tidak mampu melakukan, karena hadirat, dari mana ia berasal, mencegahnya. Allah menjamin keberhasilan, dan Dia-lah Satu-satunya Tuhan.

Catatan:

  1. 4). Ibid. XLI: 53.
  2. 5). Ibid. XXXVIII: 75.
  3. 6). Ibid.
  4. 7). Bukhārī, LXXXI: 38.
  5. 8). Al-Qur’ān, IV: 1.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *