1-1-1 Cobaannya bersama Para Khalifah Bani Umayyah (Bagian 2) – Kisah Para Tabi’in

KISAH PARA TĀBI‘ĪN
Judul Asli: ‘Ashr-ut-Tābi‘īn
Penulis Abdul-Mun‘im al-Hasyimi

Alih Bahasa: Faqih Fatwa
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: 001 Sa‘id bin al-Musayyab - Kisah Para Tabi'in

Cobaannya bersama Para Khalifah Bani Umayyah

(Bagian 2)

Adapun yang membawa surat itu kepada Amīr-ul-Mu’minīn ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān adalah seorang laki-laki yang bernama Qabīshah bin Dzuaib. Ketika dia telah sempai kepada ‘Abd-ul-Mālik dan telah menyerahkan surat dari Hisyām kepadanya, Qabīshah berkata: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, Hisyām telah melakukan hal seperti ini tanpa meminta pertimbangan darimu terlebih dahulu, dia memukuli Ibnu al-Musayyab dan membawanya berkeliling. Demi Allah, ketika Sa‘īd dipukuli maka dia akan menjadi lebih menentang dan lebih keras kepala terhadapnya. Sekalipun dia tidak berbai‘at, maka tidak akan ada yang dapat dia lakukan. Sa‘īd bukanlah orang yang takut terhadap kebengisan Hisyām, dia juga tidak akan takut terhadapnya demi Islam dan penganutnya, sesungguhnya dia termasuk golongan ahli sunnah wal jama‘ah.”

Kemudian Qabīshah melanjutkan perkataannya: “Tulislah surat kepadanya mengenai hal tersebut, wahai Amīr-ul-Mu’minīn.”

Maka ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān berkata: “Tulislah surat kepadanya olehmu yang menjelaskan pandanganku tentangnya, dan bahwasanya Hisyām telah menyalahi aku ketika dia memukul dan memenjarakannya.”

Lalu Qabīshah menuliskan surat kepada Syaikh Sa‘īd bin al-Musayyab sebagaimana yang diminta oleh ‘Abd-ul-Mālik. Kemudian ketika surat itu sampai di tangan Sa‘īd dan telah membacanya, dia pun berkata: “Allah berada di antara aku dan orang yang menzhalimiku.”

Sa‘īd pun dijebloskan ke dalam penjara, akan tetapi dia diperlakukan dengan baik sebagai penghormatan kepada ilmu dan fikihnya. Salah seorang yang hidup sezaman dengannya berkata: “Aku mengunjungi Sa‘īd bin al-Musayyab di penjara, dan ternyata di sana telah disediakan seekor kambing yang disembelih untuknya, lalu bulunya dijadikan alas punggungnya, kemudian setelah itu disediakan untuknya dahan-dahan pohon basah dan lunak yang telah ditutuh (dipangkas atau ditebang cabang-cabangnya) .

Setiap kali dia melihat ke lengan atasnya (yakni tempat di mana terdapat bekas pukulan cambuk dan lukanya), dia berkata: “Ya Allah, tolonglah aku dari Hisyām.”

Selama dia berada di dalam penjara, putrinya selalu mengirimkan makanan untuknya. Pada suatu hari putrinya membuat makanan yang sangat banyak sekali dan melebihi kebutuhannya serta cukup untuk beberapa orang, maka dia memanggil salah seorang maulanya yang bernama Aslam Abū Umayyah dan berkata kepadanya: “Pergilah kepada putriku dan katakanlah kepadanya: “Jangan pernah engkau membiasakan hal seperti ini, karena inilah yang diinginkan oleh Hisyām bin Ismā‘īl, dia senantiasa mengharapkan agar hartaku habis sehingga aku akan membutuhkan apa yang ada di tangan mereka, sedangkan aku tidak tahu sampai kapan aku dipenjara. Perhatikanlah makanan yang biasa aku makan di rumah, dan kirimlah aku sejumlah itu.” Maka setelah itu putrinya hanya memberinya sesuai dengan porsinya.

Syaikh pun terus berada di dalam penjara sambil menghadapi kesendirian, kezhaliman, dan kegelapan. Sampai pada suatu saat datanglah seorang laki-laki (91) kepadanya dan mengajaknya bercakap-cakap, lalu dia berkata: “Sesungguhnya engkau telah menyalahi perintahnya.”

Maka Sa‘īd berkata: “Wahai Abū Bakar, bertaqwalah kepada Allah dan dahulukanlah Dia daripada yang lainnya.”

Lalu Abū Bakar terus mengulang-ulang bahwa dia telah menyalahi perintah Hisyām dan melampaui batas terhadapnya.

Sehingga Sa‘īd pun kembali berkata: “Demi Allah, mata dan hatimu telah buta.”

Maka Abū Bakar pergi meninggalkannya. Lalu Hisyām bin Ismā‘īl mengutus seseorang kepadanya (untuk memanggilnya). Ketika Abū Bakar telah datang kepada Hisyām bin Ismā‘īl, dia pun bertanya: “Apakah Sa‘īd bin al-Musayyab telah menjadi lunak setelah kita memukulinya?”

Abū Bakar menjawab: “Demi Allah, tidak ada orang yang lisannya lebih tajam daripada dia sejak engkau melakukan apa yang telah engkau perbuat kepadanya. Maka tinggalkanlah orang itu.”

Kemudian ketika datang surat dari ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān kepada Hisyām dan di dalamnya dia mengatakan: “Apa kerugianmu jika engkau meninggalkan Sa‘īd dan melalui (tidak menghiraukan) apa yang dikatakannya?!”

Saat itulah Hisyām menyesal atas apa yang telah dia lakukan terhadap Sa‘īd, lalu dia membebaskannya, dan Sa‘īd bin al-Musayyab pun kembali lagi menyampaikan pelajaran-pelajarannya kepada murid-muridnya dan orang-orang yang menghendakinya.

Setelah cobaan tersebut, dia selalu berkata: “Tidaklah setan berputus asa dari suatu perkara melainkan dia akan mendatanginya melalui para wanita. Hamba-hamba Allah tidak dapat menjadikan dirinya mulia dengan ketaatan terhadap Allah, dan tidak dapat menjadikannya hina kecuali dengan kemaksiatan terhadap Allah s.w.t. Cukuplah pertolongan Allah s.w.t. bagi seseorang ketika dia menyaksikan musuhnya melakukan kemaksiatan terhadap Allah.”

Kalimat-kalimat yang dia lontarkan kepada murid-muridnya merupakan nasihat yang benar. Sebaik-baiknya nasihat dari seseorang yang zuhud dan bertaqwa, Imām Sa‘īd bin al-Musayyab, yang berkata: “Barang siapa yang merasa cukup dengan Allah, maka manusia akan membutuhkannya. Dunia ini hina, dan ia akan lebih condong kepada kehinaan, adapun yang paling hina dari dunia ini adalah orang yang mengambilnya tidak sesuai dengan kebutuhannya, lalu meletakkannya tidak pada jalannya.”

Imām Sa‘īd bin al-Musayyab adalah tauladan dalam hal ketawadhu‘an dan kekhusyu‘an terhadap Allah s.w.t. Dia pernah menerangkan sifat tersebut di dalam dirinya melalui perkataannya: “Tidak ada seorang pun yang mulia, berilmu, maupun terhormat, kecuali di dalam dirinya pasti terdapat suatu cela. Akan tetapi di antara manusia itu ada orang yang hampir tidak diketahui celanya. Barang siapa yang kebaikannya lebih banyak daripada celanya, maka dia akan memberikan celanya itu kepada kebaikannya.”

Sa‘īd bin al-Musayyab memiliki harta yang dia pergunakan untuk berniaga, dan dia mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak pernah menahan harta ini karena bakhil ataupun rakus terhadapnya, bukan pula karena kecintaan terhadap dunia dan ingin memperoleh berbagai keinginan duniawi. Aku hanya ingin menjaga kehormatanku dari Bani Marwān dengan harta tersebut; sampai Allah memutuskan perkara yang terjadi antara aku dengan mereka. Aku juga ingin menyambungkan tali silaturahim dengan hartaku, menunaikan hak-hak yang terdapat di dalamnya, serta mengembalikan sebagian darinya kepada para janda, orang fakir, orang miskin, anak yatim, dan tetangga.” Demikianlah Sa‘īd bin al-Musayyab mendefinisikan peranan harta di dalam hidupnya, juga di akhir kisah cobaan yang menimpanya terkait harta dan pada saat dia dibebaskan dari orang-orang yang telah menzaliminya tanpa harus memerlukan pertolongan mereka, serta dengan mengeluarkan hak-hak Allah dari harta tersebut.

Sa‘īd bin al-Musayyab tidak pernah melupakan anak-anak yatim, orang-orang miskin, hak-hak tetangga, dan para janda. Itulah berbagai kemuliaan ahli ilmu dan ahli fikih yang hidup tidak jauh dengan Rasūlullāh s.a.w. dan dekat dengan para sahabatnya sehingga dia terdidik dengan perilaku mereka dan hidup di atas manhaj mereka.

Catatan:


  1. 9). Lihat: Thabaqātu Ibni Sa‘ad: V/127, cetakan Dār Shādir. Laki-laki itu adalah Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin al-Ḥārits bin Hisyām. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *