1-1-2 Air Mutlak – Sabil-ul-Muhtadin

Kitab Sabil-ul-Muhtadin
Oleh: Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari

Disalin oleh: Drs. H.M. ASYWADIE SYUKUR Lc.
Penerbit: Pt. Bina ilmu

Rangkaian Pos: 1-1 Air Mutlak - Sabil-ul-Muhtadin

PASAL 1

AIR MUTLAK

(Bagian 2 dari 2)

 

Kalau air berubah dengan sesuatu benda yang mujāwir yang suci seperti garu, cendana, minyak, bunga-bungaan, kapur barus yang keras, maka air itu masih dianggap suci yang dapat dipakai untuk bersuci, sekalipun banyak perubahannya. Karena berubah dengan sesuatu yang mujāwir itu, ialah akan menguap jua. Karena itu air yang seperti ini dinamakan air yang mutlak, bandingannya air yang berubah karena diasapkan dengan dupa atau berubah baunya karena berdekatan dengan bangkai, maka air yang seperti itu masih dianggap air yang suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci, baik berubah sifatnya umpamanya baunya atau lainnya seperti yang tersebut dalam kitab “Nihāyah”.

Dan juga air yang berubah dengan tanah yang dimasukkan ke dalamnya, maka dapat juga dipakai untuk bersuci sekalipun banyak perubahannya dan sekalipun tanah mengubahnya adalah tanah yang musta‘mal. Demikianlah yang dikuatkan oleh Syaikh Khathīb Syarbānī, Syaikh Ramlī dan lainnya. Sebaliknya Syaikh Ibnu Ḥajar menerangkan dalam kitabnya yang bernama “Tuḥfah” kalau air berubah karena bercampur dengan tanah sehingga menjadi keruh, tidak menghilangkan nama air mutlak. Tetapi jika perubahan itu banyak yang bentuknya hampir menyerupai lumpur, maka tidak dapat dipergunakan untuk bersuci karena tidak lagi dinamakan air mutlak.

Maka dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tanah adalah termasuk mujāwir, karena masih dapat diceraikan dari air, demikianlah yang dikuatkan oleh Syaikh-ul-Islām Ibnu Ḥajar dalam kitabnya “Tuḥfah”. Tetapi yang di-shaḥīḥ-kan oleh Syaikh Ramlī dalam kitabnya. “Nihayah” bahwa tanah itu temasuk yang mukhalith demikianlah yang dapat dipahami dari ucapan Imam Nawawī dalam kitabnya yang bernama “Minhaj”. Namun pendapat orang yang mengatakan tanah itu mujāwir juga dapat diterima ketika perubahan itu hilang karena air kembali jernih dan tanah berkumpul di bawahnya, karena tanah ketika itu dapat diceraikan dari air dan tanah berbeda dengan air pada penglihatan mata. Karena itu kedua qaul (pendapat) di atas pada hakikatnya tidak berbeda.

Semua biji-bijian dan buah-buahan seperti gandum kalau kering apabila direndam atau dimasukkan ke dalam air, dan jika diyakinkan telah bersenyawa dengan air seperti dimasukkan ke dalam air sehingga rasa air itu manis, maka dinamakan mukhālith dan apabila perubahannya sangat mencolok maka air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci. Tetapi kalau tidak diyakini telah bersenyawa dengan air maka dinamakan mujāwir. Air yang banyak perubahannya masih dikatakan air yang suci dan dapat dipakai untuk bersuci, melainkan jika hilang dari nama air mutlak demikianlah yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Ḥajar di dalam “Syaraḥ Libāb”.

Jika air itu berubah disebabkan oleh sesuatu, benda mukhālith yang suci, dan jika air lebih banyak dari jumlah benda yang mukhālith tadi, yakni tidak sukar memisahkan air dari benda itu, seperti air yang bercampur dengan kesturi, kesumba, kapur barus, tepung, bidara, celak mata, garam, air mani atau buah kayu yang jatuh ke dalam air itu, sekalipun jatuh dengan sendirinya. Lumut, kembang dan rumput kemudian dijatuhkan ke dalam air, dan benda-benda tadi mengubah air, jika perubahan itu hanya dalam perkiraan, maka tidak dapat menyucikan yakni tidak dapat dipakai untuk mengangkat hadats dan menghilangkan najis, dengan syarat bahwa perubahan itu banyak sehingga hilang nama air mutlak. Karena itu, kalau seorang bersumpah bahwa ia tidak akan meminum air, kemudian diminumnya air tersebut maka ia dianggap tidak melanggar sumpah.

Kalau perubahan itu hanya sedikit dan tidak menghilangkan nama air mutlak, maka tidak mengapa memakainya, karena air yang seperti itu masih dapat dipergunakan untuk bersuci. Karena Nabi s.a.w. pernah berwudhu’ dengan air dari tempat air yang di dalamnya ada bekas tepung. Dan jika air itu sukar dipisahkan dari benda yang mencampurinya seperti lumut atau kembang yang sudah ada di dalam air itu dan hancur di dalam air, atau garam laut atau daun kayu yang jatuh dengan sendirinya ke dalam air dan hancur di dalamnya, maka ia yang berubah seperti itu masih dapat dipergunakan untuk bersuci sekalipun perubahannya banyak karena sukar dipisahkan. Demikian juga air yang berubah yang tetap di tempatnya, baik air itu tetap dan tidak mengalir maupun mengalir, baik tanahnya bercampur dengan belerang kapur atau garam, maka air itu masih dapat dipergunakan untuk bersuci sekalipun perubahannya banyak karena sukar memisahkannya.

Kalau air bercampur dengan air yang tidak mengalir yang berubah atau yang mengalir yang tidak berubah, maka air itu dianggap berubah. Air yang seperti ini apakah dapat dipakai untuk bersuci atau tidak? Syaikh Ibnu Ḥajar di dalam kitabnya yang bernama “Tuḥfah” mengatakan bahwa air tadi dapat dipakai untuk bersuci, karena air yang campurannya dapat juga dipakai bersuci yang sama dengan air yang berubah yang bercampur dengan garam laut. Namun Syaikh Ramlī di dalam kitabnya yang bernama “Nihāyah” menerangkan bahwa air itu tidak dapat menyucikan karena perubahan tadi dalam bentuk mukhalith yang mana air campuran lebih banyak dari air yang dicampur yakni tidak sukar memisahkannya dari air yang dicampur. Maka berdasarkan pendapat Syaikh Ramlī ini kami katakan apabila ada dua tempat air itu apabila ada dua tempat air yang boleh bersuci dengan salah satu dari kedua tempat air itu apabila tidak dicampur, dan tidak boleh dipergunakan untuk bersuci dengan air itu kalau kedua tempat air itu dicampur.

Air yang berubah menurut perkiraan sama saja seperti air yang benar-benar berubah. Maka kalau terjatuh ke dalam air yang banyak atau yang sedikit benda cair yang menyerupai air dalam semua sifatnya seperti air mawar yang sudah hilang baunya atau yang serupa dengan air mawar, atau jatuh ke dalam air yang sedikit yang musta‘mal, maka yang dikirakan air yang mencampuri itu bersifat pertengahan yang berbeda dengan sifat air. Seperti rasanya sama dengan rasa delima atau warnanya seperti warna air anggur atau baunya seperti bau cengek. Maka kalau diperkirakan air itu berubah maka air yang seperti itu tidak dapat dipakai untuk bersuci karena dinamakan air yang suci yang berubah menurut perkiraan. Dan jika tidak berubah menurut perkiraan maka air itu dapat dipergunakan untuk bersuci. Kalau air musta‘mal terjatuh ke dalam air yang banyak seperti air yang cukup dua kulah atau lebih atau jatuh ke dalam air yang kurang dari dua kulah, tetapi dengan tambahan air musta‘mal tadi menjadi dua kulah maka air itu menjadi air yang suci. Dan kalau air yang musta‘mal berubah menurut perkiraan maka berlaku menurut hukum yang disebutkan di atas. Inilah hukum percampuran dengan cara mukhālath yang suci.

Jika benda yang mukhālath yang menyerupai air itu najis seperti jatuh ke dalam air yang banyak air kencing yang sudah hilang baunya dan rasanya, maka hendaklah dianggap mukhālath itu bersifat dengan sifat yang keras seperti yang mempunyai rasa seperti cuka atau bau seperti kesturi atau yang mempunyai warna seperti warna darah. Maka kalau diperkirakan berubah, air itu termasuk air yang mutanājis. Dan jika menurut perkiraan tidak berubah, maka air itu termasuk air yang suci yang dapat dipakai untuk bersuci seperti yang akan dibicarakan pada bab air mutanājis.

Jika ragu apakah perubahan air tadi banyak atau sedikit maka hukum air itu seperti berubah sedikit juga. Dan jika ragu apakah perubahannya banyak yang hilang atau tidak hilang maka hukumnya seperti tidak hilang perubahannya dan air yang seperti itu tidak suci. Dan jika ragu apakah benda itu mukhālith atau mujāwir maka tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dalam uraian dua kulah atau lebih dan kalau dikatakan air itu sedikit yang dimaksudkan kurang dari dua kulah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *