1-1-0 Sa‘id bin al-Musayyab (Bagian 2) – Kisah Para Tabi’in

KISAH PARA TĀBI‘ĪN
Judul Asli: ‘Ashr-ut-Tābi‘īn
Penulis Abdul-Mun‘im al-Hasyimi

Alih Bahasa: Faqih Fatwa
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: 001 Sa‘id bin al-Musayyab - Kisah Para Tabi'in

Sebagian dari Sifat dan Penampilannya

Seringkali dia duduk di masjid dalam keadaan berpuasa sambil berdialog dengan orang-orang. Lalu apabila matahari telah terbenam, dia diberi minuman dari rumahnya ke masjid lalu dia pun meminumnya. Dia tidak pernah meminta apapun dari orang lain untuk kebutuhan dirinya sendiri.

Pada malam hari, di atas binatang tunggangannya dia senantiasa membaca al-Qur’ān dan memperbanyak membaca.

Dan di antara tabiat-tabiatnya; penampilannya selalu bersih dan pakaiannya selalu rapi. Salah seorang yang hidup sezaman dengannya memberikan gambaran tentangnya: Dia tidak pernah membiarkan kukunya panjang, senantiasa memotong kumisnya pendek-pendek serupa dengan mencukur, selalu berjabat tangan dengan setiap orang yang ditemuinya, dia adalah orang yang rajin dan teliti serta tidak suka banyak tertawa, dan dia pun banyak berwudhu.

Sedangkan di rumahnya, dia tidak suka memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama para nabi, dan dia banyak melaksanakan shalat sunnat. Adapun pakaiannya terbuat dari kain bergaris yang mahal harganya dan berwarna putih.

Sa‘īd bin al-Musayyab tidak pernah bermusuhan dengan siapapun. Apabila ada seseorang yang menginginkan pakaiannya, maka dia akan memberikannya kepada orang tersebut. Di rumahnya, dia mendidik anak cucunya di atas pondasi ketaqwaan, dia melarang putrinya bermain dengan anak-anak perempuan dari orang yang buruk akhlaknya, namun dia memperkenankan putrinya bermain bersama orang yang sesuai dengan rumah yang Islami dan diberkahi ini.

Dia adalah orang yang fakih dan benar-benar memahami agama. ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ḥarmalah (salah seorang sahabatnya) pernah datang kepadanya dan bertanya: “Aku menemukan seorang laki-laki yang sedang mabuk, menurutmu apa yang bisa aku lakukan selain melaporkannya kepada sultan?” Maka Sa‘īd menjawab: “Jika engkau bisa menutupinya dengan pakaianmu, maka tutupilah dia.” Lalu ketika laki-laki itu sadar, dia merasa malu atas perbuatannya dan berkata: “Demi Allah, selamanya aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Dia berkata tentang ibadah: “Sesungguhnya ibadah itu adalah bertafakkur tentang Allah s.w.t. dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang diharamkan Allah.” Terkadang beliau duduk di masjid Rasūlullāh s.a.w. pada saat bulan Ramadhān, lalu dikirim minuman (untuk berbuka) dari rumahnya di masjid Nabi s.a.w. Tidak ada seorang pun yang sangat ingin memberikan minuman kepada Sa‘īd bin al-Musayyab, lalu dia meminumnya. Apabila dia diberi minuman dari rumahnya maka dia meminumnya, namun apabila tidak diberi apa-apa dari rumahnya maka dia pun tidak akan minum apapun sampai dia pulang. (51)

Dari apa yang telah dipaparkan tadi, kita dapat merasakan bahwa laki-laki ini adalah orang yang zuhud terhadap harta orang lain, dia suka makan dari hartanya sendiri dan tidak meminta-minta kepada orang lain dengan terus-menerus (mendesak). Dia adalah orang yang kaya dengan sifat qana‘ahnya dan rezeki yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Apakah pernah dikatakan atau disebutkan sifat yang bertentangan dengan ini di dalam kepribadian seorang ulama dan ahli fikih di antara para ahli fikih Madinah yang tujuh?

Pendapatnya tentang wanita: Dia mengatakan: “Aku tidak pernah merasa takut terhadap apapun atas diriku seperti rasa takutku terhadap wanita.”

Perkataannya tersebut telah terbukti ketika dia berselisih dengan para khalifah Bani Umayyah dan pada saat itu dia sedang dipukuli, lalu seorang wanita berkata: “Sungguh engkau telah menimbulkan bencana.” Maka dia langsung menjawabnya: “Justru aku telah melarikan diri dari bencana.” (62)

Dia bermaksud mengatakan kepada wanita tersebut: “Sesungguhnya aku telah melarikan diri dari bencana mereka kepada kemuliaan logika (ra’yu).” Karena dia telah mencela mereka dalam banyak situasi sehingga dia tidak berbai‘at kepada mereka. Kami akan memaparkan cobaannya dengan mereka dalam sirahnya ini.

Apabila kita kembali lagi kepada penampilannya, maka kita akan mendapatkan kitab-kitab sirah telah menyembutkan bahwa dia sangat memperhatikan penampilannya. Dia mengenakan sorban yang di atasnya dipakaikan peci yang lembut dengan sorban putih yang memiliki tanda merah yang dijulurkan di belakangnya sepanjang satu jengkal. Dia keluar dengan berpenampilan demikian pada hari ‘Īd-ul-Fitri dan ‘Īd-ul-Adhḥā. Pada masa tuanya, dia membuat jenggotnya berwarna kuning, padahal dia memiliki rambut dan jenggot yang berwarna putih.

Maksud kami dengan menyebutkan bingkai yang ringkas dari berbagai sifat dan penampilannya ini adalah agar kita dapat hidup bersamanya dalam beberapa saat sebagai fenomena dan tauladan dalam berbagai sifat dan tabiat. Akan tetap, masih tersisa satu perkara penting bagi kita bersamanya, yaitu tentang fikihnya dan pemikirannya. Setelah dia menetapkan penentangannya dan cobaannya bersama para khalīfah Bani Umayyah yang telah memenjarakannya dan memukulinya dengan cambuk karena penentangan tersebut, maka akan terlihat mengapa ahli ilmu dan ahli fikih yang terkenal dengan ilmunya ini mau menghadapkan diri dan jasadnya kepada kehinaan ini?! Apakah ilmunya itu yang menjadi penyebab, ataukah ketaqwaan dan keinginannya yang kuat untuk mengatakan kebenaran di hadapan seorang sultan yang zhalim?!

 

Catatan:


  1. 5). Thabaqātu Ibni Sa‘ad: V/135. 
  2. 6). Al-‘Aqd-ul-Farīd, Ibnu ‘Abdi Rabbih: III/115. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *